jenis-dan-membuat-alur-cerita

Tujuh Alur Dasar: Tragedi

Konon berbagai cerita yang dikembangkan oleh imajinasi manusia hanya memiliki dua akhir alur cerita: kebahagiaan (happy ending) dan kesedihan (sad ending). Dalam cerita dengan happy ending, yang membuat para hero atau heroine atau tokoh utama itu berbahagia adalah seperti berhasil menaklukkan atau membunuh monster, berhasil menyelamatkan putri, bisa kembali ke dunia nyata (dunia sebenarnya), atau menyatu kembali dengan kekasihnya.

Sebaliknya, dalam sad ending, sang tokoh utama, hero, atau heroine memperoleh tragedi, yaitu hasil yang bertentangan dengan happy ending. Bahkan, lebih parah lagi, yang diperolehnya adalah kematian. Akan tetapi, kita perlu menggarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kematian dalam tragedi adalah bukan sebuah peristiwa yang alami, seperti menjadi tua, lalu mati. Dalam tragedi, kematian itu premature, tragis, dan semestinya bisa dihindari. Biasanya, disebabkan ada rencana yang berjalan tidak sesuai dengan harapan sehingga berakhir dengan kematian.

Sebagaimana beberapa model alur terdahulu, menurut Booker (2010), dalam tragedi pun alur bergerak dalam lima tahapan. Kelima tahapan itu adalah anticipation (antisipasi), dream (impian), frustation (frustasi), nightmare (mimpi buruk), dan destruction or death (kehancuran atau kematian).

Pertama, anticipation stage (tahap antisipasi): pada tahap ini, hero atau tokoh utama berada pada beberapa cara yang tidak komplit atau tidak dapat memuaskannya sehingga ia mengarahkan energi dan pikirannya untuk mendapatkan kepuasan yang diharapkannya.

Kedua, dream stage (tahap impian): tahap selanjutnya adalah tahap impian di mana sang tokoh mencari cara untuk mewujudkan impiannya; dan untuk sementara waktu, cara itu tampaknya memberikan harapan kepada sang tokoh bahwa keinginannya akan terwujud.

Ketiga, frustation stage (tahap frustasi atau keputusasaan): dalam tahapan ini, sang tokoh utama (hero/heroine) mulai merasakan munculnya sesuatu yang menghalanginya dalam meraih apa yang diharapkannya. Sesuatu itu muncul terus-menerus yang menyebabkannya tidak dapat menemukan “tempat beristirahat”. Ia mulai frustasi. Lantas, dengan mempertimbangakan keamanan posisinya atau dirinya, sang tokoh akan memaksakan tindakan berbahaya yang “mengunci” dirinya sehingga tidak dapat melakukan tindakan lain. Dan, pada saat ini, seorang “tokoh bayangan” muncul mengancam sang hero.

Keempat, nightmare stage (tahap mimpi buru): Di sini segala sesuatunya tergelincir di luar kontrol sang hero. Tokoh berhadapan dengan ancaman dan rasa keputusasaan yang sangat dalam. Kekuatan yang menentangnya dan takdir yang tidak diharapkannya tampak begitu dekat dengan dirinya.

Kelima, destruction or death (kehancuran atau kematian): Pada akhirnya, apakah oleh kekuatan penentang yang mengelilinginya atau oleh sebuah “pukulan” akhir dari kekerasan yang menyebabkan kematiannya, baik dengan dibunuh atau bunuh diri, sang hero pun dihancurkan.

Booker (2010) menberikan beberapa contoh cerita fiksi, yaitu Icarus (dari mitologi Yunani), Faust (Legenda Jerman), Machbeth (Drama karya Shakespeare), Dr. Jekyll and Mr. Hide (cerita horor pada abad ke-19), dan Lolita (Novel modern karya Nabokov).

Di luar contoh-contoh itu, tentu kita dapat mengidentifikasi beberapa cerita fiksi yang dapat dikategorikan memiliki alur jenis tragedi. Dalam cerita rakyat kita, misalnya, ditemukan cerita Rara Mendut dan Pranacitra yang alurnya dapat dikategorikan sebagai alur tragedi. Sang tokoh utama (heroine), Rara Mendut, harus kehilangan kekasih yang sangat dicintainya (Pranacitra), bahkan kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh Tumenggung Wiraguna menyebabkannya melakukan bunuh diri. Saya pun ingin memasukkan satu lagi drama karya Shakespeare yang bisa dikategorikan memiliki alur tragedi, yaitu Romeo dan Juliet. Bahkan, “kematian” yang dialami oleh kedua tokoh tersebut adalah kematian yang tragis yang semestinya tidak terjadi apabila rencana yang disusun untuk menyatukan keduanya berjalan dengan mulus. Tapi, apa boleh dikata, Shakespeare memilih drama nan romantis itu harus jatuh dalam sebuah tragedi. Sebab, kematian adalah sebuah bukti bahwa cinta yang dimilikin mereka adalah cinta sejati. So, jika menuntut cinta sejati, bersiaplah Anda untuk membuktikannya dengan kematian.

Wallahu a’lam

Tambun Selatan, Dirgahayu TNI, 2015

, , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan