korban-fitnah

Terjebak Fitnah

Senja ini begitu cepat pergi, membenamkan warna kemerahan pada nuansa hitam pekat. Padahal, aku masih merindukan keindahan wajahnya, aku merasa tenang. Begitu santainya senja ini berlalu seakan tanpa dosa, sesantai dirinya yang pergi meninggalkan hatiku. Sejatinya kekasih memang tak mesti akan jadi jodohmu. Tapi jika masih ada kesempatan untuk mengejar, maka kejarlah, sampai engkau merasa tak mampu lagi untuk mengejarnya.

Berpayah-payah hingga berdarah-darahlah diri ini menggapai mimpi. Mimpi yang sempat kurajut bersamanya tiga belas tahun silam, waktu itu aku dan dia masih berseragam putih abu.

“Tunggu aku hingga selesai kuliah.” Satu kalimat yang belasan tahun lalu terlontar dari mulut Reza tatkala kami menghabiskan malam terakhir, sebelum esok harinya dia akan pergi ke Sumatera.

Malam itulah malam diawalinya segala kerinduan yang setiap detik menyiksaku. Aku terperangkap pada pengharapan tanpa ujung, rindu yang tak bertepian, serta cinta yang terabaikan. Reza tenggelam ke dunia tanpa peta, tak dapat kulacak segala jejak. Dimana ia? Ke mana ia?

Terkadang kuakui bahwa aku memang terlalu bodoh mengabdikan cintaku pada manusia yang mendustai kesetiaannya. Tapi sekali lagi, cinta ini memang membutakan akal sehatku. Semakin kucoba membenci Reza, semakin tangguh pula kekuatan cinta yang kurasa.

“Irham pemuda baik dan punya masa depan cerah. Wanita itu semakin tua semakin menjadi bahan cibiran apabila belum menikah. Apalagi yang kamu tunggu, Tiara?”

Perkataan ibu memang betul adanya, tapi apa bisa seseorang menikah sementara hatinya masih terpaut pada yang lain. Mampukah kita menjalankan biduk rumah tangga secara sakinah sementara hati kita saja sedang berdusta. Bukankah menikah bukan hanya sekedar pembuktian bahwa kita telah  mendapatkan jodoh atau tidak, tapi juga harus melibatkan hati yang saling mencinta.

Hari berlalu begitu cepat, bahkan terasa lebih cepat dari rambatan cahaya. Waktu terus menggerus waktuku, lembaran perjalanan semakin tebal hingga kisah ini sepertinya akan telah tiba pada bab terakhir kehidupan. Ya, sejatinya semakin menua daun kehidupan, semakin sedikit pula masa kita berada di kefanaan ini. Senantiasa kuikhlaskan hatiku menjadi ruang pengekspresian segala hina bina atas diri yang dikata orang sebagai wanita angkuh penolak cinta, kubiarkan saja bibir ini menjadi seonggok daging yang tanpa daya tanpa cerita: aku tak pernah melawan sekalipun mereka bilang aku perawan tua.

Reza, dia membelengguku dengan cinta. Dan anehnya, aku biarkan saja ini terjadi. Hingga hari ini ketika senja habis ditepis pekatnya malam, tatkala aku menikmatinya di stasiun kereta Jogjakarta, bening mataku masih saja mengibarkan rupanya. Hari ini, aku mencoba keluar dari kota ini, kota yang di setiap sudutnya telah dihiasi wajah Reza, barangkali jika aku keluar aku bisa melihat dunia lain tanpa ada jejak-jejaknya.

Deru kereta serupa deru jantungku. Ada debar yang sulit dijabarkan dengan kata apapun. Ketika kereta ini melewati perbatasan, tak terasa titik-titik bening di mataku tumpah. Kepiluan menyeruak, sebab meninggalkan kota ini berarti mengubur habis segala pengharapanku. Terbayanglah dulu, bagaimana aku dan Reza menggoreskan sebuah paku tajam ke batang sebuah pohon, kami menuliskan nama kami berdua.

“Kita beri nama pohon cinta. Jika tidak rubuh, kelak jika telah dikaruniai anak kita akan berkunjung kembali ke tempat ini. Melihat tulisan kita.” Katanya waktu itu, di salah satu sudut hutan wisata Kaliurang.

Entah bagaimana nasib pohon itu setelah berbelas tahun berlalu, entah masih kokoh berdiri dengan namaku dan nama Reza yang masih tertulis atau kini telah tumbang tanpa daya seperti hatiku? Yang pasti, setelah belasan tahun itu, kakiku kini telah berada menjauhi Jogjakarta. Aku telah tiba di Bandung. Kota yang kata orang seperti Paris, kota romantis. Aku pun demikian, berharap menemukan keromantisan lain yang jauh lebih memikat dibanding yang kucipta bersama Reza. Dan di Bandung, akan kumulai perjalanan baruku.

“Di sini hanya memerlukan wanita dengan maksimal 27 tahun saja. Mbak tidak termasuk kriteria. Maaf ya kami tolak.” HRD perusahaan yang mewawancaraiku mengembalikan surat lamaranku.

Aku tidak dapat berbuat banyak. Dengan sedikit senyum kecil lagi hampa, aku keluar dari ruangan itu.

“Bagaimana mbak hasilnya?” Seorang pria muda yang sama-sama melamar ke perusahaan advertising itu tampak penasaran dengan hasil wawancaraku. Setelah ini adalah gilirannya.

“Belum beruntung.” Agak malas juga menjelaskan pada anak muda di hadapanku ini.

“Apa yang kurang?”

“Umurku.”

“Ooo… berarti perusahaan ini butuh yang seperti apa? Aku baca di persyaratannya tidak ada batasan umur.”

“Perusahaan ini tidak butuh wanita di atas dua lima.”

“Tapi kalau punya kemampuan kenapa nggak, mbak. Yang terpenting dalam bekerja itu kan skill bukan usia. Lagian pula mbak kelihatannya masih muda.”

Aku tersenyum kecil. Entah pria ini sedang bermasalah dengan penglihatannya atau memang aku yang memang terlihat awet muda hingga usia kepala tiga masih dikira muda.

“Harusnya begitu, skill yang diutamakan. Bukankah semakin tua usia semakin luas pengalaman. Dan hal itulah yang akan membuat kinerja kita lebih sempurna. Tapi mungkin karena ini perusahaan advertising jadi yang muda-muda lebih menarik.” Jelasku seraya membenahi tempat duduk yang jaraknya terlalu dekat dengan pria tersebut.

“Maaf, kalau boleh tahu umur mbak berapa?”

“Tiga puluh dua.”

Pria itu tampak terkaget,

“wah, benar-benar awet muda ya. Aku kira baru dua puluh lima. Kalau umur tiga puluhan pasti sudah punya anak ya, dan kalau anaknya perempuan pasti secantik mbak.” Pria muda itu sedikit menggoda, hingga aku tersenyum kecil.

Anak, ya memang seharusnya begitu. Seharusnya aku sudah punya anak selayaknya teman-teman sebayaku. Andai aku adalah penulis skenario kehidupanku sendiri, maka akan kutuliskan kisahku sebagai ibu kandung dari anak-anaknya Reza. Tapi apalah daya, aku hanya sebuah wayang dalam panggung kehidupan. Sang dalang segala alam dialah Tuhan. Juga tentang takdir cintaku, aku hanya berikhtiar menanti barangkali Tuhan menciptakan aku dari tulang rusuk Reza. Iya, barangkali saja. Sebab sejatinya kehidupan ini hanyalah sebuah rahasia.

Dadaku sesak, terasa berat. Tidak mudah menghapus segala kata-kata manis yang diuntai Reza tatkala mimpi-mimpi tentang rumah tangga yang bahagia bersamaku ditebar, sekalipun waktu itu usia kami masih belasan tahun.

“Kalau anak kita perempuan akan cantik sepertimu, kalau anak laki-laki tentu ganteng seperti diriku.” Ucap Reza waktu itu disertai dengan rasa percaya diri yang di atas rata-rata.

Aku tersenyum kecil, kerinduan menyeruak dan membunuh dayaku. Terbayanglah kembali bagaimana manisnya wajah kekasihku itu. Dan Saat ini, aku kembali merasa ingin menemuinya, tapi di mana, ke mana?

“Umur tiga puluhan secantik ini, wah beruntungnya suami mbak. Suaminya tidak ikut mengantar mbak?”

Suara pemuda itu membuyarkan lamunanku. Dan pertanyaannya, sungguh aku tidak ingin menjawab. Aku hanya menggeleng.

“Beruntung sekali mbak bisa segera dapat pendamping dan punya keturunan. Saya lihat di media sosial banyak perawan-perawan berusia yang tidak mau menikah tapi gonta-ganti pacar. Malah mereka dengan beraninya mengadakan sayembara untuk para lelaki yang mau mengencaninya dengan iming-iming harta kekayaan. Zaman sekarang sudah edan. Kalau menurutku lebih baik mereka menikah karena itu lebih mulia. Zaman sekarang tidak usah patok standar tinggi-tinggi, yang penting setia dan bertanggung jawab itu sudah cukup. Dari pada jadi perawan tua dan tak bisa menahan nafsu birahinya, akhirnya ya hilang rasa malu. Padahal kan menikah merupakan cara kita terhindar dari fitnah.”

Aku tertegun, ucapan pemuda di hadapanku ini serasa menamparku. Perawan tua, O…terasa sangat sakit mendengarnya.

Lalu, Fitnah? Fitnah apa yang pemuda ini maksud. Selama ini aku biarkan diriku sendiri tanpa pendamping bukan untuk menciptakan fitnah. Aku hanya ingin menikah dengan landasan cinta, itu saja. Dan cintaku..O Tuhan! Segoblok itukah diriku membiarkan rasaku mati karena terbelenggu cintaku yang hilang. Kenapa aku tidak berfikir mungkin saja saat ini Reza tengah berbahagia dengan anak dan istrinya tanpa pernah mengingatku lagi. Kenapa tak pernah kupertanyakan itu? Padahal di sini aku setia menunggunya hingga waktu pagiku perlahan pergi, gurat kedewasaanku kian nampak. Hingga orang menyebutku perawan tua….

Kuputuskan untuk berjalan kaki sebentar berkeliling Kota Kembang sebelum kembali ke kontrakan. Hasil wawancara tadi memang mengecewakan. Aku memang punya pengalaman, tapi rupanya keberuntungan belum berpihak padaku. Ini baru awal perjalanan. Kedepannya rintangan akan lebih berat. Jadi, semangat!

Suasana kota ini begitu ramai, apalagi di kawasan alun-alun. Nuansa kota modern dengan penataan yang apik begitu membuat nyaman para pengunjung. Terlebih di sini terdapat pusat grosir pakaian yang murah-meriah khas kota ini.

Mataku terus berputar, menelusuri setiap gurat wajah kota yang kini jadi pijakanku.

Aduh…!

Tiba-tiba secara tak sengaja aku menabrak seorang lelaki seusiaku yang sedang berdiri di hadapanku.

“Maaf, aku tidak melihat.” Ucapku seraya membungkuk dan mundur dua langkah.

“Oo..tidak apa.” Kata lelaki itu sambil membersihkan minuman yang tumpah ke bajunya.

“Maaf, aku menumpahkan minumannya…”

“Gak apa-apa mbak. Maklum saja jalanannya begitu ramai jadi mungkin mbak gak sengaja menyenggol saya.”

Lalu, awww! Kini, giliran tubuhku yang tertabrak oleh seorang anak kecil yang berlarian. Aku hampir terjatuh. Sontak saja, pria di hadapanku ini segera menolong. Kedua tangannya tertopang di kedua pundakku, badanku pun tertahan.

Aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Sebelum kubenahi tubuhku yang hampir jatuh tiba-tiba seorang perempuan datang dengan suaranya yang keras.

“Hey, kamu ngapain sama suamiku? Lepaskan, apa ini maksudnya?” Hardik perempuan itu. Dengan kasar dia melepaskan kedua tangan suaminya yang menopang pundakku.

“Maaf, tadi aku tersungkur dan suami mbak…”

“Ah sudahlah, sekarang ini banyak wanita yang berdrama demi mendapatkan suami orang. Aku gak percaya alasanmu.”

“Aku tidak sejahat itu, mbak.”

“Idih…dasar wanita jalanan! Sekarang aku tanya mana suamimu kalau kamu benar tidak punya niat tertentu pada suamiku?”

Aku terdiam.

“Sudahlah..mbak ini tidak bersalah..” Pria tadi mencoba membelaku.

“Ih papa ini gimana sih kok malah belain dia? Hey, mana suamimu biar dia tahu kelakuan istrinya.” Wanita itu terlihat semakin meradang.

Aku tak menjawab apapun. Aku berusaha keluar dari keadaan memanas itu.

“Jangan pergi, enak saja. Tangan suamiku telah menyentuhmu. Akan kulaporkan kelakuanmu pada suamimu biar tahu rasa! Mana suamimu? Kamu punya suami kan?”

Aku tak mampu menjawab apapun, kecuali diam.

“Kenapa diam? Mana suamimu? Jangan-jangan kamu gak punya suami. Iya kan?!”

Demi mendiamkan mulut wanita itu, dengan berat hati aku mengangguk.

“Pantas saja godain suamiku, dasar wanita jalang! Memang sekarang ini wanita-wanita sepertimu akan menghalalkan banyak cara untuk mendapatkan laki-laki tajir seperti suamiku. Termasuk pura-pura terjatuh, ditolong, dan kemudian berkenalan. Setelah itu, mulai menghancurkan rumah tangga orang. Iya, kan?”

Mulut buas perempuan itu terasa mengoyak-ngoyak hatiku. Harga diriku dijatuhkan begitu saja di hadapan khalayak. Pada saat itu, aku benar-benar terlihat seperti orang yang bersalah.

“Jangan menuduhku mbak, aku bukan wanita seperti itu.”

“Halah.. terus kamu tadi ngapain berdekat-dekatan dengan suamiku? Hebat sekali kamu ya, baru bertemu saja suamiku sudah berani menyentuh pundakmu. Dasar wanita binal!”

“Cukup!”

Tidak sanggup lagi telingaku mendengar hina bina semacam itu. Di sini di depan orang banyak, aku menjadi terdakwa tanpa ada yang membela satu pun. Malah di antaranya mencoba menggunakan kesempatan ini untuk merekamnya dan menyebarkannya di dunia maya.

Aku merasa alam sedang tidak adil padaku, di tengah-tengah wajah kota yang cantik ini hanya aku satu-satunya yang menangis. Sementara yang lain berbahagia menikmati jalan-jalannya. Bahkan ada yang berbahagia juga melihatku di caci maki. Mereka tersenyum-senyum sinis dan berbisik ke telinga temannya yang lain “lagi musim pelakor ya?”

Drama kehidupanku terasa teramat pahit. Benar kata pemuda yang kutemui saat wawancara, bahwa wanita yang sendiri selamanya akan terjebak dalam fitnah. Andai aku telah bersuami, mungkin dialah yang akan menjadi pembelaku.

Dan tentang Reza, aku tak ingin lagi mengingatnya…

Aku mulai mencoba membunuh Reza dalam hatiku. Benar kata pemuda itu, bahwa seorang wanita yang sendiri selamanya akan terjebak dalam fitnah.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan