wanita-dan-senja

Wanita Penanti Senja

Senja adalah kesukaanmu. Kesukaanmu ialah menanti senja. Senja menjadi benih-benih asa yang sudah lama kau jejali. Dan itu benar. Sebab aku tak pernah tahu, pada senja ke berapa kau berhenti tuk berharap dan memalingkan perhatianmu dari hal-hal yang berbau senja.

Senja. Sekali lagi aku memergokimu sedang asyik menanti senja di balik jendela kamarmu sambil menyeruput cangkir kopimu. Aku tahu, selain menyukai senja kau juga sulit terlepas dari kutukan kopi. Kau menyukai kopi. Demikianpun denganku.

Kali ini, aku tidak melihatmu lagi di balik jendela kamarmu. Kemana perginya dirimu? Bukankah saat-saat seperti ini adalah waktu bagimu tuk menanti senja dari balik jendela kamarmu? Aku tak terlalu berusaha tuk mencari tahu. Barangkali kau sedang asyik dengan cangkir kopimu di beranda rumah.

Keesokan harinya, aku hendak mengintipmu lagi dari balik pohon cemara di samping kamarmu, hendak memastikan apakah kini kau sedang menanti senja dari balik jendela kamarmu atau tidak? Ketika hendak mengintipmu, alangkah terkejutnya aku menyaksikan pemandangan dari balik pohon cemara. Jendela kamarmu tertutup. Tidak ada orang di sana. Dan boleh jadi, kamarmu itu sudah kosong. Kemanakah perginya dirimu?

Kini aku semakin penasaran dan tentunya dilanda rindu yang menggebu akan dirimu. Aku memberanikan diri tuk menanyakan kepada seisi rumah perihal tentangmu yang tak lagi kunjung tiba di balik jendela kamarmu tuk menanti senja.

“Di mana wanita yang menempati kamar pojok itu?”

“Kenapa dia tak lagi menanti senja dari balik jendela kamarnya?”

“Kemanakah perginya dia?”

Seisi rumah kebingungan ketika melihatku dan menanyakan perihal tentangmu.

Tiba-tiba….

“Ia telah pergi dan tak kunjung kembali, anak muda”.

“Ia telah tiada”.

Mataku berkaca-kaca. Mulai menetes. Aku menahan rindu. Kau pergi tanpa pamit padaku. Kau tak pernah memberitahuku soal senjamu, soal senja terakhir yang kau nikmati. Kau…..

“Siapakah engkau ini anak muda sehingga bertanya soal wanita itu?”

“Akk….kkuuu…. aku anaknya yang dulu pernah ia lupakan dan ia tetap menjadi ibuku”.

Waktu berhenti berputar segera setelah mendengar pernyataanku. Seisi rumah bungkam. Sunyi. Sepi. Dan di kejauhan sana tampak senja yang begitu indah yang pernah ada.

“Ibu, kuhantar kenangan tentangmu bersama senja yang tak sempat kau beritahu kepadaku. Kini bersama senja yang tak sempat pula kau nikmati, aku merelakan dirimu. Pergilah bersama senja yang terindah ini, Ibu”.  

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan