Telinga

Kamu tahu seperti apa telingaku sekarang?

Daun telingaku terkatup. Bukan hanya satu, tapi dua-duanya, kanan dan kiri. Itu kuketahui sejak seminggu yang lalu, saat aku hendak mencoba giwang mutiara peninggalan ibu. Aku raba cuping telingaku, mencari tindikan tapi lubang kecil itu seperti hilang. Entah apa yang terjadi. Padahal aku selalu membersihkan telingaku setiap pagi.

Herannya, aku tetap bisa mendengar dengan jelas. Saking jelasnya hingga pembicaraan si Bos dengan salah satu temanku dua hari yang lalu seperti masih erat melekat menggelantung di rongga telinga. Mereka berbisik-bisik tapi justru bisikan itu seperti menembus gendang telingaku. Mereka bicara tentang hilangnya dokumen pendirian bangunan kantor yang selama ini disimpan di brankas HRD. Sebelumnya aku telah ungkapkan kecurigaannku terhadap tikus tua yang kulihat sempat berjalan mengendap-endap di sekitar brankas itu. Tapi tak ada yang percaya. Bosku bilang beliau telah memelihara tikus itu bertahun-tahun dan tak pernah sekalipun ditemukan mencuri atau mengerat kertas-kertas. Aku sedikit mendengus kesal tapi tak pernah kubantah lagi. Toh aku hanya berhipotesis, bukan berkesimpulan. Setelah peristiwa itu semakin banyak orang berbisik-bisik di sekitarku.

Aku raba kedua telingaku lagi. Tetap terkatup. Tak ada lubang telinga. Aku meringis, membayangkan bahwa aku tak akan memiliki telinga. Bagaimana jika ada kotoran menyumbat. Bagaimana jika bau. Bagaimana jika aku harus menelepon suamiku menggunakan headset. Ughh. Masih beruntung karena rambutku dapat menutup bentuk telingaku yang menjadi aneh ini. Tapi hidup dengan bentuk telinga seperti ini tanpa kuketahui penyebabnya sungguh membuat kesal. Aku menelusuri silsilah keluargaku, baik dari ibu maupun ayah. Hasilnya, semuanya normal. Tak ada telinga keluargaku yang “puter”.

Tiba-tiba aku ingat Krenggo! Duh, aku tidak mau seperti dia. Krenggo sedikit tidak waras. Ia sering berjalan mengitari kampung masa kecilku. Jalannya agak jinjit dan telinganya mengatup. Ahh! Bicaranya yang pelo semakin membuat aku takut saat itu jika Krenggo mendekat. Tapi teman-temanku justru menertawakannya, lalu mengikuti langkah kaki Krenggo dari belakang. Aku ditinggalkan.

Aku keluar kantor lalu duduk di gazebo taman samping. Aku mulai memikirkan strategi untuk mengembalikan telingaku seperti sedia kala. Kuiris, tak mungkin. Dioperasi, hhmm aku takut. Dicucuk menggunakan kayu, hiiiii itu juga tidak mungkin. Lalu tanpa sadar aku mengelus-elus telingaku. Semakin terasa halus. Kuelus lagi, seperti ada yang bergerak. Kini kuelus kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Terbuka sedikit! Seperti ada yang menekan dari dalam lubang telingaku. Kuelus lagi dan … terbukalah kedua daun telingaku. Dari dalam telingaku keluar benda-benda berbentuk huruf banyak sekali. Aku bingung. Tidak ada darah. Tidak terasa sakit. Tapi huruf-huruf itu mengalir keluar. Aku mencoba mengambil satu huruf T. Kupegang benda itu. Lembut, kenyal, mirip daging. Memiliki kulit dan berwarna kecoklatan. Semakin geli rasanya. Aku meletakkan kepalaku di meja. Pandanganku berkunang-kunang. Kuning. Lalu gelap.

Lahat, 13 Nov 2014

untuk: T

2 tanggapan ke Telinga

  1. moderator 13 November 2014 pada 19:49 #

    💡

    • maria_ita 13 November 2014 pada 21:16 #

      tengkyuhhh 😀

Tinggalkan Balasan