wajah-yang-terlupakan

Terlupakan

Sore itu, lelaki yang mengenakan kaos oblong warna kelabu, duduk menyendiri di taman kota. Sesekali dia melihat wira-wiri kendaraan yang melintas. Selebihnya, tatapannya menembus keramaian.

Nun jauh di sana, lelaki tadi hadir dengan nuansa masa silam. Saat dirinya berjalan mesra dengan seorang perempuan, yang kini rimbanya saja tak ketahuan. Beruntung jika meninggalkan sepucuk surat, atau sebaris kalimat perpisahan, bekas bayangnya pun tak terlihat. Konon katanya, si perempuan sengaja pergi akibat tak tahan dengan sikap si lelaki.

Serba ingin tahu, begitulah persepsi si perempuan. Ia menganggap, kekasihnya terlalu berlebihan dengan aktivitas yang dilakukan sepanjang hari. Jika ada kawan lelaki yang menyapa, dipastikan kekasihnya akan marah-marah tak jelas. Jika ada seorang teman lelaki yang bertanya tugas lewat pesan WhatsApp, dipastikan pula kekasihnya akan membalas pesan tersebut dengan bahasa kelewat kasar. Begitulah pandangan perempuan itu terhadap kekasihnya. Sedang si lelaki tak setuju. Katanya, ia hanya bersikap kritis. Sebab dalam hubungan harus ada sikap kritis. Tak boleh percaya seratus persen, karena seratus persen harus diberikan kepada Tuhan. Dan kepada pasangan, kepercayaan harus berkisar di angka sembilan puluh sembilan persen. Sayangnya, si lelaki lupa. Kalau kritis beda tipis dengan buruk sangka, dan kritis yang berlebihan akan terlihat seperti orang pendengki.

“Kopinya, Bang?” tawar seorang anak muda. Membuyarkan lamunan lelaki penyendiri yang duduk di kursi besi.

Awalnya lelaki itu ingin menolak, sebab ia tak mau minum kopi. Tetapi, entah mengapa, kali ini ia ingin menikmati kopi yang katanya memiliki filosofi tinggi. Akhirnya, ia mengiyakan si penjual. Dan kembali mengosongkan pikiran untuk mengenang masa lalu.

“Kopi ini akan membuat Abang lebih mudah mengingat kenangan,” tetiba, si penjual kopi mengucapkan sebaris kalimat motivasi ala Mario Teguh. Seolah-olah dia mengerti, kalau si pembeli sedang mengenang masa lalu. “Kalau Abang tak percaya, silakan seduh pelan-pelan, lalu resapi. Kopi ini akan menjalar ke setiap spektrum tubuh yang akan membawa kenangan kembali terbayang.”

Si lelaki ingin tertawa mendengar penuturan penjual kopi keliling ini. Ia menebak, penjual kopi yang sepertinya masih anak SMA itu, sudah membaca novel karangan Dee yang berjudul Filosofi Kopi.

“Masih sekolah?”

“Iya, Bang. Kelas tiga.”

“Lanjut?”

“Lanjut kuliah? Entahlah, Bang. Kuliah butuh biaya, tak seperti jual kopi yang dapat uang.”

“Sekarang banyak beasiswa. Tak ada alasan buat tak meneruskan kuliah.”

“Lah, Abang sendiri kenapa duduk di sini sambil mengenang masa lalu? Tak ada alasan untuk menyimpan kenangan yang menyakitkan, Bang.”

Si lelaki tersenyum. “Kamu tahu darimana kalau aku mengenang masa lalu?”

“Wajah Abang terlihat suram.”

Si lelaki menunduk. Tak menimpali ucapan penjual kopi. Lagi-lagi ia berusaha mengosongkan pikirannya. Untuk sekedar menikmati masa lalu yang kini menjadi kenangan. Ia ingat, dua hari sebelum kekasihnya pergi, dan itu artinya sebelas purnama yang lalu, ia datang ke taman ini. Saat itu, gerimis sedang turun. Jadi tak banyak pasangan yang datang.

“Kalau tak bisa mencintai, jangan membenci. Kalau kamu tak sanggup memberi, maka jangan mengambil.”

Si lelaki bingung mendapati kekasihnya mengucapkan kalimat ini. Seakan sengaja menyinggung dirinya sendiri. “Kenapa kamu tiba-tiba berkata begitu?” tanya si lelaki. Sedang kekasihnya tersenyum.

“Bukankah, perempuan memang sulit dimengerti?” tanya kekasihnya.

Sambil menikmati arakan gerimis sore, keduanya duduk di kursi panjang di bawah pohon trembesi. Tak ada pertengkaran di hari itu, layaknya sebuah pertanda bagaimana sebuah hubungan akan berakhir. Tak ada pula perdebatan yang biasanya sering mewarnai kisah mereka. Sore itu, benar-benar damai. Benar-benar tentram. Keduanya hanya sibuk memandang taman sambil sesekali bercakap ringan. Hingga tak terasa, adzan Maghrib berkumandang. Sang perempuan beranjak berdiri.

“Tak baik adzan Maghrib ada di luar. Sebaiknya kita pulang.”

Sebenarnya, lelaki itu mampu menahan keinginan kekasihnya. Tetapi, dia merasa, harus menuruti permintaannya jika tak mau bertengkar. Apalagi, di sore itu, waktu berjalan begitu damai. Seandainya si lelaki mampu, ia berkinginan mengubah banyak waktu di masa lalu agar berjalan damai seperti sore terakhir itu. Tujuannya hanya satu, agar semua masa lalu mereka bisa dikenang dengan indah. Bukan dengan perdebatan yang acapkali mereka dengungkan.

Sesaat sebelum perempuan itu berbonceng, ia menoleh ke arah pohon trembesi, di dekat kursi yang tadi mereka duduki. Begitu lama memandang, lalu berpaling ke arah si lelaki.

“Kamu tahu kenapa kunang-kunang tak pernah datang ke pohon ini?”

Si lelaki menggeleng tak tahu.

“Sebab kunang-kunang tak mau datang karena sudah ada banyak lampu penerang. Dia takut bersaingan dengan lampu-lampu itu. Jadi mereka lebih memilih berdiam di pegunungan daripada di taman.”

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan si perempuan. Selebihnya, ia hilang seakan ditelan bumi. Tanpa kabar, dan tanpa jejak, si lelaki terus mencari tanpa putus asa. Sayangnya, ia tak menemukan kemana kekasihnya pergi. Hingga ia kembali ke taman ini. Berharap menemukan kunang-kunang yang dimaksud kekasihnya itu.

“Kopinya sudah dingin, Bang,” tetiba, suara penjual kopi itu kembali membuyarkan lamunannya. Ia tersadar, si penjual belum beranjak. Oh, ya, dia belum membayar segelas kopi yang dibeli. Pantas dia menunggu sedari tadi.

Sebelum mengambil beberapa lembar di dompetnya, anak muda penjual kopi berujar, “Kalau Abang bertemu dengan Jin yang bisa mengabulkan permintaan Abang, kira-kira, Abang meminta apa?”

Benar-benar ia ingin ketawa. Sepertinya, anak muda ini memang penyuka dunia fiksi. Mulai dari filosofi kopi ala Dee Lestari, sekarang dia bertanya soal Jin seperti kisah Aladdin.

“Abang mau minta apa?” ulang anak muda tadi.

“Aku minta Jin tadi melupakan kenangan tentang kekasihku,” jawab si lelaki asal-asalan, lalu menyodorkan beberapa rupiah ke anak muda penjual kopi.

Setelah membayar uang kopi, si lelaki beranjak berdiri. Padahal kopinya hanya diseduh sedikit. Tiba-tiba, si penjual kopi mengambil segelas kopi yang masih tersisa itu, lalu dibuang tepat ke muka si lelaki. Lalu pergi. Berlari.

Beruntung kopi tak lagi panas. Ia ingin marah kepada penjual kopi. Bisa-bisanya dia menyiram kopi ke wajahnya, padahal dia yang membeli. Sayangnya, si lelaki merasa sedikit aneh. Sesaat, badannya terasa lebih ringan. Otaknya terasa berkurang akan beban. Ya, dia merasa ada yang hilang dari dirinya. Apalagi kalau bukan kenangan bersama kekasihnya yang pergi. Dia tak memiliki ingatan apapun tentang perempuan itu. Dia tak ingat akan kepedihan yang selama ini dirasakan. Ia tak mengingat apapun. Tak satupun. Lantas dia berdiri dengan muka senyum, lalu cepat-cepat berjalan ke arah parkir. Hendak mencari masjid, menumpang membersihkan mukanya yang tersiram kopi.

Belum lama dia berjalan dari kursi yang diduduki, ia berpapasan dengan seorang perempuan. Seseorang yang baru beberapa menit lalu dipikirkan. Seseorang yang lama pergi tanpa kabar. Seseorang yang dulu ia sebut sebagai kekasih. Dan sekarang, ia tak ingat akan sosok itu. Dia hanya tersenyum sebentar ke arah perempuan, seraya membersihkan sisa ampas kopi di wajahnya. Seakan tak terjadi apa-apa, dan seakan-akan tak mengenal siapa perempuan itu sebenarnya. Sedang si perempuan ingin menyapa. Ingin meminta maaf akan sikapnya. Hanya saja, matanya menatap nanar sedang bibirnya kelu tak bisa bicara.

BACA JUGA:

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan