Tantangan Dunia Pendidikan Kita – Membebaskan Makhluk Automaton

Socrates dan Descartes adalah dua filsuf tersohor yang kental dengan tema-tema filsafat tentang jatidiri. Jatidiri harus diketahui dengan pasti. Kesadaran menjadi unsur penting jatidiri. Dalam kesadaran terkandung kepastian-kepastian sebagai syarat lengkap dari jatidiri. Unsur-unsur ini akhirnya bertemu dalam ruang kebebasan – bebas berpikir dan menentukan identitas sendiri. Jatidiri adalah sebuah identitas merdeka. Dia tidak bisa dikekang, dibelenggu, apalagi dinihilkan.

Dua pemikir besar itu tentu punya konteksnya sendiri. Socrates, ketika itu, harus berhadapan dengan kaum sophis. Mereka disebutnya sebagai guru palsu. Guru yang dibayar agar mau mengajar. Mereka adalah guru-guru yang mengajarkan apa yang mau didengar muridnya, bukan apa yang seharusnya didengar. Sementara Descartes hadir dalam konteks kekuasaan institusi Gereja Katolik yang memonopoli pengetahuan. Dalam hal ini, kaum sophis dan institusi Gereja Katolik adalah pembelenggu jatidiri. Sebuah masa yang dikenal sebagai era kegelapan (Dark Ages)

Kemudian, datanglah zaman Pencerahan (aufklarung; enlightment). Zaman dimana penanaman dogmatis (indoktrinasi) tentang apa pun diruntuhkan. Imanule Kant, dengan “Sapere Aude”-nya mulai berani mempertanyakan segalanya. Pencerahan adalah era dimana segala bentuk konformitas dilepaskan. Manusia dituntut untuk menjadi dewasa dan berani berdiri di atas kaki sendiri. Di masa Pencerahan inilah manusia akhirnya bebas menentukan dirinya sendiri tanpa perlu meminta pendapat orang lain, yang dianggap berotoritas dari dirinya sendiri.

Pencerahan bisa disebut sebagai titik awal modernisasi. Rasionalisasi diagungkan. Mitologi ditinggalkan. Manusia yang merdeka mulai mencari sesuatu yang baru. Pencarian itulah yang akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dikembangkan. Dia dijadikan berguna untuk kehidupan. Ilmu pengetahuan yang diterap untuk kehidupan praktis itu diberi nama: teknologi.

Akhirnya teknologi dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Teknologi mengeksplorasi alam. Perkawinan antara teknologi dan kepentingan ekonomi melahirkan industri. Industri melahirkan barang yang harus dijual untuk nilai lebih (laba). Pada titik inilah, manusia dijadikan sebagai objek. Manusia adalah pasar.

Para pemilik industri, sebagai pemilik modal (kapital), harus berpikir agar barangnya laku dijual. Inilah titik awal lahirnya iklan. Di hadapan iklan, keinginan harus diubah menjadi kebutuhan. Suara dan gambar di televisi dan radio berpadu padan dengan permainan warna di papan iklan berusaha memanipulasi hasrat manusia. Tujuannya tunggal, mengubah suara hati manusia dari “Aku mengingini ini.” menjadi “Aku membutuhkan ini.”

Manusia-manusia yang terjerat di hadapan iklan, mengukuhkan ketidakberdayaannya. Jatidiri yang tadinya bebas, terpasung di hadapan bintang iklan. Dia kini tak mampu lagi menentukan apa dan siapa dirinya yang sebenarnya. Jadi benarlah Erich Fromm dalam tulisannya, “Mendidik si Automaton” dalam buku “Menggugat Pendidikan”. Dia mengatakan, “kondisi-kondisi ekonomis telah meningkatkan keterkucilan dan ketidakberdayaan individu di zaman kita ini.”

Modernitas kini berubah wajah. Anak kandung dari Pencerahan ini, kini mengkhianati ibunya. Pencerahan, sebagai ibu, tadinya berencana untuk membebaskan manusia dari indoktrinasi apa pun. Dia ingin mewujudkan manusia bebas. Tapi, modernitas dengan segala kemajuan teknologi dan kepentingan ekonominya, kini malah balik memasung manusia. Moderintas membunuh kesadaran manusia. Manusia modern akhirnya hidup, bergerak, dan berpikir serupa mesin, serba otomatis. Itulah yang disebut sebagai makhluk automaton.

Makhluk automaton adalah individu yang kehilangan hakikat dirinya sendiri. Secara sadar, dia anggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri. Namun, tanpa disadarinya, dia dikendalikan oleh sesuatu yang tak disadarinya.

Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, dalam buku, “Dialektika Pencerahan” menyebutkan situasi ini sebagai anti klimaks dari Pencerahan. Pencerahan tak lebih hanya sebuah industri kebudayaan, kata mereka. Film, musik, dan karya seni yang lain, tak lagi berpretensi sebagai seni. Itu semua tak lebih hanya sebuah bisnis. Pengendalinya adalah mereka yang punya kapital. Artinya, peran kaum Sophis dan institusi Gereja kini digantikan oleh para kapitalis sebagai pemonopoli pengetahuan. Para kapitalis akhirnya mengambil peran sebagai penanam dogma. Zaman kegelapan muncul lagi dalam bentuk yang terselubung.

Satu-satunya yang bisa membebaskan kita dari situasi ini adalah pendidikan. Tak bisa dipungkiri, sistem pendidikan sebuah negara akan mengikuti ideologi dominan yang berkuasa. Ideologi dominan bukanlah ideologi yang diakui, tapi ideologi yang sejatinya sedang bekerja. Sekolah, kata Althusser dalam buku, “Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara” adalah aparatus ideologi itu sendiri. Sekolah adalah sarana untuk menyebar ideologi. Sekolah adalah alat suntik yang menyalurkan ideologi itu. Sekolah, lanjut Althusser, adalah sarana untuk mendidik anak-anak untuk tunduk pada ideologi yang berkuasa. Penilaian Althusser (memang) sangatlah negatif. Tapi, tak bisa dipungkiri, dia ada benarnya.

Inilah tantangan dunia pendidikan kita sekarang. Beranikah kita menjawab tantangan teoritikus pendidikan Amerika, George S. Count, “Beranikah sekolah membangun tatanan sosial yang baru? Beranikah sekolah melepaskan dirinya dari belenggu kelas-kelas dominan lalu menghadapi isu sosial dengan berani dan langsung?” Atau mampukah kita menjawab tantangan Erich Fromm agar sekolah mendidik anak untuk berpikir dan bukan hanya mengingat “fakta-fakta” belaka?

Pendidikan, dari etimologi kata, berasal dari kata educare. Artinya menuntun; memimpin keluar. Pertanyaannya adalah keluar dari apa? Keluar dari kesulitan untuk meneliti apakah keinginan, pikiran, dan perasaan kita adalah milik kita sendiri ataukah suntikan dari luar. Tugas ini menjadi sangat berkaitan dengan persoalan kewenangan dan kebebasan jatidiri. Pendidikan harus mampu mengeluarkan makhluk automaton itu. Makhluk automaton, walau hidup secara biologis, tapi mati secara psikologis, mental, dan emosional. Mahluk automaton bukanlah jatidiri bebas. Pendidikan berguna untuk membebaskan itu.

Situasi ini membuktikan kalau kita perlu Pencerahan gelombang kedua. Agenda ini tentunya ada di tangan para pendidik. Para pendidik harus berani mendidik para nara didiknya agar bisa berpikir dan mengambil keputusannya sendiri. Manusia harus dididik untuk menjawab pertanyaan apakah ini yang kuinginkan atau yang kubutuhkan. Ini bukan perkara mudah karena para pendidik akan berhadapan dengan kondisi-kondisi sosial yang mengarahkan nara didiknya untuk mengingini apa yang tidak dibutuhkannya. Oleh karena itulah, pendidikan tidak hanya bicara transformasi individual belaka, tapi transformasi sosial juga.

, , , , , , , , ,

Satu tanggapan ke Tantangan Dunia Pendidikan Kita – Membebaskan Makhluk Automaton

  1. layla 19 Juli 2016 pada 23:07 #

    Tulisan yang josss

Tinggalkan Balasan