pohon-kehidupan

Apakah Pohon Berhak Berdiri di Depan Pengadilan?

Breuer telah memperingatkanmu agar tak nekat untuk maju sedepa sekalipun. Kalimat itu lenyap hingga akhirnya kau harus menyesal seutuh kematian dan menjadi tusuk gigi di meja makan para pejabat itu. Kematian memang pasti datang, Jos, tapi kita bisa memilih mati dengan cara yang bagaimana. Dan kau, orang paling bebal yang pernah aku dan Breuer temui, tak pernah mendapatkan kesempatan itu.

Aku berbela sungkawa memang atas kematianmu, tapi di sisi lain, kemarahanku tak dapat lagi dihentikan. Mungkin kau juga perlu tahu, kemarahan Breuer meledak dahsyat hingga membuat sanak famili kita merasa kerepotan menanganinya. Breuer itu pohon tua yang energi kebijaksanaannya tak dapat dibendung oleh pohon-pohon sepertiku.

Kau seharusnya –meski kata seharusnya tak membantu apa-apa— mendengarkan dia kala itu ketika bersengketa dengan pejabat durjana yang

 

hendak membunuh orangtuamu. Dengan kata lain, aku setuju dengan pejabat itu pada bagian, kuulangi sekali lagi, pada bagian yang menjelaskan bahwa orangtuamu sudah lapuk dan sudah jatahnya beralih wahana menjadi meja atau kursi tamu. Garis bawahi kalimatku barusan. Selebihnya, aku tak setuju dengan pejabat itu.

Pohon-pohon seperti kita sejak awal ditanam telah ditentukan kapan kematiannya akan datang, Jos. Kau tak usah berlagak seperti manusia yang mampu memperpanjang usia atau menunda kematian dengan segala macam obat-obatan. Kita hidup sebagai pohon, mereka hidup sebagai manusia, bahkan di antara keduanya, seperti Marya beserta keluarganya itu, juga hidup, namun sebagai lebah. Kehidupan dan kematian selalu satu bentang yang tak bisa kau potong.

Bukankah sudah cukup jelas tentang wejangan yang nenek moyang sampaikan kepada kita? “Anak cucuku lahir sebagai pohon dan matipun tetap sebagai pohon. Hidup kita bermartabat sebab kita mau berkorban untuk dijadikan pemenuh kebutuhan makhluk hidup pengelola, yaitu manusia. Terima saja hidup yang begitu itu karena dengan hidup dan seluruh pengalaman selama kita hidup saja, sudah lebih dari cukup untuk disyukuri.” Aku jadi membayangkan, jangan-jangan wejangan itu yang terakhir kali kau panggil saat detik-detik kematianmu tiba.

pohon-kehidupanDan apakah kau juga ingat, anekdot yang pernah kukatakan padamu, mengenai pohon yang tak pernah mati? Begini, kita adalah salah satu makhluk hidup. Hanya salah satu. Makhluk hidup lainnya adalah manusia dan hewan. Manusia ketika mati, ia dikubur di tanah sedalam dua meter. Hewan ketika mati, menjadi bangkai dan ditelan tanah. Kita, famili pohon, justru hidup subur ketika dihujamkan ke tanah.

Satu lagi: pohon yang ditebang, meski dalam dunia kita disebut mati, tapi sebetulnya tidak sungguhan mati, karena nyatanya pohon-pohon hanya beralih wahana menjadi sesuatu yang baru. Lahir menjadi sebatang individu yang mempunyai fungsi, bentuk, dan nama baru. Pohon-pohon tak pernah mati, kan, Jos? Lantas aku juga masih ingat bagaimana pekik tawamu setelah aku menjelaskan hal-hal di atas itu. Ya, begitulah, kenangan indah sangat pantas diceritakan kembali agar menjelma menjadi serpih kebahagiaan.

Breuer menangis lagi, Jos, setelah aku mencoba berbicara denganmu. Kau pohon pemberani yang tolol, memang. Berdiri sendiri di atas serabut akarmu, merayap ke depan pintu pengadilan, lantas menghardik hakim sidang agar sedikit berempati kepada pohon-pohon yang hendak ditebang.

Kuingat betul kalimatmu itu, “Hakim sidang yang mulia, pernahkah Anda berpikir saat memutuskan para pejabat yang kongkalikong dengan pengusaha sawit tak bersalah, menggunakan sudut pandang kami, para pohon-pohon nelangsa ini? Pernahkah Anda bertanya kepada kami, apakah tanah kami sungguhan bersedia dengan sepenuh sadar untuk menimang sawit-sawit yang akan ditanam? Pernahkah Anda juga berpikir, jika saya tak nekat ke sini mewakili famili pohon, bahwa kami sebetulnya layak berdiri di depan pengadilan seperti ini untuk membela hak hidup yang sering disalahgunakan oleh mereka?”

Tentu saja hakim sidang bungkam. Ruangan bergeming beberapa saat, barangkali tak kurang dari sepuluh menit, dan kau memanfaatkan itu untuk mengatur napasmu yang terengah-engah. Aku, Breuer, Marya sekeluarga, dan seluruh famili pohon yang mendengar lamat-lamat dari luar, seperti diterpa angin segar yang membuat tubuh pohon ringan.

Mereka, klaimmu saat itu, terlalu lama berpikir untuk menyusun kilah-kilah lain. Kau bosan menunggu momen tersebut, lantas kau hengkang dari sana. “Tak ada gunanya, Bel, kita pergi saja,” Katamu kesal ketika menemuiku. Setidaknya orang-orang tua yang juga sempat mendengar pidatomu, kini menjadi lebih modern dalam memperlakukan nasib pohon, Jos. Itu juga termasuk pencapaianmu yang cukup membuatku terkesan.

Tibalah pada malam tragedi. Saat semua pohon terlelap, kau ditebang paksa secara diam-diam menggunakan kapak. Ketika aku mendengar kabar itu, sejurus kemudian tubuhku linu membayangkan sebanyak apa sakit yang kau terima. Famili pohon merasa terpukul sebab tak ada yang menyadari kejadian itu. Tentu saja orangtuamu yang paling terpukul. Mereka berguguran sepanjang pekan.

Salah satu dahanmu adalah tempat favorit bagi Marya dan keluarganya, kan, Jos? Lalu sekarang mereka mau tinggal di mana jika kau tiada begini? Aku dan Breuer seperti kehilangan gairah untuk tetap hidup. Sepanjang hari Breuer mengulang-ulang zikir kematiannya dan aku mulai muak dengan itu.

Sekarang aku sedang di tepi sungai Rameswaram, Jos, menulis pesan terakhir dan kisah-kisah keberanianmu sekaligus kemarahanku yang lama tak tersalurkan. Pesan ini adalah kemarahan, kenangan, dan riwayat monumental menyoal pohon yang tegak berdiri di depan pengadilan. Siapapun yang membacanya, aku berharap ia mau mengirimkan doa-doa untukmu, Jossi.

Prasasti itu kian tahun kian lapuk dan rapuh. Tepiannya juga sudah terkikis air sungai. Huruf-hurufnya, meski masih sulit untuk dipelajari, Gara tak pernah sedikitpun berpikir untuk membuang sebidang batu itu. Para arkeolog lain memang sudah merasa bosan karena belum juga mendapatkan titik terang huruf-huruf apa itu; ditulis oleh siapa; dan untuk apa. Namun Gara, manusia yang masih dekat dengan famili pohon, merasa mengenal huruf-huruf itu, kemudian lebih memilih melakukan kajian tersebut dibanding melakukan ekspedisi lainnya.

Ketika ditanya, jawabannya selalu sama, “Sewaktu kecil namaku Joseph Breuer, tapi ibuku menyadari satu hal, kalau perkembanganku tak normal. Lantas namaku berubah menjadi Gara. Entah mengapa, di hadapan batu ini, aku seperti sedang bertemu seorang saudara dari kakek buyutku.”

, , ,

Satu tanggapan ke Apakah Pohon Berhak Berdiri di Depan Pengadilan?

  1. Gilangmayang 19 Juni 2021 pada 06:45 #

    Kerennnnn

Tinggalkan Balasan