agama-kaum-pinggiran

Sosiologi Agama Kaum Pinggiran

            Agama, seringkali menempatkan keberfihakan pada orang pinggir. Bila ditilik dari sejarahnya, Isa misalnya, selain dilahirkan dalam situasi yang agak kacau, Isa bukanlah lahir dari kalangan raja atau bangsawan. Begitu pula Musa, ia juga bukan keturunan orang mahsyur. Tak beda dengan Muhammad, penutup nabi dan rasul ini pun dilahirkan sebagai orang pinggir.

            Pengertian pinggir disini tak hanya jauh dari kekuasaan, kemegahan, dan juga kekayaan. Ia lebih dekat kepada kemiskinan, orang lemah dan ketidakberdayaan. Tapi, agama mengubah yang pinggir itu sejajar, setara. Agama mengangkat semua manusia dalam posisi sama. Dimata Tuhan, bukanlah harta, tahta dan kekayaan yang bernilai, tetapi taqwa, ketaatan.

            Bagaimana praktik keagamaan kaum pinggiran?. Munir Mulkan, seorang intelektual Muhammadiyah menuliskan bagaimana potret beragama kaum pinggiran ini di bukunya Sufi Pinggiran (2007). Menurutnya, kaum pinggiran dan rakyat kebanyakan lebih menyukai praktik ritual dan keagamaan yang sederhana sesuai dengan kemampuan orang awam dan yang melibatkan banyak orang. Kegiatan ritual ini selalu memunculkan tokoh sentral yang oleh massa umat dipercaya memiliki hubungan dekat dengan subyek supernatural yang disebut Tuhan (h.19).

            Itulah mengapa kaum pinggiran ini secara praktik keagamaan lebih menekankan cara hidup sederhana, jujur, serta apa adanya. Cara-cara beragama seperti ini jelaslah lebih natural. Daripada cara hidup orang beragama yang ada di kota yang sering berbeda antara pagi dan malamnya. Pagi mukmin, malam kafir, malam mukmin, pagi kafir lagi. Ini yang menjadi potret atau sumber pelajaran bermakna dari kaum pinggiran menjalankan ritus keagamaan.

            Ada keresahan, kegelisahan serta refleksi-refleksi kritis dari Munir Mulkan memotret bagaimana keagamaan kaum pinggiran ini. Ia juga menggali, menyusuri makna setiap praktik ritual keagamaan orang Islam yang selama ini dijalankan di Indonesia. Sebut saja praktik Idul Fitri di setiap tahunnya. Ia menyimpukan makna Idul Fitri dalam dua kalimat penting berikut : “ jika saja setiap umat Islam dan manusia memahami makna ajaran fitrah sepeti bisa ditemukan pada ajaran agama-agama besar dunia bagi kepentingan kemanusiaan, maka kekerasan dan teror tak harus terjadi dalam masyarakat beradab. Sayangnya, kehidupan umat manusia selalu penuh konflik disertai kekerasan hanya karena berebut kuasa dan kekayaan”(h.25).

            Kekayaan dan kekuasaan itulah yang selama ini menutupi manusia dari praktik-praktik beragama yang lurus. Uang, kekuasaan menggoda manusia untuk melenceng, serta menyalahi konsep-konsep kekuasaan. Keserakahan manusia akhirnya lebih dimenangkan ketimbang sikap kedermawanan dan kebersahajaan. Hanya orang yang telah mencapai transhuman atau makrifat  yang bisa mengembangkan kehidupan dunia yang lebih adil, bukan bagi diri sendiri, tetapi praktik keadilan yang mampu menghukum diri sendiri”(h.31).

            Ada yang menarik dari buku ini, ia memotret ritus-ritus agama dari kaum pinggir dikaitkan dengan fenomena dan praktik keagamaan di dalam masyarakat bawah. Menurut penulis sufi pinggir dimaknai sebagai kritik atas praktik keberagamaan mencari kebenaran ilahiah berjubah malaikat atau bertopeng surgawi sehingga ditemukan sebuah karya kemanusiaan atas nama Tuhan dan ajaran-Nya yang benar-benar autentik dan mansiawi.

            Buku ini memang menampar cara beragama yang penuh keculasan, mengkritik para pejabat, agamawan bahkan yang menjual ayat-ayat Tuhan. Berfihak pada kapitalisme, dan kepentingan para bandit-bandit kekuasaan semata. Ia menghantam manusia yang menjadi budak kekuasaan dan harta.

            Ada satu percakapan yang saya kira menarik di buku ini. Yakni percakapan antara Musa dan Khidir. Khidir bertanya pada Musa “Amalan apa yang langsung diterima Allah?Jawab Musa, amalan itu ialah solat, puasa, haji, zakat, dan ritual yang rutin kita lakukan selama ini”. Khidir pun kemudian menjeaskan bahwa itu semua sudah wajibing manungsa (kewajiban manusia), jika tidak melakukannya berarti berbuat dosa. Amalan yang diterima langsung Alllah itu antaralain memberi baju yang kedinginan karena tidak bisa membeli pakaian,memberi makan yang kelaparan karena tidak memiliki makanan seperti para pengemis, anak jalanan, membebaskan yang tertindas dari perlakuan tidak adil, hukum tidak berjalan, penguasa yang tiran”(h.190).

            Inilah yang dikritik oleh buku ini, sebenarnya menjalankan ritual praktik keagamaan yang wajibing menungso (sudah menjadi kewajiban manusia) tidaklah cukup. Manusia perlu melakukan kebaikan-kebaikan, itulah mengapa Qur’an sendiri selalu menautkan antara dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dengan berbuat kebajikan dimanapun kita berada. Sebab hubungan dengan Tuhan perlu diimbangi dengan hubungan yang baik antara sesama manusia. Inilah praktik keagamaan Sufi, ia tak begitu terpukau terhadap kehidupan dunia, tetapi tak melupakan dunia sebagai ladang akhirat.

*) Saudagar Buku, tuan Rumah Pondok Filsafat Solo

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan