spiritualisme-vs-takfirisme

Spiritualisme Islam di Tengah Takfirisme

Agama tidak lahir untuk timur atau barat, agama lahir untuk manusia. Mengapa islam bisa berterima di barat dan di timur? Hal ini karena islam membawa misi kemanusiaan, untuk manusia. Tak heran bila Nabi sendiri dalam sabdanya mengatakan bahwa Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (adab) manusia. Jauh sebelum para pemikir dunia mencoba memprediksi masa depan agama, nabi sendiri sudah memperkirakan akan ada masa dimana manusia berada pada krisis besar. Bila menengok Ranggawarsita, akan ada masanya kita memasuki zaman kalabendu (zaman kacau).

Semakin ke depan kita memang merasakan betul ada krisis yang cukup signifikan dalam kehidupan di sekitar kita. Bagaimana akal, kemudian tak lagi menjadi panglima. Akibatnya bisa kita saksikan, orang menjadi begitu gampangnya terperosok ke dalam lubang kehinaan. Bagaimana manusia bisa dengan mudahnya korupsi, saling memaki, saling menghina, bahkan saling membunuh antar sesamanya.

spiritualisme-vs-takfirisme

Judul buku : Islam Tuhan, Islam Manusia
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Mizan
Tahun : Maret 2017
Halaman : 321 Halaman

Berkembangnya sikap saling menyalahkan, saling memusuhi, saling menjatuhkan ditelisik oleh Haidar Bagir di buku Islam Tuhan, Islam Manusia (2017). Dalam wawancaranya yang dikutip di buku ini, Haidar menilai bahwa gesekan yang terjadi antar umat Islam di Indonesia saat ini disebabkan oleh takfirisme. Takfirisme adalah menganggap hanya keyakinannya atau mazhabnya yang benar dan yang lain salah. Misalnya, Wahabi. Menurut Haidar Bagir, Wahabi itu mazhab yang sama sahnya dengan mazhab yang lain. Sama sahnya dengan mahzab Sunni, Syiah, dan lainnya. Yang tidak benar itu adalah wahabi takfiri, juga syiah takfiri.

Orang memerlukan akal dalam beragama. Mustahil beragama tanpa akal. Untuk mengerti, memaknai dan meresapi wahyu hingga sampai dalam amal, akal memiliki peranan penting. Karena itulah, karena pentingnya kedudukan akal itu, Tuhan tidak memberi kewajiban kepada orang yang tak berakal.

Akan tetapi, di jaman ini, jamak ditemui orang beragama tanpa diikuti oleh akal atau rasio. Bagaimana mungkin kita mengaku sebagai orang yang beragama, tapi begitu tega, begitu rela membunuh saudara-saudara kita tanpa alasan yang dibenarkan. Kelompok-kelompok islam radikal seperti ini kemudian membawa spirit agama ke dalam spirit perang, spirit musuh-memusuhi dan takfirisme.

Kaum atau kelompok islam yang demikian boleh jadi memang tak memahami bahwa ada relativitas mahzab-mahzab dalam islam. Haidar Bagir mengutip pernyataan para imam empat mahzab yang hampir semuanya tak bisa meyakinkan bahwa pendapatnya paling benar. Imam syafii misalnya pendapatku benar, namun sangat potensial keliru; sementara pendapat orang selainku itu keliru, namun sangat mungkin benar. Abu hanifah pun tak jauh beda tatkala ditanya Adakah fatwa Anda ini sebuah kebenaran yang tak ada lagi keraguan padanya?, ia pun menjawab Demi Allah, aku tak tahu. Jangan-jangan malah kebatilan yang tak ada keraguan lagi padanya. Imam malik pun seringkali menjawab aku tidak tahu, saat ditanya masalah-masalah agama. Maka, jika saat ini ada orang yang fanatik pada satu mahzab bahkan satu orang imam saja, sesungguhnya ia tidak sedang setia kepada mahzab tersebut. Malah sesungguhnya ia sedang berkhianat pada prinsip mahzab yang diikutinya.

Boleh jadi umat islam mulai lupa bahwa sebenarnya prinsip islam yang mengutamakan persatuan mulai ditinggalkan. Dalam hadist nabi bahkan dituliskan seseorang yang melakukan shalat sebagaimana kita, dan menghadap kiblat, serta makan daging sembelihan kita adalah bagian dari kita (muslim) (HR.Bukhari). Ibnu Taimiyah pun menegaskan : Tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengafirkan seorang Muslim, meskipun dia salah dan keliru, sehingga dijelaskan padanya hujjah (argumen) (yang dapat menunjukkan kekeliruannya), hingga hujjah  tersebut diterima olehnya. Inilah etika ketika kita berhadapan dengan sesama umat islam, kita dilarang mengafirkan meskipun saudara kita sebenarnya salah atau belum memahami apa maksud kita.

Lalu bagaimana dengan orang non-muslim?. Nabi sendiri sering mencontohkan akhlaknya ketika bersikap kepada non-muslim. Nabi tidak serta merta mendakwa non-muslim sebagai kafir di masa-masa awal islam, sampai islam berkembang pesat bahkan. Sebab Tuhan sendiri pun memang tak menghendaki semua manusia menjadi satu agama. Haidar Bagir pun menuliskan pendapatnya : jika seseorang tidak menerima Islam karena ketidaktahuan, atau karena argumen-argumen tentang Islam yang sampai kepadanya tidak meyakinkannya, orang-orang seperti ini tak serta-merta disebut kafir (h.203).

Bagaimana agar kita terus menyuarakan suara agama ditengah jaman yang sedang kacau?. Ada spiritualisme islam yang hendak diangkat kembali oleh Haidar Bagir melalui bukunya Islam Tuhan, Islam Manusia. Kita bisa menilik bagaimana barat begitu berterima saat Iqbal maupun Rumi membawa spiritualisme islam. Iqbal maupun Rumi melalui syair-syairnya tak hanya menyerap nilai-nilai islam yang universal, tapi juga menyejukkan, membawa angin segar perdamaian. Pada saat seperti itulah, kita tak lagi menelisik atau menyebut agama sebagai nama, tapi sebagai sebuah etos, spirit ruhani.

Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Rabrindanath Tagore, filsuf India. Ia menyuarakan agama sebagai sebuah misi bagi kemanusiaan. Tak heran ketika sekolahnya membawa suara kedamaian, suara asia, suara timur yang harmoni, penuh keadaban, penuh dengan kegembiraan, dan suka cita. Saat itulah, orang juga tidak menilai bahwa nilai-nilai yang dibawa Tagore adalah nilai-nilai Hindu, tapi nilai kemanusiaan yang universal.

Di bagian akhir Buku Islam Tuhan, Islam Manusia, kita diajak menilik kembali spiritualisme agama yang membawa kepada perdamaian, bukan permusuhan. Membawa spirit kemajuan dan spirit persatuan. Ada spirit (ruh) membawa islam kepada jalan atau rahmat bagi semua. Begitu pula kalau kita membaca dan menyimak buku-buku Haidar Bagir sebelumnya seperti buku Islam; Risalah Cinta dan Kebahagiaan(2012), Semesta Cinta; Pengantar Kepada Pemikiran Ibn Arabi (2015), juga bukunya Belajar Hidup Dari Rumi(2015), Mereguk Cinta Rumi (2015).

Maka Islam sejatinya bukanlah agama yang memonopoli tafsir, islam memberikan kelonggaran seluas-luasnya, tapi memiliki aturan-aturan atau batas yang mesti dijaga. Selebihnya, islam juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk terus menjawab tantangan-tantangan jaman yang kian pelik. Sebab islam percaya, di tangan manusia pula, dunia berada pada kemajuan, perdamaian dan kesejahteraan, atau sebaliknya dunia yang penuh kemunduran, kerusakan, dan juga kemiskinan.

*) Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kontributor bukuonlinestore.com

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan