wajah-kekasih-yang-hilang

Wajah Kekasih

Begitu ringannya tubuh ini melayang, seringan kertas. Aku berada di awang-awang, kemudian terbang ke arah di mana aku melihat sebuah pintu. Pintu itu sangat cantik, dengan beberapa hiasan bunga-bunga mekar warna-warni di sekitarnya.

Perlahan, aku membuka pintu itu. Tak terkunci. Hangat suasana terasa, ketika mulai kudengar suara-suara orang bernyanyi, bercengkrama, dan ada yang tertawa kecil.

Aku masuk, pelan-pelan. Tempat ini sangat asing. Tapi, orang-orang itu…tidak asing! Aku melihat Nenekku, kakekku, pamanku, dan terakhir aku melihat…Yadi. Oo…Tuhan! Rindu ini serasa akan pecah saat ini. Sekian lama aku merindukan Yadi, dan kali ini aku menemuinya tanpa aku duga.

“Yadi, aku sangat merindukanmu.” Bisikku, seraya menjatuhkan diri ke pelukannya. Saat itu aku telah tiba di hadapannya.

Tapi…Yadi hanya memaku. Dia tampak ragu untuk membalas pelukanku.

“Ayo.. bicara, Yad! Kemana saja kamu selama ini? Aku menantimu. Menanti keajaiban mungkin saja kau kembali. Kau memang tidak kembali, tapi aku yang tak sengaja menemuimu di tempat ini. Tempat apa ini? Kenapa begitu indah tapi terasa aneh?”

Mataku berputar, melihat segala sisi. Ada yang lain terasa, tempat ini tidak seperti kotaku atau kota-kota di belahan dunia manapun. Betul, ini sungguh lain. Aku kerap traveling ke berbagai negara, oleh karena itu aku dapat membandingkannya. Tempat ini seakan-akan tidak pernah ada dalam peta.

Yadi masih terdiam. Aku mendesaknya kembali untuk berkata, ” Yad, jangan diam begitu. Ini tempat apa? Kenapa kamu diam, apa kamu tidak rindu aku?”

Yadi masih setia dengan kebisuannya. Bahkan dia seakan tak mendengarku. Aku mulai marah. Aku serasa tak dianggap. Dengan tangis yang tumpah ruah, kupukuli dada  Yadi. Entah berapa pukulan yang kudaratkan di dadanya. Tapi Yadi tetap diam. Dia seolah kehilangan semua kata-kata.

Aku menangis sejadi-jadinya. Diri ini serasa telah berjalan jauh demi menemukan Yadi, dan setelah bertemu, yang kudapati hanya kebisuan.

Tangisku semakin menjadi, ketika Yadi tak lagi fokus menatapku. Pandangannya menjadi ke arah lain, ke ruang kosong yang hanya dipenuhi kabut.

“Ada apa di tempat itu, Yad? Kenapa kabut semua? Apa yang kamu lihat? Tataplah aku, wajahku. Aku sungguh rindu padamu.”

Yadi tak menggubris ucapanku. Dia tetap melihat ke arah kabut-kabut. Aku melihat, beberapa orang berjalan ke arah kabut itu, dan lenyap.

“Sudah, jangan kamu lihat tempat itu. Bicaralah, di sini ada aku.”

Kueratkan pelukanku, semakin kuat. Tapi, Yadi mendorongku keluar dari pelukannya.

“Yad, apa yang kamu lakukan? Aku istrimu, jauh-jauh aku mencarimu. Tapi setelah bertemu, begini sikapmu?!” Aku menangis. Yadi sungguh berbeda dengan Yadi yang kukenal dulu.

Yadi masih terdiam. Untuk sesaat dia menatapku yang sedang menangis. Aku kira dia akan mendekat lalu menguntai kata-kata penghibur sebagaimana kebiasaannya dulu jika aku tengah bersedih. Tapi…apa yang kuduga salah. Tatapannya malah kembali ke arah ruang kosong berkabut. Dan sejurus kemudian dia berlari menembus kabut itu.

“Tunggu…”

Aku berlari mengejarnya. Aku pun telah berada di ruang berkabut. Di sana aku tak dapat melihat apapun. Semua putih, sepi. Aku tak dapat melihat Yadi, apalagi jalan kembali.

Aku terus berputar, tapi semua sama. Hanya kabut putih.

“Yadi…dimana kamu? Aku di sini. Tolong… jangan sembunyi, aku takut.”

Badanku terasa mulai lemah. Rasa takut yang bercokol ini menggetarkan jantungku. Aku seperti terjebak pada ruang yang tanpa awal tanpa ujung. Segala sisi sama, kabut putih.

“Yadi…tolong aku, aku takut.”

Tangisku menjadi-jadi. Aku terduduk dengan wajah yang tersembunyi di balik kedua pahaku. Entah berapa banyak air mata yang tertumpah hingga aku menangis sesenggukan.

Aku merasa semakin lemah, rasa takutku menggerogoti daya tahan tubuhku. Dan dalam keadaan lemah itulah, sebuah sentuhan hangat mendarat di pundakku.

“Yadi…” Aku terkejut. Tatkala kuangkat wajahku, tampak Yadi tengah berdiri di hadapanku.

Kali ini aku melihat Yadi dalam keadaan lain. Bibirnya tersenyum. Tangannya terentang hendak menyambut tubuhku agar jatuh di pelukannya. Dan seketika aku menghambur ke arahnya. Kudekapkan wajahku di dadanya, aku kembali menangis.

“Tadi kamu kemana? Tadi aku sangat takut.”

Lagi-lagi, Yadi tidak menjawab. Dia hanya membelai rambutku dengan lembut. Perlahan tangan halusnya menyentuh pipiku, menghapus titik-titik air mata. Aku merasa bahagia, sungguh bahagia.

“Kita pulang, Yad! Ke rumah kita. Orang-orang menunggumu.” Ajakku seraya menengadahkan muka ke arahnya.

Yadi tak merespon. Dia hanya melihatku dalam.

“Yuk, kita pulang! Tempat ini tidak nyaman. Di mana pintu keluarnya, kok semua sisinya sama?”

Segera kulepaskan tubuh ini dari pelukan Yadi. Aku menarik tangan Yadi agar mengikutiku. Tapi, Yadi tak beranjak sedikit pun. Aku menoleh ke arahnya, “ayo, kenapa hanya diam?” Ajakku kembali.

Aku berharap agar Yadi segera mengikuti langkahku untuk ke luar dari tempat kabut itu. Namun, Yadi tetap memaku. Dia terlihat menggelengkan kepalanya.

“Kenapa tidak mau ikut aku? Kamu tidak rindu rumah, ibumu atau keluargamu?” Aku mulai heran dengan sikap Yadi.

Yadi kembali menggelengkan kepala. Tidak ingin berlama-lama di tempat itu, aku segera menarik tangan Yadi kuat-kuat. Namun apa yang terjadi, bukannya mengikuti langkahku, Yadi malah mendorongku jauh ke sisi lain.

“Ooo….apa yang kamu lakukan? Kamu sekarang kasar!” Aku berteriak, tak menyangka dengan apa yang dilakukan Yadi.

Belum sempat kubenahi tubuhku yang terdorong itu, Yadi datang mendekat dan menarikku. Dia membawaku lari hingga aku terseret-seret.

“Yad… hentikan! Kakiku sakit!”

Yadi tidak mendengar, dia terus berlari membawaku hingga aku tiba di sebuah tempat yang lagi-lagi terasa aneh. Tempat ini kini terlihat penuh cahaya. Tidak berkabut.

“Ini pintu keluarnya, segeralah pulang.” Untuk pertama kalinya aku mendengar Yadi berkata.

“Pulang, sendiri?” Tanyaku pelan.

Yadi mengangguk.

“Tapi aku mau kamu ikut. Kamu tidak tahu betapa rindunya aku. Dan sekarang kamu biarkan aku sendiri lagi. Ayo kita pulang sama-sama.”

“Ini tempatku dan bukan tempatmu.” Kemudian Yadi membalikan badan. Dia meninggalkanku.

Aku segera mengejarnya, dan aku berhasil meraih tangannya.

“Aku tidak mau pulang jika tidak bersamamu.” Aku menangis. Kali ini aku tak boleh membiarkan Yadi pergi lagi.

“Kamu tidak boleh ikut aku. Orang-orang di rumah menunggumu. Kamu harus ingat Kayla.”

Kayla? O.. Tuhan! Baru kali ini aku teringat akan gadis kecilku. Entah berapa lama aku meninggalkannya selama perjalananku ke tempat ini. Terakhir, aku membawanya jalan-jalan, kami berboncengan. Kami menembus jalanan kota yang padat. Dan sekarang mungkin Kayla sedang menungguku.

Aku tertegun, fikiranku fokus terhadap Kayla. Dan tanpa kusadari Yadi telah lenyap dari sampingku. Dia telah berjalan kembali menembus ruang berkabut. Aku hendak mengejarnya kembali, tapi tertahan oleh tiga orang manusia yang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Mereka adalah Kakek, Nenek dan Pamanku.

“Jangan ikuti Yadi. Suamimu sudah tidak punya hak untuk kembali pulang ke rumahnya. Cepatlah pulang, Armi. Anakmu menunggumu.” Ucap Nenekku. Aku melihat ke arah kakek dan pamanku. Mereka tersenyum dan menganggukkan kepala, pertanda menyetujui apa yang dikatakan nenekku.

” Tapi aku tidak tahu jalan pulang.” Aku bingung kemana harus mencari jalan pulang di tempat yang tidak kukenal ini.

“Ikuti saja arah cahaya itu, sampai kamu dapat mencium aroma dunia.” Terang nenekku.

Aroma dunia? Apa maksudnya? Belum sempat aku bertanya akan hal itu, kulihat kakek, nenek dan pamanku telah lenyap dari hadapanku.

Oo..Tuhan, aku sendiri. Tiba-tiba rasa takut menyeruak. Tempat ini seketika menjadi sepi. Hati kecilku kemudian segera menyuruhku untuk segera pergi.

Aku terus berjalan, mengikuti cahaya. Jalanan ini seperti lorong kecil, sempit. Sesekali aku menemukan persimpangan lain, namun terlihat pekat. Aku tak mengikuti persimpangan pekat itu, sebab nenekku bilang aku harus mengikuti cahaya.

Jauh dan semakin jauh. Perjalanan ini terasa melelahkan. Tapi bayang-bayang akan Kayla membuatku tak patah semangat untuk terus berjalan hingga aku menemukan sesuatu yang disebut aroma dunia.

Dan setelah begitu payahnya aku berjalan, sampailah aku di sebuah tempat yang begitu hijau. Ini adalah hutan. Matahari terlihat menembus dedaunan. Udaranya terasa segar. Ada banyak burung yang loncat dari satu ranting ke ranting lain.

Samar-samar aku mendengar deru pesawat di langit luas. Aku mendengar suara mesin pemotong kayu menembus telingaku. Dan beberapa meter dari hadapanku, aku melihat dua orang tua yang berjalan memikul tumpukan kayu bakar. Ya, kali ini aku mencium aroma dunia. Aku telah berhasil pulang. Tapi, di mana Kayla?

Aku berlari ke sembarang tempat hingga sampailah di atas sebuah bukit. Dan dari bukit itu, aku dapat melihat dunia dari segala sisi. Aku dapat melihat segala aktivitas dari belahan dunia manapun. Aku melihat negeri-negeri yang pernah aku kunjungi saat aku traveling, aku dapat melihat orang-orang yang sedang beribadah di depan Ka’bah, aku dapat melihat laut-laut dan danau-danau di seluruh dunia, aku dapat melihat orang-orang yang sedang berperang,  para pelaut yang menjaring ikan, dan manusia-manusia dengan segala tindak-tanduknya. Aku dapat melihat dunia dalam satu tatapan saja.

Tapi hingga detik ini, aku masih belum dapat menemukan Kayla. Anakku, dimana kau? Aku semakin resah hingga ingin menangis.

Dan dalam keresahan itulah, samar-samar kudengar orang mengaji. Entah bagaimana caranya, yang kutahu aku begitu mudahnya turun dari bukit itu dan terus mengikuti suara orang yang mengaji itu.

Tanpa kusadari aku telah sampai di sebuah tempat dengan banyak alat-alat kedokteran di dalamnya. Aku melihat ke sekeliling. Ada beberapa orang. Salah satunya ibu yang tengah mengaji. Oo..jadi suara ngaji ibu inilah yang telah menuntunku ke sini. Ibu ini adalah ibuku.

Di sisi lain, kulihat seorang gadis kecil yang tengah telungkup memeluk seseorang yang tengah terbaring di ranjang pasien. Gadis itu..Kayla! Ya, dia Kayla anakku yang kurindukan. Tapi dia sedang memeluk siapa? Aku mendekat ke arah ranjang pasien itu. Semakin dekat…dekat…dekat…ya ampun aku terkejut! Ternyata Kayla sedang memelukku. Memeluk tubuhku. Tubuhku yang kaku dengan detak jantung yang sangat lemah.

Kulihat Kayla menangis di antara mata lelahnya. Aku mencoba memeluk anak itu tapi tak bisa, selalu menembus badannya tanpa dia merasa aku mencoba menyentuhnya.

Kayla adalah manusia berjasad. Maka jika ingin memeluknya, maka aku harus berjasad pula.

Kupejamkan mata ini, perlahan ku tembus tubuh kakuku yang terbaring layu di ranjang pasien. Perlahan ruh ini menyatu dengan tubuhku. Pelan-pelan saraf-sarafku kembali hidup. Jantungku terpacu untuk bangkit. Dan aku membuka mata…

“Ya Tuhan yang Maha Agung, terima kasih atas karuniaMu. Sekarang kamu telah sadar.” Teriak ibu seraya memelukku.

Mataku berkeliling ke segala arah. Di sampingku aku melihat gadis kecilku menangis dan tersenyum.

“Ibu…” Kayla memelukku.

Aku membalas pelukannya. Apa yang kualami terasa mimpi saja. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya, aku belum mengerti. Setelah akhirnya ibu menjelaskan bahwa aku mengalami kecelakaan saat berboncengan motor bersama Kayla. Aku koma selama satu minggu.

Aku menarik nafas, terbayanglah wajah kekasihku yang baru saja kutemui, wajah itu adalah wajah almarhum suamiku, Yadi.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan