sudah-waktunya-pulang-ke-rumah

Sudah Waktunya Pulang

Romna memungut bingkai foto penuh debu dari atas lantai. Ada sebuah gambar yang menunjukkan dirinya di antara anak-anak dan cucu-cucunya, mereka semua tersenyum dan mengenakan baju batik bermotif sama. Lalu ia berdiri di balik jendela, menatap kosong ke luar dengan wajah cemas. Setangkai bunga mawar yang tak lagi merah menunduk tepat di tengah hamparan rumput bagai mahluk yang kesepian. Mereka sudah waktunya pulang, batinnya.

sudah-waktunya-pulang-ke-rumahRomna tak pernah bertemu dengan anak-anaknya selama lima tahun. Setelah kematian suaminya karena kanker paru-paru, anak-anaknya pergi ke belahan dunia lain, menghilang seakan-akan ditelan bumi, tak ada lagi kata-kata atau suaranya. Anak sulungnya, Amit dimutasi oleh perusahaan tempatnya bekerja ke ujung utara Pulau Borneo, ia membawa serta istri dan anak-anaknya yang manis, sesekali Amit menyempatkan menelpon sekadar menanyakan kabar.

Ada pun anak keduanya, Yanti diperistri seorang pejabat ternama dan diboyong ke Ibu Kota, waktunya dihabiskan untuk arisan dan melancong ke luar negeri bersama istri-istri pejabat lain, terlalu sibuk menjumpai ibunya. Sedangkan Seno, si bungsu yang sangat disayangnya pergi merantau ke Tanah Jawa untuk menuntut ilmu. Setelah tahu ayahnya meninggal, ia bekerja serabutan dan jarang menelpon.

Terkadang, Romna menangis setiap kali memandang sudut-sudut rumah. Ia selalu melihat bayang-bayang Amit kecil bermain bersama adik-adiknya. Sekarang, jika wanita yang berusia senja itu sedang menyiram kebun bunga di kala fajar merekah, memberi makan ayam-ayamnya, atau tidur di malam hari, rantai pertanyaan di kepalanya selalu sama: “Bagaimana kabar cucu-cucuku? Apakah Yanti baik-baik dan sehat-sehat saja? Siapa yang mencuci pakaian Seno?” Ia ingin sekali bertemu dengan anak-anaknya, hanya saja setiap kali mengutarakan perasaan itu kepada mereka, anak-anaknya selalu memiliki seribu alasan yang mampu membuat luluh hatinya.

Di hari terakhir bulan Ramadhan, ketika Romna pulang dari pasar untuk membeli takjil, ia memeriksa panggilan tak terjawab pada telepon kabel dan mendapat sebuah pesan suara dari Amit. Halo Mak, ini aku.

Kemudian ada suara anak kecil yang terdengar tertawa seraya menyapa dari ujung saluran telepon. Hallo nenek!

Aku menelpon cuman mau bilang kalau kami tidak bisa pulang Lebaran tahun ini. Ada beberapa urusan di sini yang harus kuselesaikan. Aku berjanji akan pulang tahun depan, Mak. Sambil mendengarkan, Romna membuka bungkus plastik putih yang berisi risoles dan kue bingka, lalu diletakkannya kue-kue itu pada piring besar di atas meja makan di samping gelas berisi limun dingin.

Aku sudah mengirim kartu ucapan serta foto Izza dan Fatima yang sedang asyik bermain di sekolahnya. Anak-anak rindu dengan neneknya. Aku berharap bisa berada di sana. Selamat Idulfitri, Mak. Sampai bertemu tahun depan.

Selamat Idulfitri nenek! Pesan suara itu diakhiri dengan tawa anak kecil tadi dan diiringi nada yang panjang. Romna duduk di atas meja makan, menunggu azan berkumandang.

Malamnya, selepas berbuka puasa, Romna tidak beranjak dari balik meja makan. Wanita itu sadar bahwa umurnya sudah tidak lagi muda. Ia memandang lurus ke arah dinding seperti orang buta, memperhatikan jajaran foto yang diambil beberapa tahun silam: ia dan suaminya di tepi sungai, di dekatnya ada Yanti kecil memeluk ikan patin besar hasil memancing; ia dan suaminya berada di acara wisuda Amit, mereka bertiga berpose serius, berdiri tegap membelakangi kain lebar bergambar rak buku; ia dan suaminya meniup lilin berbentuk angka lima, di antara mereka terdapat Seno, menangis dengan mulut terbuka lebar, nampak jelas dua gigi seri bagian atasnya yang hilang; ia dan keluarganya duduk di meja makan, masing-masing dari mereka menikmati semangkuk soto ayam buatannya–mereka ada di mana-mana, tersebar di seluruh ingatan.

Romna menumpuk gelas kosong di atas piring kotor, lalu membawanya ke dapur. Suara gema takbir yang seolah tiada henti terdengar jelas dari surau di dekat rumahnya. Romna seakan mendapat ilham. Ia tidak sanggup terus membisu, disiksa perlahan oleh kesepian. Pikirannya melayang, raut wajahnya acuh dan masygul.

Ia memiliki rencana.

***

Suatu pagi, Amit berdiri sambil menggendong Izza, anak kembarnya yang sangat manja di beranda depan. Tak lama kemudian, tukang pos datang membawa surat-surat untuknya. Ia mengizinkan anak perempuannya yang menyambut surat-surat itu dari tangan tukang pos. Lalu mereka berdua masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah, anak pertamanya yang berambut ikal, Soleh berlarian mengitari meja makan, bermain bersama anak kembarnya yang lain, Fatima. Ketika suara gelak tawa kedua anaknya meruahkan seisi ruangan, Amit memperhatikan surat-surat yang digenggam Izza dan menemukan surat yang berasal dari rumah sakit terbesar di Samarinda. Amit membuka surat itu, membaca beberapa kalimat dan–menurunkan Izza–beranjak masuk ke dalam kamar. Kemudian Ia duduk di ranjang, membaca bagian awal dengan suara gemetar. Lelaki itu tak sanggup meneruskan bacaannya. Air matanya jatuh bercucuran membasahi kelopak mata; sambil memeluk Izza yang mengikutinya sejak di ruang makan, ia mulai menciumi kening bocah itu. Dengan sendu Amit  melepas kacamatanya, mengusap air mata yang mengalir perlahan ke pipinya.

Amit mengambil telepon genggam di dalam tas kerjanya. Setelah itu ia mengirimkan sebuah pesan singkat kepada kedua adiknya, untuk mengabarkan berita duka yang baru saja ia terima.

Mamak meninggal. Sudah waktunya pulang.

***

Seno sedang asyik bercengkrama dengan dua orang temannya di sebuah gedung yang memiliki koridor panjang, di mana mereka tengah membahas penjualan produk yang semakin hari kian menurun. Selang beberapa saat, telepon genggam yang berada di dalam saku celananya bergetar seraya menyenandungkan nada yang dihafalnya.

“Permisi sebentar,” ucap Seno. Salah satu dari temannya melambaikan tangan dan meneruskan berbicara dengan temannya yang lain.

Seno menatap layar telepon genggamnya, ia tertunduk dan mendadak berubah kaku. Ketika dua orang temannya berjalan pergi meninggalkannya, Seno bersandar pada dinding dingin bangunan itu. Tanpa sadar, ponsel yang digenggamnya terjatuh, meninggalkan retak kecil di bagian belakang.

Sementara itu, Yanti sedang dalam perjalanan menuju sebuah hotel. Ia dan suaminya diundang ke acara perjamuan halalbihalal yang diadakan oleh salah satu kolega suaminya. Tiba-tiba saja, ia meminta supirnya untuk kembali mengantarnya pulang begitu melihat pesan singkat yang dikirim Amit.

Sesampainya di rumah, Yanti mengepak pakaiannya dalam sebuah koper besar. Lalu ia membuka dompetnya. Di antara beberapa deretan kartu kredit, terselip foto kecil bergambar wajah Romna. Ia menangis tersedu-sedu sembari mengelus foto itu. Semalaman perempuan itu berbaring dengan pikiran berkecamuk, tak bisa memejamkan mata. Saat subuh datang, ia bangun dari ranjang, mengambil ari wudhu, kemudian berdiri mengarah kiblat seraya mengangkat takbir.

Lantas, ia mengucap doa hingga matahari menggelar karpet emasnya.

***

Seminggu setelah Lebaran, di depan rumah ibunya, mereka: Amit, Yanti, dan Seno bertemu. Yanti yang sepanjang jalan Balikpapan menuju Samarinda berurai air mata, memeluk erat Seno. Raut wajahnya kusut, pangkal hidungnya merah, eyeliner-nya luntur disapu oleh kesedihan. Ia belum melepaskan Seno, mengusap-usap rambutnya seolah tidak percaya adik kecilnya sudah beranjak dewasa.

Begitu memasuki rumah, mereka dikejutkan dengan hidangan lengkap yang tersaji di atas meja makan. Ini bukan bagian dari acara berkabung, pikir Amit yang berjalan paling depan. Ada berbagai jenis kue khas Lebaran yang ditaruh pada toples-toples kaca berbentuk bulat. Di tengah meja, terdapat dua mangkuk besar yang masing-masing berisi opor ayam dan ketupat. Amit dan Yanti saling bertukar pandang kebingungan.

Seketika, dari balik dapur, sesosok wanita tua yang mereka kenali keluar mengenakan gamis putih yang terdapat jahitan bunga pada bagian bawahnya. Yanti tersentak melihat Romna yang berjalan membungkuk, seolah ia melihat hantu ibunya. “Oh, Mamak!”

“Dengan cara apalagi aku bisa membawa kalian semua ke sini?”

“Nenek!” Anak Amit, Izza berlari mendatangi Romna. Sontak, Romna pun menunduk seraya memeluk erat gadis itu.

Momen itu berlalu. Mereka semua duduk bersama-sama di meja makan, mengudap hidangan yang sudah disiapkan Romna. Istri Amit nampak membawa sepanci besar kuah soto yang kemudian diletakkannya di pusat meja makan. Hari itu seisi rumah riuh rendah dengan teriakan-teriakan penuh kecerian. Sulit bagi mereka untuk bersikap apakah harus tertawa atau menangis, saat Romna bercerita mengenai surat kematian palsu yang didapatnya dari tetangga di ujung gang yang bekerja sebagai pengurus rukun kematian. Sementara itu, Seno terus memandangi Romna, tawanya cekung dilapisi senyuman penuh kebahagian.

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan