seri-buku-pendidikan-teacher-wisdom

Teacher Wisdom: Belajar Dari Guru-Guru di Masa Lampau

Buku Teacher Wisdom  memikatku bukan hanya karena covernya yang cukup menarik. Dari cover itu, ada sebaris kalimat singkat “Lengkap dengan Tips Mendidik dari Abad ke Abad”. Sebaris kalimat pendek itu mampu membuatku membeli dan membacanya. Saya seolah mengikuti pepatah yang mengatakan “jangan menilai buku dari covernya”.

Buku ini pertama kali kulihat di pusat perbelanjaan. Aku tertarik karena buku ini ada singgungan tentang tema pendidikan. Tema yang sering kutulis dan hendak kupelajari secara intens.

Desain, hingga penataan letak buku ini begitu bagus. Tak hanya pewarnaan yang diperhatikan sungguh, tetapi juga cara menata font hingga ilustrasinya benar-benar sempurna. Buku ditulis oleh Tim Wesfix, tim yang menyusun buku ini.

Ada berbagai petuah, renungan, hingga aforisma dari para guru-guru di masa lampau di himpun di buku ini. Kita bisa mengutip petilan dari kata-kata Lao Tzu guru yang hidup di tahun (618 -907 SM). Ia tak hanya dikenal di Tiongkok, tapi juga di seluruh dunia. “Barangsiapa memahami orang lain adalah bijak, barang siapa memahami diri sendiri adalah suci, barang siapa mengalahkan orang lain, ia mempunyai kekuatan fisik. Barangsiapa  menumbangkan diri sendiri ialah yang kuat” (h.3).

Dari Lao Tzu, kita beranjak pada filsuf lain. Yakni Confusius (551-479 SM). Confusius memberikan ujaran bijak tentang siapa sebenarnya yang pantas menjadi guru. Menurutnya “Dia yang mempelajari masa lalu untuk menemukan sesuatu yang baru, adalah yang pantas mengajar” (h.7).  Karena itulah, seorang guru menurut Confusius adalah seorang yang memiliki perhatian terhadap sejarah. Tentu saja agar ia tak terjebak atau mengulangi kesalahan lagi generasi yang sudah lampau.

Kita tak hanya disuguhi Lao Tzu, maupun Confusius, kita juga bakal disuguhi kata-kata dari Aristoteles, Plato, hingga Quantilian. Aristoteles misalnya mengatakan bahwa akar pendidikan memang terasa pahit, tapi buahnya manis. Plato sendiri juga menuliskan bahwa tindakan manusia mengalir dari tiga sumber utama yakni pengharapan,perasaan dan pengetahuan. Sedangkan Quantilian memberi nasehat bijak pada kita : “ Kita perlu membentuk pikiran kita dengan membaca dalam-dalam, dan bukannya membaca banyak-banyak”(h.20).

Sampailah kita pada halaman-halaman buku yang menguraikan metode pendidik dari jaman ke jaman. Kita mulai dari Quantilian, Quantilian membagi tahapan pendidikan kedalam tiga tahapan. Tahap pertama dari usia 0-7 tahun, masa-masa itu orangtua harus memilih perawat, pendidik, dan pengasuh yang cakap bicara. Tahap kedua, dari usia 7-14 tahun. Anak di masa ini harus mempelajari pengalaman. Pengalaman inderawinya, membentuk gagasan yang jernih dan melatih ingatannya. Tahap ketiga, dari 14-17 tahun. Anak mulai belajar seni budaya, baik Yunani maupun latin ditambah sastra, sejarah, dan mitologi serta musik, geometri, astronomi dan olahraga.

Bila sejenak kita memperhatikan tahapan pendidikan menurut Quantilian, ada konsep yang ideal yang mestinya bisa diterapkan dalam pendidikan di sekolah-sekolah kita. Misalnya di usia taman kanak-kanak, anak-anak memang perlu merasakan pengalaman inderawi tak hanya melalui sentuhan, tatapan, hingga pengalaman langsung mengenali benda-benda dan apa yang ada di sekitar mereka. Bila hal ini sudah berhasil, tentu akan mudah mengingat dan beranjak pada tahapan berikutnya yakni menulis atau membaca. Akan tetapi, tahapan di taman kanak-kanak kita justru memberi pilihan-pilihan yang memaksakan anak tidak berjalan normal dalam tahapan pendidikan seperti Quantilian. Banyak dari anak-anak kita justru dituntut oleh orangtua dan sekolah agar lekas bisa membaca, sehingga perkembangan motorik dan psikomotoriknya tak begitu bagus.

Begitu pula ketika anak sudah mencapai usia remaja, mereka memerlukan belajar sastra, musik, mitologi, sejarah hingga olahraga. Pelajaran-pelajaran seperti ini memang perlu didengungkan ketika anak-anak sudah menginjak usia remaja. Pelajaran-pelajaran ini selain menjadi bekal, juga mengantarkan mereka sebagai seorang pencari identitas, mereka akan lebih lengkap dalam mendapatkan gambaran utuh mengenai sosok ideal melalui sastra dan sejarah. Sedangkan musik, tak hanya membuat jiwa mereka menjadi lembut, tetapi juga ditopang olahraga agar fisik mereka juga semakin kuat.

Itulah sejenak gambaran mengenai pendidikan menurut Quantilian. Kita juga bakal mendapati metode mengajar ala Pestalozzi. Pestalozzi menulis bahwa strategi mengajar yang baik diantaranya adalah: Pertama, Mulai dengan benda-benda yang konkret sebelum mengenalkan konsep-konsep yang abstrak. Kedua, mulai dengan lingkungan sekitar yang diakrabi oleh murid, sebelum mengajarkan tema-tema yang jauh. Ketiga, mulai dengan latihan yang mudah, sebelum yang kompleks. Keempat, selalu berproses secara bertahap (h.42).

Konsep Pestalozzi ini penting dalam mendidik. Guru-guru selama ini memang sering ingin anak-anak cepat tahu, padahal mereka memerlukan proses dalam belajar. Proses-proses itulah yang dijadikan oleh Pestalozzi dalam metode mengajarnya. Pada dasarnya anak tak bisa dipaksa untuk langsung menguasai materi dalam waktu beberapa hari saja. Terlebih, setiap anak dikaruniai kelebihan yang berbeda-beda.

Buku Teacher’s Wisdom juga memuat metode belajar ala Ki Hadjar Dewantara bapak pendidikan nasional kita. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan itu mesti memperhatikan tiga hal yakni Niteni, Niroke, Nambahi (Memperhatikan, meniru, dan menambahi). Membaca buku kecil ini kita diajak menyusuri dari pemikir pendidikan dan para guru di masa lampau sampai dengan guru-guru terkini. Kita juga diberi gambaran mengenai metode mendidik yang cukup memberi tambahan pengertian kita mengenai cara mengajar yang baik. Sebagai guru, tentu saja buku ini bisa dijadikan sumber pengetahuan baru, dan undangan untuk mencari buku-buku yang ditulis oleh para guru-guru bijak ini.

*)Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, tuan rumah Pondok Filsafat SOLO

 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan