bayar-sekolah-dengan-sampah

Tak Ada Rotan, Sampah pun Jadi

Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia memang memiliki banyak kendala. Laporan Kompas (12/10/2016) dengan judul “Sekolah Rusak Masih Masalah Klasik”, misalnya, menunjukkan aspek fisik masih jadi bagian persoalan dunia pendidikan kita. Belum lagi jika melirik persoalan non fisik yang tak kalah peliknya, seperti pembenahan kurikulum, perdebatan tentang filosofi pendidikan, tujuan pendidikan, dan lain sebagainya.

Ditambah lagi kasus-kasus korupsi dalam dunia pendidikan, seperti tertangkapnya Ketua Komisi A Jawa Tengah, Yudhi Tri Hartanto oleh KPK karena diduga menerima suap untuk anggaran dunia pendidikan di Kebumen.  Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan bahkan mengatakan modus permainan anggaran, terutama untuk sektor pendidikan, diduga terjadi di daerah lain di Indonesia (Kompas, 17/10/2016).

Kendala paling besar adalah kemiskinan. Masih mahalnya biaya pendidikan kita di Indonesia membuat banyak anak-anak bangsa akhirnya tidak mendapat akses pada dunia pendidikan dengan baik. Sekolah gratis yang digadang-gadang oleh pemerintah kelihatannya belum terbukti nyata. Jadi tidak mengherankan jika angka anak putus sekolah dan rentan putus sekolah masih saja terus meningkat setiap tahunnya di Indonesia.

Namun di tengah kompleksitas persoalan ini, ada saja peristiwa yang menginspirasi kita untuk menemukan jalan keluar. Irma Tambunan melaporkan liputannya dari Jambi, “Setorkan Sampah untuk Menikmati Sekolah” di harian Kompas, (12/10/2016). Adi Putra (37), seorang penyiar muda di Radio Republik Indonesia (RRI) Jambi, mengembangkan sebuah gagasan baru. Berangkat dari keprihatinannya terhadap anak-anak kecil, yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi lemah, dia menyulap rumahnya menjadi TK dan PAUD sebagai sarana pendidikan bagi mereka.

Orang tua tidak perlu memusingkan pembayaran SPP karena cukup dibayar dengan sampah. Dengan kata lain, anak-anak dapat bersekolah gratis dengan sampah.

Cara kerjanya sederhana. Setiap anak dikenai iuran SPP Rp. 40.000/bulan. Orang tua dapat mencicilnya dengan cara menyetor sampah ekonomis rumah tangga setiap hari. Masing-masing sampah dinilai dengan harga yang berbeda; kaleng aluminium bekas, Rp 10.000/kg; gelas plastik Rp 2000/kg; botol kaca Rp 200; koran bekas dan kardus Rp 2000/kg.

Kemudian sampah ini akan dikelola menjadi kerajinan tangan, berupa topi, mainan sederhana, hingga alat peraga dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan.

Bagian paling menarik, Adi juga menerima donasi dari berbagai lembaga atau instansi perusahaan. Tapi donasi yang diterimanya bukan berupa uang, tapi dengan sampah. Donasi sampah ini akan ditujukan bagi anak-anak yang tidak mampu melunasi iuran SPP. Dari hasil donasi ini jugalah penyelenggaraan kegiatan operasional belajar mengajar dan termasuk membayar gaji empat orang guru dan kepala sekolah dapat dicukupi.

Ternyata, kondisi ini juga berguna bagi pendidikan anak itu sendiri. Pertama, lewat kondisi ini, anak-anak diajari menjadi lebih kreatif melihat lingkungan sekitarnya. Kedua, anak-anak juga mendapat edukasi lebih tentang pemanfaatan sampah menjadi bahan kerajinan tangan. Ketiga, kegiatan kewirausahaan dengan menjadikan sampah sebagai bahan baku jadi bertumbuh.

Idenya semula dicemooh banyak orang. Banyak yang pesimis, “Bagaimana mungkin sampah digunakan untuk membiayai pendidikan?” Namun, kerja kerasnya menepis segala keraguan itu. Adi membuktikan bahwa sekolah gratis dengan sampah ternyata bisa menjadi solusi kreatif bagi pendidikan anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi lemah.

Kreatifitas Adi Putra untuk menjawab keprihatinannya pada kondisi dunia pendidikan disekitarnya patut diacungi jempol. Dia tidak berorientasi pada masalah, tapi pada solusi. Sampah, sesuatu yang kita anggap tidak bernilai, justru dijadikannya bernilai sebagai solusi terhadap mahalnya pendidikan.

Adi Putra menjadi inspirator karena di tengah gemarnya kita menggerutu menyalahkan pihak lain karena bobroknya dunia pendidikan; dia malah bekerja mencari solusi kreatif. Pepatah yang mengatakan “Daripada menyalahkan gelap, lebih baik menyalakan lilin” sangat pas untuk sosok Adi Putra dengan “sekolah sampah”nya.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan