Tanah dan Persoalan Lainnya di Jawa

                Desa selalu menawarkan surga yang tak bakal kita temukan di kota. Udara sejuk di pagi hari, kicauan burung-burung gereja, dan embun yang hendak menetes di sela-sela matahari sedang ranum-ranumnya. Serta hijau padi, yang rimbun disertai angin sepoi-sepoi. Suasana seperti itu masih bisa kita jumpai di desa. Desa masih menyimpan aneka kecantikan alam di pagi hari. Di saat orang lekas bergegas menjemput dan mengejar pagi, Pak Tani sudah semula mendatangi sawah-sawah mereka.

                Mereka bekerja paling awal, tetapi pulang pun lebih awal. Tidak sampai siang, Pak Tani sudah istirahat pulang memanggul cangkulnya. Dari para petani itulah, kita bisa makan beras, bisa melanjutkan hidup. Ingat hal ini, saya jadi ingat ketika istri saya bersemangat tentang cerita bapaknya. Karena bapaknya seorang petani, ia mendengar nasihat bijak tentang petani. “Jangan sekali-kali meremehkan petani, kita bisa seperti sekarang ini karena petani. Petanilah yang menyediakan makanan kita, kalau tak ada petani, maka kita tak bisa makan seperti sekarang ini”. Nasehat itu barangkali sering dimunculkan oleh seorang petani sebagai memori, pengingat serta wejangan agar meskipun si anak tak menjadi petani, rasa hormat anak-anak mereka tak pernah luntur pada kaum tani.

                Kekaguman terhadap petani juga datang dari orang barat. Di halaman 12, E.De Vries (1972) menuliskan “Demikian banyak orang Barat melihat kehidupan tenteram dan romantis di desa. Tidak jarang mereka ini rikan kepada pak Tani dengan kebutuhannya yang terbatas, penjalinannya dengan alam, dan irama kerjanya yang tenang”. Teranglah disini, bahwa kaum petani dikagumi karena keselarasan hidupnya dengan alam yang terlihat menyatu.

                Ada anggapan bahwa persoalan tanah pertanian di Jawa ikut serta memberikan pengaruh bagi perkembangan lainnya di pedesaan. Seperti hubungan sosial, kebudayaan serta pengaruh-pengaruh di dalam individu dan masyarakat petani. Vries (1972) di buku Masalah-Masalah Petani Jawa mengurai mengenai masalah-masalah pokok yang terjadi dengan petani di Jawa.

                Ada sorotan penting semenjak tahun 1946, setahun setelah merdeka sampai dengan 1964, boleh jadi sampai sekarang tak banyak berubah mengenai sorotan Vries (1972) tentang penyebab masalah pertanian di Jawa. Diantara penyebab yang mencolok sampai sekarang adalah persoalan ledakan jumlah penduduk. Ledakan jumlah penduduk di indonesia sampai sekarang belum diimbangi dengan penempatan, penataan serta strategi bagaimana mengatasi persoalan tanah ini. Kita jadi miris tatkala melihat tanah-tanah yang sebenarnya luas, luang, banyak kemudian di sewakan, dan dijual.

                Orang tak lagi memandang seratus tahun kedepan. Apakah cicitku masih bisa menikmati sawah?. Menikmati hembusan angin pagi?. Orang-orang desa dahulu punya anggapan bahwa tanah sebaiknya dibagi sebelum meninggal, sehingga orangtua bisa melihat anak-anaknya tumbuh d idekat orangtua mereka. Akan tetapi, logika anak muda sekarang mesti beda. Mereka lebih suka untuk berfikir bahwa tanah yang sudah dibagi yah diterima, mau dijual lagi atau mau ditabung itu pilihan si anak. Inilah masalah pertama tentang tanah pertanian di Jawa khususnya diantaranya adalah tak seimbangnya antara jumlah penduduk yang meledak dengan ketersediaan tempat tinggal mereka.

buku-lama-masalah-petani-jawa

Judul Buku: Masalah-Masalah Petani Jawa
Penulis: De Vries
Tahun: 1972
Penerbit: Bhratara
Halaman: 30 Halaman

               Ada tiga unsur yang terletak dalam bidang ekonomi pedesaan yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tanah di jawa. Pertama, pendidikan, mentalitas dan organisasi petani sendiri. Kedua, mengurangi kepadatan penduduk dengan emigrasi dan industrialisasi. Ketiga, di tingkat internasional, stabilisasi harga hasil pertanian. Pendidikan bagi petani penting agar dasar kemajuan harus ditanamkan di dalam hati petani. Bergaul dengan dirinya sendiri berarti kesempatan mengembangkan diri, asal saja disiplin yang keras. Emansipasi dari susunan kosmis yang tradisionil di desa menuju  susunan moril yang sadar, di dunia Timur harus dilakukan atas landasan sempit yang membahayakan , suatu akibat langsung dari kepemilikan tanah yang kecil dan kepekaan konjunstur (h.28).

                Pada akhirnya, meskipun dihimpit oleh pelbagai kesulitan dalam lingkup keluarga maupun dalam konflik masyarakatnya, kaum tani seolah tak mau melepaskan pekerjaan ini. Mereka tetap berusaha sekuat tenaga untuk mencari lahan lagi untuk mengurusi sawah. Atau dengan berbekal pengetahuan mereka, mereka melakukan inovasi dalam produk dan metode bertanam. Meski cara-cara yang disarankan telah dilakukan,  setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita ketahui. Pertama, Kaum tani memerlukan uang, pendidikan tentang pentingnya penggunaan uang sehingga mereka bisa memanfaatkan uang yang mereka miliki dengan bijak. Kedua, tanah di jawa makin lama makin menyempit, yang mau tak mau menuntut manusianya kreatif. Inilah beberapa pandangan yang pokok mengenai tanah dan nasibnya di Jawa. Sehingga ikut merembes kepada persoalan-persoalan penting lainnya.

 

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan