bencana-tanah-longsor-masa-paskah-di-waimatan

Air Mata Paskah Tumpah Di Waimatan

Kejadian nahas itu sudah sebulan lalu. Namun, masih kuat ingatan saya penuturan Mus Betekeneng. Mus Betekeneng adalah saksi mata kejadian longsoran di desanya pada malam Paskah. Berikut rekaman ceritanya.

Beberapa jam setelah merayakan malam Paskah kabar duka menghampiri masyarakat Lembata. Longsoran bebatuan gunung Ile Lewotolok merubuhkan rumah-rumah warga di desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur. Sebanyak 25 korban jiwa dinyatakan meninggal. Kejadian nahas itu terjadi pada hari Minggu dini hari, (4/4) sekitar pukul 02.00 Wita.

bencana-tanah-longsor-masa-paskah-di-waimatan

Sumber: Rian Naur (Voxntt.com)

Sehari pascakejadian itu, saya bersama ketiga teman wartawan (Pos Kupang, TVRI, dan Media Indonesia) langsung bergegas ke lokasi bencana. Siang itu, hujan turun sangat deras di Lembata. Dari kejauhan, puncak gunung Ile Lewotolok tertutup mendung kehitaman.

Kami berangkat sekitar pukul 01.00 siang Wita. Sepanjang perjalanan beberapa kali kendaraan kami terperosok disebabkan jalanan licin. Banyak aspal juga berlubang akibat genangan air dan lumpur.

Sebelum tiba di desa Waimatan, kendaraan kami terhenti 10 menit di desa Amakaka. Desa Amakaka adalah salah satu desa terdampak longsoran terparah. Sebanyak 29 orang korban dinyatakan meninggal.  Di situ, kami melihat dari dekat keadaan pascalongsoran. Banyak puing rumah dan sekolah hancur berantakan. Dari kejauhan, terlihat beberapa masyarakat sedang mengais puing-puing reruntuhan di antara bebatuan besar.  

Setelah mendokumentasikan keadaan, perjalanan dilanjutkan. Meskipun jalanan merintang, tekat kami bulat. Hampir satu jam kami bertolak dari desa Amakaka. Kami tiba pukul 14.45 sore di desa Waimatan.

Di lokasi tersebut sudah berkumpul banyak masyarakat. Pandangan kami langsung terarah di sekitar lokasi. Kami dibuat kaget karena terbentang sisa-sisa puing rumah dan bebatuan besar.

Menurut salah seorang yang lebih dulu di situ, tumpukkan bebatuan besar itu adalah sumber malapetaka warga desa Waimatan. Karena penasaran, kami menuju ke lokasi evakuasi jenazah. Sekitar 10 meter jaraknya dari badan jalan.  

Di antara tumpukkan bebatuan besar, terlihat beberapa petugas evakuasi kewalahan. Mereka kesulitan mengeluarkan satu jenazah karena terhalang batu besar. Berkali-kali coba dikeluarkan tetap tidak bisa. Bahkan satu petugas hampir dihantam batu batu besar. Untungnya, cepat ditahan dengan balok.

Selang beberapa menit, terdengar para petugas mengucapkan “Puji Tuhan”. Jenazah itu berhasil diangkat dibantu tali dan kain. Menurut saksi mata, sudah tiga jenazah berhasil terverifikasi.

Kami kemudian mewawancarai seorang bapak. Dari raut wajahnya, bapak ini mengalami trauma. Dia hanya diam saat di lokasi evakuasi. Sesekali berada bersama di kerumunan petugas evakuasi. Lalu, tiba-tiba menjauh.

“Ia, saya adik dari bapa yang baru dievakuasi”. Begitu keterangan awal ketika ditanyakan perihal kakaknya itu. Menurutnya, saat kejadian drinya tidak ada di rumah. Malam itu, dia menginap di kebun. Keesokan hari, minggu (4/4) sekitar jam 10  pagi barulah diketahuinya kejadian nahas itu. “Kemarin pagi baru saya tahu, tapi ada yang beritahu jangan dulu datang”.

Pria itu lantas tidak banyak bicara setelah diwawancari. Kami tidak tega menggali lebih banyak informasi darinya. Selang dua puluh menit, di lokasi yang sama, kami menjumpai kepala desa Waimatan, Mus Betekeneng. Mus sudah berdiri dan berbicang dengan masyarakat. Mus Betekeneng adalah saksi kunci peristiwa malam petaka itu.

Saat menceritakan, Mus Betekeneng tetap tegar dan berbesar hati. Ia terlihat bisa menerima kenyataan kalau sebagian warganya telah tiada. Namun, setiap mengulang tindakan alm. Randius Rupa air mukanya langsung berubah.

Alm. Randius Rupa adalah rekan kerja Mus Betekeneng di desa Waimatan. Alm. Randius bertugas selaku sekretaris desa. Sebelum Randius meninggal, mereka sempat saling berkoordinasi untuk mengingatkan semua warga.

Dalam penuturan Mus, sekitar pukul 01.00 malam mulai terdengar gemuruh dari puncak gunung Ile Lewotolok. Sumber gemuruh terdengar dari dua arah. Ada yang mendengar dari bawah dan dari atas. Ketika mendengar gemuruh tersebut, dirinya langsung berkomunikasi dengan alm. Randius.

Karena hujan deraslah, menurut Mus, komunikasi mereka sedikit tidak terjangkau. Namun, alm. Randius terus berkomunikasi. Dengan hanya bermodalkan Handy Talky, alm. Randius berkali-kali memanggil, berbicara, dan mengingatkan sebagian warga yang terjaga.

Selang beberapa menit, diperkirakan sekitar jam dua dini hari terjadilah musibah. “Sekretaris desa meninggal saat sementara berkoordinasi dengan warga lain. Alm. Randius meninggal masih dalam keadaan sadar. Dia tahu dirinya akan meninggal”, ungkap Mus.

Mus kembali teringat detik-detik menjelang musibah. Menurutnya, seandainya malam itu ada yang membunyikan sesuatu atau berteriak, bisa jadi meterial bebatuan tidak menimpa mereka.

“Sebelum kejadian, seperti ada batu yang terbang dan membunyikan atap rumah saya. Itu barangkali bertanda untuk kami. Tapi, karena semua dalam keadaan panik dan tidak tahu, kejadian itu tidak bisa dielakkan”.

Dalam ingatan Mus juga, tanda-tanda peristiwa itu akan terjadi seperti sudah diperingatkan di Gereja.  Menurut Mus, semua umat diimbaukan oleh ketua dewan paroki. Katanya, bahwa akan ada hujan deras selama sepekan ke depan.

Seakan imbauan itu hanya sebatas peringatan, warga desa Waimatan langsung pulang ke rumah masing-masing. “Kami sudah peringatkan seluruh warga, tapi karena hujan dan angin orang takut mau keluar rumah”, imbu Mus.

Beberapa menit pascalongsoran, Mus lalu berkoordinasi dengan para korban selamat. Mus memanfaatkan cahaya lampu senter untuk berkomunikasi. “Saya mengatakan kepada semua warga yang selamat agar jangan bersedih dan tetap siaga.” Karena mencekam, malam itu Mus dan warga desa Waimatan tidak tidur sampai pagi. Mus tetap ada bersama warganya, meskipun hujan deras.

Mus dan warga lain tidak banyak bertindak hingga pagi. Dia dan warga lain hanya berdiri menunggu hujan reda. Dalam penuturannya,  dia tetap bersyukur karena sebagian warganya terselamatkan.

Sambil menunjuk ke arah tumpukkan bebatuan, Mus berujar, “untung masih ada satu batu besar yang bisa tahan batu-batu lain. Kalau tidak ada itu batu, mungkin sudah hancur semua rumah kami”.

Dalam hitungan Mus, diperkirakan ada sembilan belas rumah terdampak longsoran. Total sembilan belas rumah rusak, terhitung dengan dusun tiga. Namun, jelas Mus, tidak ada korban dari dusun tiga. Terbanyak dari dusun dua, sebanyak 25 korban jiwa. “Baru tiga yang ditemukan pasca kejadian Minggu dini hari”, ungkap Mus.

Mus menutup ceritanya itu dengan sesekali memandang ke rumah-rumah warga. Air matanya sudah mengering. Terlihat sedikit memerah di lingkaran bola matanya. Rupanya Mus tetap tidak bisa menutup kesedihannya.

Sebelum kami pulang, ia menunjukkan rumahnya. Di bawah atap rumahnya itu Mus terkenang pernah berdiri bersama warga yang selamat dan menjadi saksi hidup petaka Paskah di Waimatan. Sekian. 

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan