age-1543464__480

Aruna dan Dia yang Dicarinya

Seperti biasa, sebelum tabuhan bedug shubuh terdengar aku telah disibukan dengan berbagai macam kerjaan. Yang paling pertama, aku harus segera menanak nasi dan membuat sayur. Jam lima nanti, Aruna anakku, akan segera terbangun. Dia akan merengek meminta sarapan, sarapan yang porsinya seperti makan siang. Aruna tak pernah sarapan selayaknya orang-orang, hanya cukup dengan segelas susu dan satu lembar roti tawar. Aruna akan meminta piringnya dipenuhi nasi dan sayur, hingga perutnya keras dan bersendawa.

“Kakak mau makan tapi ingin disuapin Ibu..” Aruna merengek. Padahal dia belum mencuci muka. Tapi kata pertama yang meluncur dari mulutnya saat dia terbangun adalah tentang makanan.

“Kakak cuci muka dulu ya, nanti kalau Adik bangun Ibu suapin makan bareng.”

Aruna terlihat cemberut. Saya faham, dia memang tidak pernah bisa menahan perutnya apabila rasa ingin makan telah mendesak lambungnya.

Dengan terlihat berat, Aruna beranjak ke kamar mandi. Dia akan mencuci muka dan tangan seperti yang selalu kuajarkan. Sebagai anak tertua, Aruna memang masih sangat manja. Dia masih sering menangis apabila berebut mainan dengan adik kecilnya. Padahal selisih usia diantara keduanya sangatlah jauh, lima tahun. Meskipun Aruna adalah seorang Kakak yang manja, tapi kuakui dia adalah anak yang penurut. Hingga saat ini, sebagai Ibu aku belum pernah merasa direpotkan oleh kenakalan atau kemalasannya. Aruna anak yang selalu giat mengaji, sekolah dan belajar di rumah. Tidak perlu bersusah payah menyuruhnya, dia seolah sudah mengerti dengan semua kewajibannya.

“Hari ini sayurnya apa, Bu?”

“Sayur bayam ditambah jagung manis kesukaan Kakak. Di lap dulu dong mukanya, kan basah.”

Aruna me-lap wajahnya. Dengan kedua tangannya dia membersihkan sisa butir air di dagunya. Tak lama berselang dia pun menghampiri Adik kecilnya yang masih terlelap.

” Kok adik belum bangun ini kan sudah adzan?”

“Biarkan saja. Adik masih ngantuk.”

“Dia kan harus sholat, Bu.”

Aku tersenyum mendengar celetukan menggelikan dari Aruna.

“Lah kok Kakak gak sholat?”

“Kakak kan masih kecil. Pak Ustadz bilang kalau masih kecil itu masih belajar. Jadi kalau gak mau sholat Allah tidak marah.”

” Tapi Allah akan makin sayang sama anak kecil yang mau belajar sholatnya tiap waktu. Jadi, setiap Kakak dengar adzan Kakak belajar sholat.”

“Kakak mau sholat tapi nunggu Adik bangun dulu. Nanti sholatnya bareng Adik.”

Aku tertawa seketika. Bagaimana bisa Si Adik yang masih berusia satu tahun bisa diajak sholat berjama’ah? Mungkin dia hanya akan duduk manis di depan sajadah dan menghalangi tempat sujud atau mungkin akan menarik-narik sarung Aruna sebagaimana dia kerap menarik-narik mukenaku.

Kelucuan anak-anak seakan menjadi obat bagi segala lukaku. Setahun setelah Arya pergi, ayah dari anak-anakku, kehidupanku berubah tiga ratus enam puluh derajat. Bukan masalah ekonomi, tapi karena anak-anak yang sepenuhnya kehilangan figur Ayah.

Hanya seorang figur ayah, tidak termasuk sang pencari nafkah. Anak-anak sudah tak bisa lagi berteriak memanggil nama Ayahnya di dalam rumah, karena di sini tinggal kami bertiga. Aku memutuskan perpisahan dengan Arya, karena aku merasa rumah tangga ini sudah tak berjalan sesuai porsinya. Arya hanya menjadi Ayah, tanpa mampu memberi makan kami. Sifat malasnya tak dapat dikendalikan lagi, ujung-ujungnya akulah yang harus membanting tulang agar dapur terus ngebul.

“Ibu, besok Kakak ke sekolah mau diantar Ayah. Suruh dia cepat pulang dari tempat kerjanya.”

Kata-kata Aruna tempo lalu benar-benar membuatku menangis. Bagaimana aku bisa menghadirkan kembali Arya ke sisi anak-anak, padahal semuanya sungguh tidak mungkin. Tidak mungkin aku hadirkan kembali lelaki yang hanya berpangku tangan di rumah, tidak mungkin juga aku mencari kembali pengganti Arya untuk menggantikan sosok Ayah bagi anak-anak. Ya, hingga saat ini aku tak pernah berfikir untuk menikah lagi, cukuplah bagiku anak-anak yang akan menemaniku hingga tua.

Dan bagi anak-anak, cukuplah hanya aku pelepas rindunya.

****

Hari sudah malam ketika kudapati Aruna membuka pintu utama rumah.

“Kok baru pulang, Kak?”

“Ada kuliah malam, Bu?”

“Cepat mandi dan makan. Ibu sudah masak tadi sore.”

Aruna bergegas ke kamar mandi. Dan aku menunggunya di meja makan.

“Ibu belum tidur?” Aruna duduk pada kursi yang ada di seberangku. Itu adalah tempat duduknya apabila hendak makan, dan aku sudah terlebih dahulu menyiapkan nasi dan sayur di piringnya.

“Akhir-akhir ini Kakak sering pulang malam, lbu khawatir dengan kesehatan Kakak.”

“Tidak apa-apa. Kakak baik-baik saja.”

“Kenapa Kakak kuliahnya sampai malam?”

“Biar cepat lulus saja.”

Aku sedikit tidak yakin dngan jawaban anak sulungku itu. Apa benar kuliahnya selama itu? Tapi aku yang tak pernah kuliah ini malas harus bertanya-tanya tentang urusan perkuliahan. Rasanya otakku tak akan sampai ke sana.

Aruna, anak itu kini sudah dewasa. Saat makan dia tak lagi disuapiku. Tapi terkadang satu waktu aku sangat merindui anakku yang merengek manja minta disuapi. Sepertinya aku sangat merindukan Aruna kecil yang manis dan polos.

“Boleh lbu suapi, Nak?” Tanyaku lembut.

Aruna menatap heran. Sesaat kemudian bibirnya terlihat tersenyum.

“Ada apa Ibu ini? Biar Kakak saja. Kakak sudah dewasa jadi jangan terlalu dimanja.”

“Ibu hanya kangen Kakak yang kecil dulu. Apa Kakak tidak kangen dengan masa-masa kecil Kakak? Sekarang Kakak sudah menjadi pemuda dewasa dan akan segera lulus kuliah. Bukan tidak mungkin Kakak akan segera punya pujaan hati dan kemudian menikah.” Air mataku beriak mengatakan itu. Ada rasa haru yang menyeruak. Haru rasanya melihat anak bahagia dalam pernikahannya, dan haru pula jika akhirnya mereka pergi bersama keluarga barunya.

“Kakak tahu, ibu pasti takut ditinggal Kakak merantau jauh kalau Kakak kelak menikah. Tenang saja Bu, Kakak hanya akan menikahi wanita yang mau diajak tinggal di sini bersama kita. Ibu ini kan mertua paling baik sedunia, jadi siapapun yang jadi istrinya Kakak pasti akan betah tinggal di sini.”

Aruna tertawa, aku pun demikian. Anak ini memang lucu, selucu masa kecilnya. Selalu mampu menghibur hatiku.

“Bu…apa boleh Kakak bertanya tentang sesuatu?” Tiba-tiba keadaan menjadi begitu serius. Aruna yang belum sempat menyuapkan nasinya barang sesendok pun, terlihat memegangi tangan keriputku.

“Apa yang ingin ditanyakan, Nak?”

Aruna terlihat terdiam sejenak. Nafasnya berat, sepertinya dia terlalu sulit untuk berkata.

“Katakanlah…”

“Eummm…anu Bu….! Apa Ibu tidak kangen Ayah? ”

Glekkk!! O..Tuhan pertanyaan apa ini. Sudah sangat lama Aruna tidak pernah bertanya tentang Ayahnya, tapi ada apa dengan hari ini. Jujur, aku tak pernah ingin membahasnya, tapi seprtinya kali ini Aruna merasa merindui Ayahnya.

“Kamu rindu Ayah, Nak?”

Aruna mengangguk. Matanya berkaca-kaca.

“Kakak tahu bahwa sejak dulu Ayah tidak pernah memenuhi tanggung jawabnya. Ibu yang menanggung semuanya. Ibu pasrahkan semua hidup Ibu untuk mengurus Kakak dan Adik. Tapi saat ini Kakak ingin melihat wajah Ayah yang sudah hampir kulupa.”

Aku menunduk lemas. Kenapa sampai hari ini aku begitu egois selalu menganggap anak-anakku bahagia bersamaku. Kenapa aku tidak pernah bisa menyelami relung terdalam hati mereka bahwa mereka tetap dan akan selalu merindukan sosok Ayah? Terutama untuk Aruna, mungkin saat ini dia masih merindukan saat-saat di mana dia diajak jalan-jalan bersama Ayahnya apabila sore hari tiba. Aruna yang waktu itu berusia enam tahun sudah dapat menyimpan segala memori indah bersama Ayahnya. Kala itu, Aruna memang tidak pernah tahu siapa yang sesungguhnya yang menjadi kepala keluarga dalam rumah itu. Yang Aruna tahu bahwa berjalan-jalan dan membeli mainan itu sangat menyenangkan, meskipun uang yang dibelanjakan bukanlah hasil kerja keras Ayahnya. Sekalipun begitu, karena uang itu keluar dari saku Ayahnya maka dia akan bilang bahwa Ayahnya lah yang membelikan mainan itu.

Hari ini, aku menyesal, menyesal tidak pernah memahami perasaan Aruna. Menyesal selalu memaksa dia untuk melupakan Ayahnya.

“Kenapa tiba-tiba Kakak ingin bertemu Ayah?” Tanyaku teramat prnasaran.

“Karena Kakak ingin bertanggung jawab atas hidup Ayah. Kakak ingin mengurus Ayah.”

“Mungkin Ayah sudah berbahagia dengan kehidupannya.”

“Tidak Bu…Ayah sedang berada dalam kesulitan.”

Aku mengernyitkan dahi, bagaimana Aruna tahu tentang keadaan Ayahnya sekarang.

“Kakak tahu dari mana?”

Aruna terdiam. Seolah merasa bersalah dia segera duduk di bawah lututku.

“Maafkan Kakak, Bu! Sebenarnya setelah pulang kuliah Kakak pergi ke tempat Ayah. Kakak tidak kuliah malam. Sejak beberapa bulan lalu, Kakak mencari tahu keberadaan Ayah, dan Kakak bisa bertemu dengannya. Sampai malam Kakak berada di tempat Ayah, memandikannya dan menyuapinya makan. Ayah sakit dan tinggal seorang diri di sebuah rumah sewa yang beberapa bulan ini belum dibayar. Maafkan Kakak…”

Oo…Tuhan, begitu mulianya hati putera sulungku ini. Tak pernah dia mengingat akan kesalahan Ayahnya yang tak pernah mengurusi hidupnya. Kali ini, dapat kukatakan bahwa aku yang harus belajar dari besarnya jiwa anakku. Aku yang selalu menyimpan rasa dendam di lubuk hatiku terdalam, harus mau mengakui rasa malu ini. Aku tidak  pernah mengajarkan anakku untuk berluas hati memaafkan kesalahan Ayahnya, tapi dia telah lebih dulu mengajari dirinya untuk melakukan kebaikan itu. Nikmat mana lagi yang harus kudustai, Tuhan telah berikan semuanya termasuk kebaikan dari sifat anakku.

“Uruslah dia, Nak! Berilah dia tempat yang layak. Ibu merestuimu.”

Aruna menghambur memelukku. Dan tangis pun pecah seketika.

Aruna berbahagia telah menemukan apa yang dicarinya.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan