surau-kampung

Surau Kami

Di sudut utara Desa Maesan inilah, surau kami berdiri. Tak ada yang tahu pasti, siapa yang membangun tempat peribadatan beratap daun aren itu. Konon katanya, seorang prajurit asal Madura yang menyeberang lewat Jangkar yang mendirikan surau ini.

Tak ada yang aneh apalagi kesan mistis. Meski dinding terbuat dari anyaman bilik bambu, lantai berkeramik tanah dan sedikit bergelombang, surau ini sangat nyaman dijadikan rumah ibadah. Hanya saja, persoalan muncul dua hari menjelang lebaran.

Mistor yang baru datang dari umrah dan mewakafkan sebidang tanah yang sudah dibangun masjid, bersikukuh memindahkan jamaah ke masjidnya. Sebagai imam surau, Wak Dar tak persoalkan keinginan tersebut. Hanya saja, raut muka lelaki tua itu tak tersenyum saat mengatakan setuju.

Surau ini sudah berdiri sebelum Belanda datang. Kenapa baru dipindah sekarang?” tutur Wak Dar dengan nada lirih. “Lagipula, apa bedanya sembahyang di surau dan di masjid? Yang dilihat bukan tempatnya, tapi salatnya.”

Kedua anak Wak Dar tak jawab. Sengaja bungkam agar sang bapak tak terlalu memikirkan masalah ini.

Aku itu bukan keberatan surau yang tak lagi ditempati salat. Tapi, kenapa saat Mistor kaya? Dahulu saja dia makan di sini.”

Lagi-lagi, Jom dan Asnawi terdiam. Diam-diam mereka mengamini ucapan Wak Dar. Mistor dulunya bukan orang berada. Ia yatim piatu semenjak kecil, dan sering membantu Wak Dar mengikat daun-daun ketela yang bakal dijual di pasar sore.

Semenjak Mistor sukses sebagai pengepul padi, dia jarang sekali bertamu ke rumah Wak Dar. Bahkan, semua salat kecuali salat lebaran, diminta pindah ke masjid yang baru dibangun itu. Dan sekarang, dua hari menjelang lebaran, dia meminta salat ied di sana. Praktis, surau hanya ditempati salat untuk keluarga Wak Dar saja. Sialnya, Mistor tak pamit ke Wak Dar selaku imam surau.

Kita harus menegur Mistor. Seharusnya dia menghormati Bapak. Bapak masih ada. Masih hidup,” ujar Asnawi setelah melihat bapaknya masuk ke dalam.

Tak usah, Wi. Kalau tak ada yang mengalah, kita bakal tengkar. Tak baik. Bulan puasa, kok, tengkar. Apalagi sudah mau lebaran.”

Asnawi tak merespon ucapan kakak perempuannya itu. Ia sendiri tak habis pikir, kenapa surau yang berdinding bilik bambu ini menjadi alasan baik tidaknya suatu salat. Sepertinya memang benar. Ia harus menegur Mistor. Tanpa pamit, ia pergi ke seberang lapangan. Setiba di rumah Mistor, ia mendapati juragan padi itu duduk di teras rumah dengan Dullah dan Rahem. Tanpa banyak cakap, Asnawi langsung mencecar Mistor tak karuan. Sedangkan si Mistor, tampak santai menanggapi cercaan Asnawi.

Kamu tahu sendiri, kalau dipindah ke sini, orang-orang yang ada di pinggir kangai bakal salat. Kalau ke surau, mana muat, Wi?”

Ini bukan soal banyak tidaknya yang salat. Tapi ini soal etika. Soal sopan santun. Bagaimana bisa kamu tidak menghargai Bapak selaku imam surau?”

Oalah, Wi, Wi. Bapakmu itu tak tuli. Dia dengar apa yang kusampaikan lewat corongan masjid. Kenapa aku harus menemui bapakmu? Lagipula, Wi. Masjid ini bersih. Selain bisa menampung banyak orang, juga tempatnya nyaman. Tidak kumuh seperti surau yang kalian tempati itu.”

Apa yang kamu lakukan di sini, Wi? Kamu menemui orang tak bisa menjaga tata krama?”

Tetiba, Wak Dar datang tertatih-tatih. Di sampingnya, Jom berjalan dengan muka bersungut. Sepertinya, lelaki tua itu sudah menebak kalau Asnawi ada di rumah Mistor.

Kamu jelaskan seluas bumi dan setinggi langit pun, kalau hati orang sudah ditutupi cinta dunia, bakal percuma. Sia-sia!”

Asnawi terdiam. Mistor juga begitu. Tak lama, Sanawi beranjak pergi mengikuti langkah bapaknya. Tetapi terhenti, setelah Wak Dar menoleh ke belakang. Ke arah Mistor dan kawan-kawannya.

Malaikat apalagi Tuhan itu tidak mencatat salat seseorang karena tempatnya yang indah atau megah. Tapi dari hatinya.”

Begitulah. Salat lebaran pun dipindah ke masjid yang disumbang Mistor. Bapak juga salat di sana. Selain untuk menghormati keinginan Mistor, dia juga tak mau mengedepankan ego. Sayangnya, beberapa bulan setelah semua rutinitas salat pindah ke masjid, beberapa orang datang menemui Wak Dar. Termasuk Dullah dan Rahem.

Saya tak bisa khusyu’ kalau salat di tempat yang megah, Wak,” seru Rahem meminta penjelasan Wak Dar. “Apa sampean tahu penyebabnya?”

Sebenarnya, Wak Dar tak mau lagi berbicara tentang masjid sumbangan Mistor. Hanya demi menghormati dan menghargai tamu saja, dia mengikuti alur pembicaraan.

Tak khusyu’ bagaimana?”

Begini. Setiap kali memasuki masjid itu, dan sembahyang. Saya selalu berpikir, berapa banyak uang yang disumbang Mistor? Apa benar ratusan juta? Terus, marmer yang saya injak, apa benar didatangkan dari Persia? Dan banyak lagi pertanyaan yang muncul saat saya di dalam masjid.”

Setuju,” timpal Dullah. “Kalau saya malah berpikir tentang Mistor. Dia pasti dapat banyak pahala dari orang-orang yang salat. Dari tanah yang diwakafkan. Dari masjid yang dibangun. Wajar kalau dia beristri empat. Tabungan pahalanya sudah banyak.”

Wak Dar sesekali tersenyum. Dengan tenang, ia menghisap rokok klobot yang terbuat dari tembakau yang dihaluskan lalu dibungkus daun jagung kering. Baru setelah tamu di depannya berhenti menceritakan segala beban pikiran, ia berbuka suara.

Itu bukan karena masjidnya, tapi hati kalian yang sudah ditutupi silau dunia.”

Ah, masak iya, Wak? Tapi memang, rasanya beda antara salat di masjid dengan di surau.”

Itu hanya perasaan kalian saja.”

Ah, Wak Dar ini. Saya sungguhan, Wak. Salat di surau, terasa lebih khidmat. Pokoknya, mulai maghrib, saya salat di sini.”

Saya juga.”

Begitulah. Kedua orang itu mulai salat di surau. Wak Dar sendiri tak melarang, sebab salat hukumnya wajib. Dia tak mau mencari pertengkaran kendati sudah mengingatkan Dullah dan Rahem kalau sebaiknya salat di masjid saja. Tapi, keduanya tak mau. Tetap memaksa salat di surau.

Semenjak keduanya salat di surau, banyak orang yang kembali salat di sana. Ada Juhri, Samin dan lainnya. Alasannya sama. Mereka tidak menemukan kenikmatan salat saat sembhayang di masjid. Justru hati dan pikiran mereka selalu terpusat akan duniawi.

Keadaan ini mengundang kisruh. Mistor tak terima jamaah masjid berkurang. Apalagi, masjid hanya ramai saat ramadhan. Itupun minggu pertama. Sedangkan salat lima waktu, hanya dua shaf penuh yang itupun suatu pelampauan terbesar.

Dengan muka geram ia mendatangi Wak Dar yang baru selesai mengimami salat maghrib.

Sebaiknya surau ini ditutup. Jamaah di masjid semakin hari semakin sedikit gara-gara pindah ke sini.”

Wak Dar tak menanggapi.

Bagaimana bisa surau kumuh seperti ini ditempati salat? Tak sah salat yang kalian kerjakan ini.”

Cukup, Tor! Orang-orang mau salat di surau atau masjid, itu hak mereka. Kita tidak bisa mengatur. Lagipula, sudah kukatakan padamu kalau hati yang menjadikan seseorang diterima salatnya. Bukan tempatnya.”

Mistor tak terima. Dia berusaha memukul Wak Dar tapi dihalang Dullah dan Rahem. Dan bersamaan dengan itupula, terdengar bangunan roboh. Sangat keras menghantam tanah. Bahkan asap bangunan mengepul ke atas. Orang-orang berhamburan menuju arah masjid. Dan ternyata, masjid yang dibangun Mistor hancur dengan tanah. Tak ada angin, tak ada hujan, masjid yang konon menghabiskan dana lima ratus juta itu luluh lantak. Mistor yang berjalan gontai menuju masjid, langsung pingsan lantaran tak kuat menyaksikan masjid yang dibangun dengan dana ratusan juta itu, kini tak tersisa walau sebatang bata.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan