wajah-gelap-demokrasi-indonesia

Wajah Gelap Demokrasi Kita

Demokrasi di Indonesia seolah tak pernah lepas dari masalah. Di dalam demokrasi kita, cita-cita dan rumusan demokrasi begitu indah, tapi tak kunjung bisa tercapai. Segala potensi dan kekayaan alam bangsa Indonesia serta manusia dan sumberdayanya pada kenyataannya belum mampu mewujudkan demokrasi yang ideal sesuai dengan yang kita rumuskan.

Sebagai Negara yang memiliki watak demokratis, mestinya Negara ini lekas menjadi Negara yang besar. Lalu mengapa demokrasi di negeri ini, yang cenderung dipuja-puji oleh bangsa luar, belum mampu mewujudkan cita-citanya?. Kita terlampau sering dipuji karena mampu menjalankan demokrasi electoral (pemilu) tanpa kisruh dan juga konflik di tingkat pusat maupun lokal. Apakah keberhasilan kita dalam menyelenggarakan pemilu yang damai, mampu mewujudkan cita-cita Negara dan bangsa kita?. Ternyata belum sepenuhnya.

Demokrasi electoral yang dijalankan melalui pemilu memang salah satu pilar agar mampu menciptakan pemimpin yang ideal dan mampu membawa kita kepada tujuan Negara ini yakni menciptakan Negara yang adil dan makmur. Tapi kenyataannya, pemilu seolah hanya menghasilkan “kucing dalam karung”, dan membawa kita kepada kekecewaan-kekecewaan pada praktik demokrasi kita.

Buku Dalam Moncong Oligarki (2013) karya F.Budi Hardiman ini membahas dan mengurai mengapa demokrasi kita tak kunjung menghasilkan cita-cita rakyat (demos). Ada tiga pokok soal yang ada dalam demokrasi kita menurut F.Budi Hardiman, Pertama, demokrasi kita yang semula menghasilkan solidaritas justru di Indonesia membiarkan ekspansi pasar yang merusak solidaritas. Kedua, demokrasi yang seharusnya melindungi pluralitas justru di Indonesia membiarkan kekuatan-kekuatan religio-politis yang mengancam pluralitas. Ketiga, demokrasi yang seharusnya menghasilkan kesetaraan kondisi-kondisi, justru di Indonesia membuahkan kondisi-kondisi ketdaksetaraan (Hardiman,2013:3).

Paska kejatuhan Soeharto, orang berharap proses demokratisasi bisa berjalan dengan baik. Indikasinya dengan dibukanya corong keterbukaan informasi dan kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan demokrasi. Maka setelah reformasi makin banyak muncul partai politik dan juga banyak muncul organisasi dan lembaga swadaya masyarakat yang semestinya mampu menopang dan mewujudkan demokratisasi di negeri ini.

Menurut filsuf kontemporer Amerika Michael Walzer, ada lima preferensi demokrasi. Preferensi diartikan sebagai gambaran tentang good life, yaitu cara kehidupan yang mereka pandang baik untuk dijalani. Lima preferensi itu adalah komunitas politis (republikanisme), ekonomi kooperatif (Marxisme), Pasar (kapitalisme), kebangsaan (nasionalisme), dan masyarakat warga (assosiasnasionalisme kritis).

Republikanisme diartikan sebagai preferensi idealistis yang memahami partisipasi warganegara sebagai salah satu sumber kunci demokrasi. Mestinya, setelah partisipasi warga dibuka paska reformasi, demokratisasi di Indonesia semakin maju. Tetapi yang terjadi sebaliknya, demokratisasi tak kunjung berjalan alamiah. Hal ini karena pemilu atau demokrasi electoral pemilu hanya membentuk homo economicus daripada homo democraticus.

Preferensi kedua adalah Marxisme atau ekonomi kooperatif. Melalui preferensi ini, cita-cita keadilan ekonomi mestinya bisa dicapai dengan baik, akan tetapi hal ini belum bisa dilaksanakan karena demokrasi hanya menyediakan arena perjuangan kelas, suatu peran yang akan lenyap, begitu sosialisme ditegakkan dan semua orang terlibat dalam aktifitas produktif.

Preferensi ketiga adalah kapitalisme, masalah dalam preferensi kapitalistis dan neoliberal adalah bahwa orang dating ke pasar dengan sumber-sumber yang tidak setara atau bahkan beberapa tanpa daya beli sama sekali. Ketidaksetaraan ini menjadi pangkal dari marginalisasidalam masyarakat (h.16).

Keempat adalah nasionalisme, akan tetapi di negeri ini, sebelum Gus Dur, kita masih menjumpai dikotomi “pri” dan “non-pri” yang dimainkan dalam politik otoriter di masa lalu tumbuh dari sikap-sikap eksklusifitas dan sedikit banyak ‘puritan’ terhadap tanah dan darah.

Terakhir adalah masyarakat warga. Dalam preferensi yang terakhir ini, mencakup semua preferensi yang ada entah itu komunitas politis, ekonomi kooperatif, pasar, ataupun bangsa / agama.

Menurut F.Budi Hardiman, masalah yang ada di Indonesia adalah subjek preferensi itu sendiri. Dan subjek itu adalah oligarki. Oligarki bukan sekadar kekuasaan oleh segelintir orang melainkan—meminjam pengertian dari Jeffrey A.Winters— “merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material” (h.22).

Karena Oligarki itulah, demokrasi di Indonesia mengakibatkan beberapa skandal. Diantaranya adalah Pertama, Pasar dan Skandal Solidaritas. Kedua, Skandal Agama dan Pluralitas. Dalam demokrasi kita, pasar disini kemudian semakin bebas dan semakin mengunggulkan monopoli dan kebebasan. Padahal, pasar mestinya melindungi rakyat dan pemerintah mestinya mampu mengontrol dan mengendalikan pasar. Dalam hal solidaritas, demokrasi electoral yang ada selama ini justru semakin menguatkan potensi konflik dan kerusuhan. Semakin memunculkan potensi kerenggangan bukan persatuan.

Sedangkan dalam skandal agama dan pluralitas, agama dalam demokrasi kita justru sangat mudah untuk dimobilisir kepada kepentingan politik tertentu. Akhirnya, agama justru dijadikan sebagai alat untuk memonopoli lian dalam bentuk peraturan, F.Budi Hardiman menyebut contohnya dalam perda islam. Sayangnya, perda islam selama ini lebih mengacu pada nuansa simboli dan mengikat publik (ruang public) untuk mentaati peraturan yang mau tak mau ikut mengontrol lian (non-islam). Anehnya, yang muncul bukan kerukunan dan kedamaian, tetapi muncul kelompok-kelompok islam radikal yang hendak memaksakan pandangan keagamaan kepada publik (sama). Akibatnya, timbul perselisihan, gesekan dan konflik. Inilah yang mengakibatkan pluralitas menjadi terganggu. Yang ada kemudian hegemoni dan dominasi.

Untuk itulah, wajah gelap demokrasi ini bisa diselesaikan dengan konsep demokrasi deliberatif. Artinya warga masyarakat diperkuat dan berperan aktif dalam legislasi hukum secara demokratis (h.60). Sehingga masyarakat ikut serta aktif dan terlibat dalam berbagai kebijakan dan legislasi. Sayang, semakin ke depan, kita justru melihat disfungsionalitas lemaga Negara yang mestinya menopang dan menguatkan elemen demokrasi kita seperti semakin berkurangnya peran DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan  Komisi Yudisial.

Bila melihat hal ini, sungguh sangat diperlukan peranan masyarakat dalam menghadirkan masyarakat yang demokratis. Kita memerlukan sumbangsih pemikiran, kontribusi dalam penguatan lembaga-lembaga itu. Sehingga demokrasi kita tak sekadar demokrasi electoral yang hanya berorientasi pada watak ekonomi semata tapi juga mengarah dan berorientasi pada cita-cita Negara kita.

 *) tuan rumah Pondok Filsafat SOLO, pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan