yesus-sang-pembebas-kaum-tertindas

Yesus Sang Pembebas

Di akherat semua roh diberi inventaris mobil. Paimo protes karena mendapat mobil reyot Colt Brondol. “Masak aku dapat jelek gini? Lah itu anak kecil malah dapat BMW.”

Dia belum punya dosa.” kata Malaikat.

Lha itu…orang tua…koq dapat Mercy terbaru?

Jawab malaikat tenang, “Dia waktu hidup banyak amalnya.”

Tiba-tiba, sebuah Ferrari merah meluncur. Mobilnya dikemudikan anak muda bule gondrong dan brewokan. “Lha itu, pemain band dapatnya mobil super mewah.”

Hush! Beliau Yesus!” kata Malaikat sambil menutup mulut Paimo.

Tentu saja kisah di atas anekdot belaka. Namun, dibalik cerita lucu itu terselip sebuah pelajaran penting. Pesannya adalah Yesus ternyata bisa dikenali dengan banyak cara. Paimo, misalnya, mengenali-Nya sebagai sosok pria bule gondrong yang brewokan. Dia menyebut-Nya sebagai anak band pula.

Dalam istilah teknis, mengenal Sang Mesias memang bersifat multi-tafsir. Banyak para teolog Kristen berusaha menerjemahkan figur ini dalam banyak tanda dan kata. Banyak teolog, khususnya di negara dunia ketiga, menerbitkan buku dengan tema wajah Yesus dalam konteksnya. Mereka menarik pemahaman untuk menempatkan Kristus dalam situasi konkretnya. Indonesia juga tidak ketinggalan. Pria bersandal asal Nazareth ini juga diangkat sebagai tokoh pewayangan. Semua usaha ini bersumber dari satu motif. Mereka ingin mengenalkan Anak Allah seturut dengan keadaan dan iklim para pendengarnya.

Gagasan serupa juga diusung buku ini. Dengan tebal 268 halaman, penulis mencoba bersumbangsih menampilkan sosok Yesus dalam konteks Amerika Latin. Penerbit mengalihbahasakan buku ini untuk memberi perspektif lain tentang Yesus (hlm. 5). Selama ini, Sang Anak Allah memang selalu dilukis dalam spektrum spiritual, rohani, dan metafisis. Tentu saja, ini menjadi keberatan tersendiri. Sang Juru Selamat menjadi terpisah dari kehidupan nyata masyarakat. Dia seolah berjarak dan tidak berkaitan dengan situasi material rakyat.

Untuk mendapat gambaran relevansi misi Yesus dalam situasi konkrit, maka buku ini layak dibaca. Dengan pena, Leonardo Boff memahat potret Anak Domba Allah dalam matra pembebasan. Artinya, Anak Dara Maria diletakkan dalam konteks sosiologis dan fungsional. Alhasil, Kristologi mendarat dalam pergumulan nyata manusia. Inilah alasan utama buku ini jadi bacaan wajib. Khususnya, bagi mereka yang penasaran tentang biografi Yesus dari perspektif liberatif.

Leonardo Boff lahir di Brasil, 14 Desember 1938. Dia pernah menjabat sebagai  Professor Emeritus di Rio de Janeiro State University. Selain itu, beliau juga adalah aktivis pembela hak orang miskin dan terpinggirkan.

Michael Lowy, penulis buku, “Teologi Pembebasan – Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis” (2013), berkomentar menarik tentang penulis. Lowy mengatakan, “Leonardo Boff-lah orang yang pernah merumuskan kecaman paling radikal dan sistematis pada tatanan Gereja Katolik sejak zaman Kaisar Konstantinus sampai saat ini.”

Boff mengangkat Yesus sebagai pembebas jadi pokok pikiran utama. Tujuannya agar manusia dapat mencintai Tuhan secara lebih manusiawi dan mendalam (hlm. 184). Oleh karena itu, elemen praksis Kristologi menjadi terutama dalam memahami Sang Putra Allah.

Penulis menggunakan teologi praxis sebagai metode berpikir. Suatu metode berpikir dialektis sirkuler antara kenyataan dan teori. Dalam hal ini Alkitab, sebagai acuan teoretis, dikawinkan dengan kenyataan sosial. Ini bisa dibuktikan lewat konsistensinya dalam mengutip ayat suci. Sejurus kemudian, dia memberi interpretasi menarik dalam kaitannya dengan praktik sosial.

Bagi saya pribadi, sampul buku menarik dengan nuansa “suramnya”. Paduan warnanya seperti sedang memancarkan nuansa “horor”. Dua sosok manusia jadi ornamen utamanya. Gambarnya seolah bercerita tentang pengkhianatan Yudas ketika mencium Yesus. Dalam penilaian saya, pesan cover sangatlah kuat dalam menggambarkan isi buku.

Latar belakangnya mengangkat konteks penggambaran Yesus zaman ini. Sulit disangkal, Kristologi kontemporer memang melepaskan dimensi liberatif ajaran-Nya. Entah kenapa, ajaran-ajaran sosial Yesus sepertinya menguap begitu saja. Oleh karena itulah, Boff berani berpendapat bahwa telah terjadi pemutarbalikan iman Kristologis (hlm. 45). Sehingga, dia ingin membangun tafsir tentang maksud asli Yesus (ipsissima intentio Iesu).

Kondisi sosial Amerika Latin menjadi konteks pengawal kelahiran buku ini. Wilayah miskin dan tertinggal memaksa Boff menelurkan sebuah teologi bercorak liberatif. Pembebasan di sini berkaitan dengan struktur ekonomi, sosial, politis, ideologis. Dengan kata lain, gagasannya memfokuskan perhatian pada struktur dan bukan individu (hlm. 26).

Dengan melihat latar belakang dan konteks, maka persoalan utamanya hanya satu. Teologi seperti tidak memiliki relevansi dan relasi fungsional dengan situasi historis sosial (hlm. 17). Pendeknya, ide-ide agama tidak bersifat emansipatoris. Boff tampaknya ingin keluar dari persoalan ini. Suatu akar penyebab agama menjadi lamban dalam meresponi masalah sosial.

Boff, dalam catatan saya, menawarkan tiga solusi untuk menjawab persoalan di atas. Pertama, dia menyerukan pertobatan hermeneutis (hlm. 18). Ini mencakup rekonstruksi keyakinan dogmatis Gereja. Dia mendorong agar setiap orang beriman menciptakan pertanyaan baru. Pertanyaan yang berurusan dengan kenyataan lokus sosial konkret. Kemudian, menanggapinya dengan objektif. Harapannya, jurang antara teori dan praktik menyempit.

Kedua, Boff menganjurkan agar kita terjun dan terlibat dalam situasi (hlm. 26). Solusi ini sebenarnya terkait erat dengan salah satu ide dasar marxisme. Marx mengatakan, “Kesadaran tidak menentukan kehidupan, namun kehidupan yang menentukan kesadaran.” (Ideologi Jerman, 1845) Agama dikategorikan sebagai sebuah kesadaran teoretis. Sementara, kehidupan adalah sebuah kenyataan material manusia. Agama harus mampu melahirkan sebuah relevansi kesadaran. Untuk itu, dia harus masuk dalam kenyataan itu.

Ketiga, Boff  mengajak praktik pelaksanaan pembebasan (hlm. 34). Untuk tujuan inilah, setiap halaman akan memberi legitimasi teladan Yesus dalam aksi. Sang Anak Daud dibingkai sebagai sebuah kepastian teologis atas keutamaan praksis. Dengan begitu, Yesus menjadi dasar pengharapan untuk kerja revolusioner masa kini.

Penulis jelas punya kredibilitas luar biasa untuk membicarakan topik ini. Dia terlibat dalam dua ranah sekaligus. Sebagai pengajar, itu memberi keyakinan akurasi teoretis atas gagasannya. Sementara, sebagai aktivis, itu memperkuat pengakuan kalau gagasannya bukan berasal dari ruang hampa. Profil Leonardo Boff bisa jadi jaminan kualitas atas karyanya ini.

Selain itu, ada agunan lain jika mempersoalkan mutu buku. Konsisten metodologi terus dipertahankan sepanjang deretan halaman. Penulis terus memelihara akurasi logis dari Alkitab sebagai dasar eksegesis. Dengan rinci, dia membandingkan banyak ayat dalam Alkitab. Kemudian, membahasakan dengan hati-hati. Dia tampaknya ketat dalam menjaga diksi agar maksudnya tidak kontraproduktif.

Tawaran solusinya bisa dikatakan menjawab persoalan. Boff sadar betul bahwa akar penindasan adalah struktural. Untuk itu, dalam menggagas perubahan, beliau paham betul benih persoalan. Yesus selalu digambarkan sebagai pelopor perombak tatanan.

Pembaca akan sangat mudah memahami buku karena kesederhanaan bahasanya. Kesannya jauh dari teks-teks teologi yang cenderung mirip bacaan filsafat. Seperti kita tahu, ciri umum bacaan filosofis adalah penggunaan istilah-istilah rumit. Kosakatanya sering kali jauh dari penggunaan bahasa sehari-hari. Tapi, penulis, lebih tepat penerjemah, menghindari hal-hal seperti itu. Alhasil, buku ini jadi bisa dibaca siapa saja; baik dengan latar belakang disiplin ilmu teologi atau tidak.

Tawaran positif buku ini adalah keberaniannya. Boff cukup bernyali untuk menantang iman “populer” kekristenan. Dia mengajak untuk mempertanyakan ulang keyakinan dogmatis tentang Yesus. Penulis, menurut saya, berhasil membuat pembacanya berhenti dan bercermin lagi. Dia berhasil menyadarkan betapa pandangan publik tentang Yesus sangat melenceng. Tidak sampai di situ, Boff juga menyediakan alternatif Kristologi yang lain.

Namun, ada satu kelemahan mencolok terlihat. Buku ini, tidak menyertakan konteks ekonomi-sosial-politik dari teks Alkitab ketika menafsir ulang. Kesannya, sebagian besar pandangan Boff tampak muncul dari sebuah hasil perenungan biasa (lectio divina). Sebagai contoh pembanding adalah karya N.T. Wright. Dia pun teolog Kristen yang menaruh perhatian hampir sama dengan Boff . Beberapa karyanya juga mengambil gagasan tentang visi sosial Yesus . Namun, jika mengamati buku-bukunya, Wright akan selalu menyertakan konteks historis Alkitab. Sejurus kemudian, memberi penafsiran terhadapnya. Metode ini membuat pembaca bisa masuk dalam pergulatan emosi dan intelektual ketika ayat suci itu dituliskan.

Kalau melihat latar belakang Indonesia, buku ini tentu sangat relevan. Ada kesan kuat bahwa kegiatan berteologi di Indonesia adalah corong pemikiran barat. Sementara di satu sisi, ada keperluan mendesak terhadap agama agar menyumbang gagasan bagi kemajuan peradaban. Hal ini membuat  lintasan yang telah dirintis Boff perlu diikuti. Buku ini bisa dijadikan model untuk menata ulang teologi agar cocok dengan kenyataan sosial yang sedang dihadapi.

yesus-sang-pembebas-kaum-tertindasJudul                     : Yesus Kristus Pembebas
Serial                     : –
Penulis                 : Leonardo Boff
Genre                   : Non-Fiksi
Penerbit              : Percetakan Arnoldus, Ende
Cetakan               : Cetakan Ketiga, April 2001
Format                 : Cetak
Halaman              : 268 halaman
Sumber                                : Koleksi Pribadi

, , ,

Satu tanggapan ke Yesus Sang Pembebas

  1. 101864381308793050366 28 Agustus 2021 pada 14:45 #

    salam kenal, bang Rinto
    …..
    artikel yang menarik.

    Bisakah mendaapat info dimana saya memperoleh buku ini ya? Buku lama sulit dicari. Apakah bisa mendapat copynya ?

    Terima kasih

Tinggalkan Balasan