sampul-buku-kulit-manusia

Yang Berjarak Selalu Menggetarkan

berjarakIni adalah jarak di mana aku dapat leluasa menatap punggungmu, tanpa kau harus tahu segala rasa yang kusimpan untukmu. Kita sama-sama memiliki rasa, namun kita sadar ada sekat yang tak mungkin kita tembus. Kau menatap ombak, aku menatapmu, mungkin kau pun sedang bermimpi hal yang sama tentang kita. Meski pada akhirnya tetap sama. Bukan aku, bukan kamu, bukan kita.

Kau jelas sadar ada dia yang sedang menunggumu di sana, pada lindap malam dia menunggumu pulang. Akan tetapi kau tak bisa membohongi dirimu sendiri, kau tidak akan pernah bisa berbohong pada hatimu. Kau menginginkan aku. Aku yang melindap pada hatimu. Yang berjarak selalunya menggetarkan, kau bersamanya, aku bersama dia namun hati kita saling merindukan. “Apa kau punya pacar sekarang?” Ada degup halus yang menggelitik ketika bibirmu yang tipis itu menempel di telingaku. “Aku tidak punya pacar, tapi selingkuhanku banyak” Kau hanya tersenyum, matamu tetap menatap wajahku.

“Apa aku harus menjadi selingkuhanmu dulu?”

“Baiklah mulai sekarang kita resmi sebagai selingkuhan”

Aku tertawa kemudian meneguk sisa wine dari gelasku, mungkin aku sudah mulai mabuk. “Sebenarnya sudah dari dulu aku ingin mengajakmu selingkuh” Kau pun melakukan hal yang sama denganku, tak ada lagi sisa wine pada gelasmu. “Bagaimana dengan kekasihmu?, jangan sampai dia tahu, bisa dibunuhnya aku, hahahaha” Kuambil lagi sisa wine di botol dan kutuangkan pada gelasku dan gelasmu. “Tenanglah aku pasti melindungimu biar nggak di bunuh” Kita sama-sama tertawa, kita sama-sama mabuk, malam semakin larut, hingga kita lelap dalam dekap selimut, aku dan kamu.

Kita lewati separuh dari malam, karena aku yakin kau membagi separuh malammu untuk Ia atau dia, atau entahlah. Aku pun sama tak hanya dirimu yang memberi waktu untukku. Ada ia dan juga dia.

“Kemana pacarmu?”

“Aku tidak punya pacar, aku cuman punya selingkuhan”

“Uhhh, pasti selingkuhanmu banyak. Nah aku yang jadi pacarmu sekarang”

“Lantas bagaimana dengan pacarmu?, masa langsung kau putuskan dia sadis sekali kau”

“Aku lebih memilihmu, dan aku juga sepertimu, tak ada pacar, Cuma ada selingkuhan” Tertawa…. tertawa dan tertawa.

Kita telah sama-sama mabuk, aku tidak ingin memikirkan ia atau dia, aku hanya ingin bersamamu, meski hanya satu malam saja. “Aku suka tipe kayak kamu, wild, young, and great” Disela desahmu mencumbu malam. Kita larut dalam setiap sentuh, dan dekap mencipta lengguh, aku milikmu, kau milikku. Meski hanya malam ini, dan kita belum tahu apakah masih bisa mengulang setiap dekap dan keringat yang membanjiri tubuh kita. Hingga pagi menggantikan malam.

****

Dia menatap wajahku yang sedari tadi terlihat murung, aku mulai lelah dengan segala hal. Semua terasa penat, kitab-kitab mengatakan bahwa wanita tercipta dari tulang rusuk laki-laki, aku mulai bertanya, berapakah jumlah tulang rusuk laki-laki?. Jika hanya satu, bagaimana mungkin mereka bisa mencintai lebih dari satu perempuan, begitu pun juga sebaliknya. Kenapa manusia harus beranak pinak?. “Kamu sakit ay?” Dia menempelkan telapak tangannya pada keningku, perlahan jemarinya membelai rambutku yang berantakan tertiup angin sore itu. “Aku akan menikah” Spontan gerak tangannya berhenti. Dia menatap lekat wajahku, mencoba memastikan apa yang kukatakan barusan.

“Mau nikah sama siapa?, kamu punya pacar?”

Nggak tahu”

“Kamu dijodohin?”

Enggak!”

“Terus mau nikah sama siapa?”

“Aku nggak tahu”

“Nikah sama aku aja yuk

Aku menelusuri ekor matanya, mencoba mencari keyakinan dengan apa yang dia ucapkan, semudah itukah dia meninggalkan kekasihnya hanya untuk menikahiku?. Apakah benar aku tercipta dari tulang rusuknya?. Dia selalu meluangkan waktunya untukku, tentu saja pacarnya tidak tahu hal itu. Dia selalu bisa mengkondisikan bagaimana dia bersikap di depan pacarnya. Hanya dia yang tahu, siapa wanita yang telah membawa hatinya pergi, hingga dia tidak memiliki hati lagi.

“Kenapa kamu diam?”

“Kenapa kau ingin menikahi aku?”

“Suka ajah, kamu berhak tidak suka dengan jawabanku”

“Meski kita akan menyakiti orang lain jika kita melakukan itu?”

“Berat banget sih pertanyaanmu”

Kita sama-sama tahu, bahwa kita masih sama-sama meragu, dia telah memberikan hatinya pada seorang wanita, bukan, bukan pacarnya yang sekarang. Juga bukan padaku, oleh sebab itu dia selalu bisa menjalin hubungan dengan siapa pun. Karena kita belum mampu melepaskan diri dari diri kita sendiri. Kita masih lebih memilih dunia masing-masing. Sulit untuk keluar, sudah terlanjur nyaman dengan hubungan tanpa ikatan, hati kita mengakui ‘Ini adalah kesalahan’ Namun kita terlanjur menikmati. Aku tahu dia adalah orang yang patah hati, dia hanya punya rasa suka namun tidak akan bisa jatuh cinta, sama sepertiku. Oleh sebab itu kami memilih untuk bersama siapa saja. Entah sampai kapan kami akan terus seperti ini. Atau memang kami ditakdirkan untuk menyendiri, menikmati perih, jika memang takdir seperti itu, mengapa ada pilihan-pilihan?. Akh, tidak. Jika aku kesakitan, aku tidak ingin menyalahkan takdir, mungkin itu kesalahanku dalam memilih. Sampai aku sadar bahwa hidup tak cukup dengan idealisme.

“Aku ingin lepas dari diriku sendiri. Aku butuh orang untuk melepaskanku dari diriku sendiri. Dan aku belum tahu, apakah orang itu adalah kamu?”

“Apa kamu yakin dengan cara seperti itu kamu tidak akan lebih menderita?”

“Jika aku menderita itu adalah bayaran untuk pilihanku. Apa kita siap untuk itu?”

“Entahlah, hidup bersama bisa jadi lebih mengerikan dari mati bersama, duniaku sungguh kacau”

“Aku juga”

“Apa kau tak takut jadi gila?”

“Tapi kita justru bahagia dalam kekacauan itu”

“Yakin?”

“Tidak. Hanya pura-pura bahagia. Aku tampak tegar, padahal aku rapuh”

Kita sama-sama kacau, selalu terlihat bahagia padahal tidak, hanya permainan rupa. Namun tak bisa dipungkiri kita menikmati kekacauan ini. Mungkin kita harus belajar untuk yakin. Tentu saja karena kita adalah peragu. Kita mulai saling merindukan, namun kenapa harus ada dia yang lebih dulu. Kita tidak akan pernah merasakan bahagia yang sama. Dia menyukaiku, namun belum tentu mencintaiku karena pada dasarnya kita sama-sama tidak memiliki hati, cinta mungkin ada tapi tetap tidak sama, pada akhirnya semua terasa hambar, dingin, semua menjadi biasa. Atau mungkin dia benar kita berbeda dalam memandang cinta, jalani seberapa kita tahan untuk tidak bosan, seberapa kita yakin. Kita yakin atau justru malah bosan.

****

Aku memandang wajahnya, senyumnya yang selalu menjeratku menemui jalan buntu di hatinya. Meski hanya sesaat, kupandangi wajahnya yang sedang menghadap cermin, dan ketika ia mengecup keningku. “Aku pergi dulu, aku akan berdoa supaya layak mendapatkanmu” Kemudian ia akan bergelut dengan beribu kesibukan, dengan impiannya. “Impian membuat orang tetap hidup dan berumur panjang” Ia berbicara panjang lebar tentang mimpi, sesekali aku menimpali perkataannya dengan “Oh”, “Benarkah?”, atau “Itu bagus” Aku bisa mengerti meski aku sudah tidak punya mimpi. Menyaksikan orang-orang mendekap mimpi bagiku sudah cukup. Aku mulai merindu setiap celotehnya. “Terima kasih telah merindukanku, malam ini aku ingin memimpikanmu” Kemudian hening, malam ini ia hanya memimpikanku namun ia tidak mempunyai waktu untukku.  “Baiklah malam sudah begitu larut. Peluk aku dalam mimpimu” Dan aku mulai menyayangimu, rasanya aku tidak akan keberatan jika harus menelantarkan pekerjaanku asalkan bisa lebih dekat denganmu.

****

Senja begitu ranum, seakan menggoda setiap mata untuk memperhatikan warnanya yang merah keemasan. Kau tak di sampingku. Tak ada ia dan dia, hari terasa begitu membosankan, tak ada alat yang membantuku membunuh waktu. Mungkin kau sedang bersama wanitamu, dan dia sedang bersama kekasihnya, begitu pun ia. Aku di sini, sendiri, bersama laut dengan senja yang mulai muram. Aku mulai berfikir tentangmu ia dan juga dia, aku tidak dapat memilih mereka, kita akan sama-sama terluka,  akh.. realita tetap saja sama. Mereka akan menyebutku gila. “Temani sisa hidupku” Kata ia. “Hiduplah bersamaku” kata dia.

Terlalu banyak pilihan, banyak hal yang tak bisa kujawab, aku bingung, aku memang tidak pandai memilih, pilihanku adalah untuk tidak memilih, dan akhirnya aku memilih untuk sendiri, menikmati sepi, berdiskusi dengan hati.

“Sudah kubilang, bukan kamu, bukan aku, bukan kita”

4 tanggapan ke Yang Berjarak Selalu Menggetarkan

  1. ZeeRiza 1 Desember 2014 pada 11:52 #

    kakak bagus critanya, tapi ada beberapa bagian yang saya bingung membacanya 🙂

    • Marina Herlambang 4 Desember 2014 pada 14:25 #

      makasih say, iya ini masih banyak yang harus diperbaiki ^_^

  2. willy 29 November 2014 pada 10:57 #

    ada beberapa dialog yg melanggar hak cipta 🙂
    bayar bayar bayar

    • Marina Herlambang 29 November 2014 pada 18:26 #

      siapa suruh rayu2 orang macam itu. kau sudah mendapatkan bayarannya setiap minggu masih tagih tagih. kembaliannya mana? bayar bayar :-p

Tinggalkan Balasan