Van Gogh: Si Pemuja ‘Kejelekan’

“Ini tidak bagus,” katanya, “sama sekali tidak bagus. Kau merusak setiap aturan dasar mengambar. Kemarilah, pulanglah dan bawa kaki ini. Gambar lagi, lagi, dan lagi. Dan jangan kembali sampai kau menggambarnya dengan benar!” Perintah Mauve pada Van Gogh. Mauve adalah sepupu Vincent Van Gogh yang sudah menjadi pelukis terkenal lebih dulu ketimbang Van Gogh.

Lalu, apa yang dilakukan Vincent Van Gogh?

Ternyata, ia tak mematuhi apa kata sepupunya. “…aku tak akan mengizinkan diriku diperintah oleh sistem yang dingin, sistemmu atau sistem orang lain. Aku harus mengekspresikan segala sesuatu sesuai dengan temperamen dan karakterku. Aku harus menggambar semua benda seperti caraku melihat benda-benda itu, tidak dengan caramu melihat!” Teriak Vincent.

Sepenggal percakapan itulah yang ada di dalam novel biografis berjudul Lust for Life (2012) garapan Irving Stone. Novel yang digarap dengan penelitian biografi orisinal dan penulisan novel dengan ‘gaya puitis dan menyentuh’ ini menghadirkan kisah kehidupan Vincent Van Gogh, pelukis termahal di dunia yang mati sebagai orang terbuang. Dimana, ia menahbiskan  diri bersama teman-teman pelukis (Toulouse-Lautrec, Paul Gauguin, Georges Seurat, Rousseau, Paul Cezanne, tak terkecuali pengarang buku terkenal, Emile Zola)  sebagai pemuja ‘kejelekan’.

Dan, Emile Zola merumuskan pengertian pemuja ‘kejelekan’ dengan pernyataan begini: “… kita menganggap semua kebenaran itu indah, tak peduli seburuk wajah yang tampak. Kita menerima seluruh alam, tanpa penolakan. Kita percaya ada lebih banyak keindahan dalam kebenaran yang kasar (yang dianggap publik sebagai kejelekan) daripada kebohongan yang cantik. Kita menganggap rasa sakit itu  baik karena merupakan perasaan manusia yang paling mendalam. Kita meletakkan karakter di atas kejelekan, rasa sakit di atas kecantikan, dan realitas yang keras dan kasar di atas semua kekayaan di Paris. Kita menerima kehidupan secara menyeluruh tanpa membuat penghakiman moral. Kita menganggap pelacur sama baiknya dengan wanita bangsawan dan penjaga pintu sama baiknya dengan jenderal, petani sama baiknya dengan menteri kabinet, karena mereka semua cocok dengan pola alam, dan kita terjalin dalam desain kehidupan!” (hal. 398).

Adapun sebagai pemuja ‘kejelekan’, Vincent melukis kehidupan para penambang dan istri-istri mereka di Borinage, yang bersandar pada terril mereka; lalu ada penggali dan penanam di ladang dekat Etten; ada pria-pria dan wanita-wanita tua dari den Haag, para penggali di Geest, dan para nelayan dari Sheveningen; juga ada pemakan kentang dan penenun dari Nuenen; pemandangan restoran-restoran dan jalanan di Paris, sketsa-sketsa bunga matahari dan taman buah dari Arles, dan taman rumah sakit jiwa di St. Remy; bahkan, ia melukis pembantu yang melacurkan diri, seperti Christine—seorang tokoh dengan pekerjaan yang dijauhi dan dicap oleh masyarakat sebagai pekerjaan kotor. Dan, saat melukis Christine, Vincent menamai lukisannya ‘Kesedihan’: lukisan seorang wanita yang sari kehidupannya telah terperas.

Vincent tak dapat melukiskan orang ataupun pemandangan ‘bagus’, ‘cantik’, dan ‘indah’ menurut kacamata masyarakat pada umumnya.

***

Dalam novel ini, pembaca dapat mengetahui bahwa pelukis yang bagus dan hebat, tak hanya melukis saja. Pelukis juga butuh buku dan perlu menggumuli buku. Si pemuja ‘kejelekan’ alias Vincent Van Gogh berkata, “Menggambar manusia dan pemandangan dalam kehidupan tidak hanya membutuhkan pengetahuan tentang ketrampilan tangan dalam menggambar, tapi juga membutuhkan pembelajaran yang amat dalam tentang karya sastra.”

Pengalaman Vincent dengan buku bacaannya adalah ia pernah membaca Le Pere Goriot karya Balzac, buku karya Michelet, Victor Hugo, Emile Zola dengan judul Germinal, dan buku lainnya. Buku baginya telah menjadi ‘Bapa’. Ia (buku) seperti pengganti bapaknya. Di saat ia ingin melukis dan menikmati pelukis-pelukis yang lain, dia beralih pada novel-novel: Perancis, Inggris, Jerman, dan Belanda.

Kemudian, pembaca juga akan menemui kisah tragis dan akan menyadari bahwa hasrat untuk sukses menjadi pelukis terkenal bukan hal yang utama bagi hidup Vincent. Dia berkarya karena baginya itu kewajiban, karena berkarya menghindarkannya dari sakit mental, karena berkarya bisa mengalihkan pikirannya. Dia dapat hidup tanpa istri, rumah, dan anak-anak; dia bisa hidup tanpa keamanan, kenyamanan, dan makanan; dia bahkan bisa hidup tanpa Tuhan. Namun, dia tidak bisa hidup tanpa sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, yang merupakan hidupnya—kekuatan dan kemampuan untuk mencipta (hal. 442).

Pantaslah jika Monsieur Aurier, seorang kritikus seni, berani menyebut Vincent Van Gogh beserta lukisannya sebagai perwujudan luhur dari Frans Hals; pelukis sejati yang sehat dan kuat dengan jiwa yang bersinar; dan pelukis satu-satunya yang melihat warna benda-benda dengan kualitas yang setara dengan batu permata (hal. 530 dan 540).

Dan itulah, beberapa fakta yang akan dapat pembaca ketahui. Lalu, bagaimana pembaca dapat mengetahui kisah Vincent lebih lanjut?  Maka, penulis (saya) hanya menyatakan bahwa pembaca yang mau menjadi musafir (pengelana), mufasir (penafsir), sekaligus martir untuk mengkhatamkan novel inilah, yang akan dapat mengetahui, memahami, dan merasakan kehidupan sekaligus jiwa si pemuja ‘kejelekan’ -Vincent Van Gogh.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan