korban-teror-bom-samarinda

Teror dan Nasib Anak-Anak Kita

            Saat teror melanda, orang tak pernah bisa menduga. Ia tak bisa mengira, menerka, ancaman yang sebenarnya tak jauh dari kita. Kita tak tahu, sampai kapan teror akan berakhir. Semenjak adanya gaung melawan terorisme, sepertinya teror justru semakin subur. Suara-suara itu, ledakan itu, kemudian kekejian itu, seperti membuat mata kita seperti semakin rabun. Kita tak lagi merasa heran, seperti sebuah lalu lalang kendaraan yang menderu-deru di jalanan. Atau seperti kereta api yang lewat di depan rumah kita di setiap sorenya.

            Kebisingan, perih, dan suara yang menyayat itu seperti tak lagi mengejutkan. Tapi, benarkah demikian?. Kemarahan, murka, dan hujatan kita kepada mereka, seperti malah menambah subur keyakinan mereka untuk melakukan teror dan menebar ketakutan. Sungguh semakin heran rasanya, surga menjadi iming-iming yang begitu mudah ditempuh dengan meledakkan diri dan membunuh liyan.

            Adakah agama bisa menjelaskan bagaimana teror terjadi?. Saya lebih mempercayai bahwa terorisme adalah bagian dari cuci otak yang masif. Ia tak hanya dihembuskan sekali. Ia didengungkan, diserukan, digelorakan, dimasukkan dalam pikiran, disuntikkan kedalam aliran darah, hingga orang merasa lupa, linglung, tak sadar, dan percaya hanya surga yang ada di depan mata mereka.

            Agama dalam terorisme justru diartikan sebagai seruan yang bagi saya ilusif. Para teroris melandaskan agama menjadi angan-angan palsu semata. Agama sepertinya tak mengajari umatnya berlaku keras, bebal, dan menebar permusuhan dan kebencian. Menurut Prof Dr. Muhammad Imarah, dalam bukunya Wacana-Wacana Ekstremisme (2014), ada empat postulat yang dipegang orang yang memandang agama secara ekstrem diantaranya adalah postulat “jahiliahisme”, artinya, yang ada sekarang ini, dipandang jahiliah, tak sesuai dengan kondisi dimana nabi dahulu. Postulat kedua adalah “kekafiran dan pengkafiran” masyarakat-masyarakat kontemporer ini, negara-negaranya dan pemerintahan-pemerintahannya dianggap kafir bila tak sesuai dengan dasar pandangan mereka. Postulat ketiga, “kemurtadan umat islam”, hal ini diangkat dari tinjauan masa lampau sampai sekarang yang mencoba mengembalikan kearah purifikasi (pemurnian). Postulat terakhir, adalah mengenai “kelompok selamat”, hanya kelompok  merekalah yang paling benar, dan menyalahkan kelompok lain.

Saat Anak-Anak Menjadi Korban

            Pada setiap aksi terorisme, tak jarang anak-anak menjadi korban. Kita ingat Intan Olivia Marbun yang tewas tak tertolong akibat aksi teroris di Samarinda.  Bahkan pada penanganan teroris pun anak-anak menjadi korban. Simak misalnya keetika saat teror di Solo, terduga teroris ditembak mati di depan anaknya, saat itu pula anak menjadi sakit, merasakan takut. Begitu pula saat Siyono, terduga teroris yang ada di Klaten, yang dibekuk dan membuat anak-anak ketakutan melihat Densus. Teror pada anak-anak ini sesungguhnya lebih kejam dan sulit disembuhkan. Perasaan traumatik, ketakutan yang melekat, sampai ingatan yang mendekam dalam alam bawah sadar mereka tak bisa sepenuhnya kita hilangkan. Kekerasan seperti inilah yang membuat kita makin sadar, kita seperti dihadapkan pada kondisi yang tak aman, perang, dan kecaman.

            Ada kegagalan negara yang berulang, keteledoran, dan kelengahan. Sebagai sebuah kekuatan yang besar, negara mesti melindungi setiap nyawa warganya. Terorisme adalah musuh nyata, yang berakar dari radikalisme dan sikap ekstremisme dalam beragama.

            Ada motifasi ilusif yang dikejar, hingga nyawa pun seperti tak dihiraukan lagi bila menjadi taruhannya. Mereka sudah seperti —meminjam kalimat dari Buya— seperti sudah takut menghadapi hidup. Kehilangan harapan, kehilangan tujuan, dan tak tahu lagi harus berbuat apa dalam kehidupan yang serba runyam seperti sekarang ini. Bagi kelompok ekstremis, orang yang demikian sangat potensial dijadikan sebagai korban, umpan, untuk mencapai tujuan mereka menebar teror dan konon memeluk bidadari di surga sana.

            Pikiran mereka seperti sudah mati, buta, dan picik. Tak ada pertimbangan siapa yang menjadi korban mereka. Tak ada lagi kepedulian, siapa yang akan mati dan siapa yang sudah mereka bunuh. Mereka hanya merasakan, ada bau surga yang mereka cium. Nurani, tak lagi ada dalam dada mereka.

            Saat anak-anak ada di sekitar kita, menangis, menjerit, merintih kesakitan, ada yang benar-benar menusuk dada kita. Kita seperti menatap melalui mata mereka, menangis melalui mata mereka, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Tak ada lagi masa depan, tak ada lagi tawa, canda dan tangis mereka dalam sekejap. Nyawa mereka, hilang oleh kebiadaban dan iming-iming surga.

    Menyembuhkan luka dalam jiwa, tentu tak semudah menyembuhkan luka fisik yang ada di tubuh mereka. Secara psikologis,  anak-anak di Samarinda benar-benar telah dilukai. Begitu pula secara fisik mereka yang ikut menjadi korban kebiadaban para teroris. Tubuh mereka menanggung derita dan traumatik yang mendalam. Saat ingat tubuh mereka, mereka justru ingat tentang kekejaman dan luka.

Rasanya tak boleh lagi, kita kalah melawan terorisme. Kita pun tak bisa lagi melawan terorisme dengan pendekatan yang biadab seperti mereka. Mereka (teroris) telah merampas masa kanak-kanak, masa depan anak-anak kita. Kekejaman mereka tak bisa dibenarkan dalam pandangan agama apapun. Islam, terlebih, bukanlah agama yang menebar ketakutan, ancaman, dan menyerang dengan konyol orang-orang tak berdosa apalagi anak-anak.

Teror telah melibatkan tak hanya pelaku  yang masih berusia anak-anak dan remaja, ia juga memakan anak-anak, sampai dewasa sebagai korbannya. Merawat serta menjaga pendidikan dan aqidah anak-anak kita pada aqidah yang benar, akan membawa anak-anak kita pada pemahaman agama yang benar dan lurus. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi pada para pelaku teror saat ini, mereka memahami agama dalam kacamata sempit sekaligus dogmatis. Padahal, sejatinya agama itu merupakan rahmat, berkah, bagi alam semesta.

 

*) Penulis buku Ngrasani! (2016), Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Guru MIM PK Kartasura

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan