membaca-cerita-komedi

Tujuh Alur Dasar: Komedi

Ketika saya menuliskan kata komedi di laptop ini, tahukah Anda film apa atau siapa yang menyeruak dalam pikiran saya? Ya, betul. Bagi orang seusia saya yang tahun 70-80 berseragam putih biru atau putih abu-abu, rasanya ketika membayangkan film komedi maka yang muncul di pikiran adalah film-film Warkop DKI. Sulit dibantah jika mengaku tidak mengenal trio Wrkop; Dono, Kasino, dan Indro dalam film komedi yang beredar saat itu. Hampir setiap musim liburan, film Warkop DKI yang dipenuhi gadis-gadis cantik berbikini menemui para penggemarnya di bioskop-bioskop. Konon itu adalah strategi pemasaran paling jitu agar film banyak yang menonton. Dan, ternyata strategi itu jitu!

Lalu, jika diminta untuk memikirkan film siapa lagi, maka yang terpikirkan adalah film-filmnya Benyamin Sueb, sang Legenda Kesenian Betawi. Ya, tentu saja Bang Ben tidak terlupakan baik sebagai bintang film maupun sebagai biduan (penyanyi). Tapi, perlu dicatat bahwa kekocakan atau kejenakaan memang sering diidentikkan dengan Bang Ben, tapi kita pun tahu bahwa Bang Ben pun pernah meraih Piala Citra sebagai Pemeran Utama. Itu membuktikan bahwa dalam berakting Bang Ben sangat serius.

Film-film Doyok-Kadir pun termasuk film komedi pada tahun 80-90-an. Kalau pada masa sekarang, rasanya orang akan berpikir bahwa film-film Raditya Dika juga film komedi. Tentu hampir semua orang bersepakat bahwa pertama-tama yang menyebabkan mereka mengelompokkan film-filmnya Warkop DKI, Bang Ben, Doyok-Kadir, dan Raditya Dika sebagai komedi adalah film-film itu telah membuat penontonnya tertawa. Ya, secara umum, cerita komedi dibuat dengan tujuan agar pembaca, penonton, atau pendengarnya tertawa. Lantas, masalahnya adalah apakah yang membuat kita tertawa?

Jika berfokus pada alur atau plot, semestinya ketika kita mengatakan bahwa film atau cerita ini memiliki alur komedi, maka yang jadi patokan adalah karakteristik alurnya atau jalan ceritanya, bukan kejadian atau peristiwa yang muncul di scene. Kalau yang menyebabkan kita tertawa adalah kejadian atau peristiwa yang menimpa tokoh utamanya, seperti kecelakaan, teraniaya, atau penderitaan, yang biasa dikenal dengan istilah slapstick, maka itu bukan pada alurnya. Anda masih ingat film serial Mr. Bean yang diperankan oleh Rowan Atkinson? Bagi saya, film serial itu boleh disebut sebagai film komedi, tetapi tidak beralur komedi sebab yang membuat kita tertawa adalah kejadian-kejadiannya, bukan disebabkan oleh jalan ceritanya. Pun, pada film Warkop DKI, tumpuan kekocakannya masih pada kejadian atau peristiwanya. Secara umum, ketika kita menonton film komedi, sering dijumpai adegan, seperti (1) laki-laki didandani seperti perempuan, lalu bertingkah seperti perempuan, atau sebaliknya, (2) orang yang bersembunyi di dalam lemari atau di belakang sofa agar kehadirannya tidak terbongkar, (3) penugasan yang salah orang, dan (4) salah duga profesi atau orang.

Komedi bermula dari panggung drama atau teater. Komedi adalah pementasan cerita di atas panggung. Beberapa literatur menyebutkan, pada awalnya di Athena dulu, komedi adalah pentas untuk dipersembahkan kepada Dionysus sebagai Dewa Panen dan Anggur[1]. Adalah Aristophanes yang bermula mengembangkan drama komedi. Sampai akhirnya, bisalah dikatakan sebagai puncaknya drama, komedi dipentaskan oleh William Shakespeare.

Berkaitan dengan alur komedi, Booker (2010) mengatakan bahwa alur komedi tidak bisa diintisarikan atau diringkas seperti jenis alur lainnya sebab[2] terlalu bervariasinya jangkauannya, tetapi esesensi dari komedi adalah selalu (1) kita melihat dunia kecil (dunia tempat tokoh utama yang disaksikan oleh penonton; penulis) di mana orang-orang berada di bawah bayangan kebingungan, ketidakpastian, dan frustasi dan terpisah satu dengan yang lainnya; (2) kebingungan semakin memburuk hingga tekanan “kegelapan” pun meningkat yang menyebabkan si tokoh utama seperti mengalami mimpi buruk ; dan (3) pada akhirnya, dengan datangnya “cahaya” dari hal-hal yang sebelumnya tidak dikenali, persepsi orang berubah secara dramatis. “Bayangan” atau “kegelapan” pun tersingkirkan, situasi secara ajaib berubah ke arah yang lebih baik, dan dunia kecil yang kita saksikan dibawa ke dalam menyatunya orang-orang disertai rasa bahagia.

Merujuk kepada pendapat Booker di atas, saya pikir film “Mr. Bean: The Movie” memiliki alur yang dapat dikategorikan sebagai komedi. Begitu pun, film “Si Doel Anak Modern” dan “Intan Berduri” yang dibintangi Bang Ben termasuk beralur komedi.

Lantas, bagaimana dengan novel? Adakah novel yang beralur komedi?

Wallahu a’lam.

—————————Tamsela, 20 September 2015

[1] Blake Hobby (edt). Bloom’s Literary Themes: Dark Humor. New York: Infobase Publishing, 2010.

[2] Christopher Booker. The Seven Basic Plots. New York: Cintinuum, 2010

, , , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan