seorang-pendosa-asu-mabuk

Asu!

Hampir satu minggu hidung saya mampet, napas tersenggal-senggal bukan main. Sungguh tak nyaman. Kata dokter, saya terserang pilek sebab saya menghardik hujan dan angin yang kemarin lusa datang usai kemarau panjang. Ya mau bagaimana lagi, posisi saya sedang tidak butuh hujan kala itu; saya mau pulang ingin menjenguk rindu di rumah. Meski rindu yang saya datangi pernah bilang, “Menghardik hujan adalah dosa besar, bisa kuwalat nanti.” Sejak kecil, ibu tidak pernah melarang, apalagi memarahi saya ketika sedang mandi hujan. Saat hujan datang, saya justru diminta untuk menyambutnya, menghidangkan puji-pujian dan doa.

Kondisi yang sedang payah seperti ini, membuat tugas-tugas kuliah dan jadwal ngopi menjadi berantakan. Saya lebih memilih tiduran di kamar dengan membaca buku dongeng Srimenanti-nya Jokpin. Burung biru yang berkeliaran di kepala perempuan itu, kini hinggap di ternit kamar saya. Saya heran, ini burung, kok, bisa hinggap dengan cara terbalik, seperti kelelawar saja.

“Suatu saat ideologi akan berbenturan dengan realitas. Pada saat itu pula hidup kita akan menjadi paradoks dan serba jungkir balik.” Kicau burung biru dengan tatapan mendelik.

Burung biru itu memang cerewet. Barangkali Jack Dorsey mendesain platform media sosial twitter dengan simbol burung biru sebab terinspirasi dari burung birunya Jokpin yang melulu berputar di dalam kepala seorang perempuan yang bernama Srimenanti. Namun, meski sama cerewetnya, saya pikir lebih menguntungkan untuk memelihara burung birunya Srimenanti daripada burung birunya Jack Dorsey. Saya beberapa kali memergoki Srimenanti berbicara dengan burung itu, dialog dua arah yang bertaburan statement-statement indah, kemudian ia akan kembali melukis. Saya menyimpulkan kalau Srimenanti, dalam suatu waktu, mendapatkan inspirasi warna dan corak lukisannya ya dari burung biru yang berputar di dalam kepalanya itu. Sedangkan burung biru Jack Dorsey hanya bisa bertanya, What on your mind? dan kadang-kadang, dalam versi lain, Apa yang sedang terjadi? Hari-hari seperti sekarang ini, saya sedang tidak butuh-butuh amat terhadap pertanyaan. Saya hanya butuh calon tulisan agar saya bisa makan.

Pada suatu pasrah (untuk tidak menyebutnya putus asa) setibanya sampai kos, usai dramaturgi menjenguk rindu di rumah, Sinai mengutarakan ingin bertemu di angkringan dekat kampus. Saya berharap ia berencana membawa kabar baik bahwa honor tulisan saya yang terbit minggu lalu, telah turun. Saat ini saya sedang menunggunya bersama dua kawan, kopi dan lapar.

Sinai adalah mahasiswa yang sedang magang di kantor Koran Sastra kenamaan. Beruntungnya, ia ditempatkan di tim redaktur penjaga gawang cerpen, jadi tukang bersih-bersih ejaan yang bertaburan. Justru saya yang lebih beruntung sebenarnya, sebab setelah Sinai magang di sana, saya lebih mudah melepaskan tulisan-tulisan yang saya kirimkan seperti babi-babi, dengan kepulangan membawa uang makan dan kegembiraan.

“Tuan Penyair, jangan berkata-kata, aku hanya butuh didengarkan.” Tukas Sinai sesudah sampai di depan saya dan sebelum duduk di kursinya.

Baik, saya akan diam, mendengarkan dengan khidmat.

“Aku bertengkar dengan pacarku, Tuan. Kami berdebat panjang tentang jawaban yang seharusnya menyambut pertanyaan, Mau makan apa? itu bukanlah Terserah tapi pernyataan yang melahirkan pengambilan sikap,”

Masih mending ia tidak bertengkar dengan lapar tentang siapa yang seharusnya lebih dulu sampai di angkringan.

“Aku bisa menerima jawaban Terserah nya dia, asalkan ketika aku berhenti di depan warung, di tiap-tiap warung, tidak melulu protes untuk nyari warung yang lain. Kan, sama artinya kalau jawaban Terserah nya dia bukan sebuah jawaban Terserah yang penuh ketulusan.”

“Terserah,” Batin saya berseloroh.

“Jika kita melihat semantiknya dari kata Terserah, seharusnya mengartikan sebuah sikap yang semeleh, tulus, tidak berharap apa-apa, tidak berkeinginan apa-apa. Tapi kalau ada, ya bersyukur. Kalau tidak ada, tidak apa-apa. Kan, gitu”

Mahasiswa ilmu komunikasi dan bahasa sedang bersabda.

“Aku kapok berdebat sama dia, Sur. Nggak ada habisnya. Selalu melontarkan pertanyaan yang sebenarnya nggak nyambung.”

Saya tercekat. Teringat sesuatu. Sebentar, saya cari dulu, di mana letak ingatan itu.

“Paling banyak yang dia tanyakan adalah soal, Pekamu kapan, sih? Memangnya sejak kapan persoalan mau makan apa berhubungan dengan kepekaan. Kan aneh.”

Sejak semuanya memiliki kepentingan masing-masing. Kepentingan saya kesini untuk mendengarkanmu bercerita, kepentinganmu kesini untuk bercerita dan mentraktir saya makan. Gitu aja nggak paham.

Saya beranjak dari kebekuan tempat duduk, mengelus pundaknya dan menepuk perlahan, berulang kali. Saya mengatakan sesuatu tentang fakta yang saya temukan di buku ceritanya Jokpin dan konspirasi lambang twitter milik Jack Dorsey. Keduanya adalah burung biru yang lucu. Bedanya, yang pertama sungguh cerewet dengan pernyataan-pernyataan apik, yang kedua juga cerewet sebenarnya, tapi hanya bisa bertanya. Menjawab dengan pertanyaan, membantah dengan pertanyaan, bahkan menghina dengan pertanyaan.

“Jangan-jangan kedua burung itu berbeda jenis, sehingga punya perbedaan yang kontras,” Tanggap Sinai meragukan.

“Secara bentuk dan warna, mereka sama persis. Saya yakin itu burung dari ras yang sama.”

“Signifikansinya adalah,” Lanjut saya, “Burung Srimenanti menjadi burung yang memiliki Tuan, memiliki tempat pulang. Namanya tempat pulang itu rumah. Tidak disebut rumah bila tak nyaman. Ketika seisi rumah ini sudah membuat nyaman, entah untuk bercerita, menangis mapun tertawa, sudah tak butuh sesuatu yang berada di luar rumah. Buat apa? Tidak ada.” Rokok terakhir saya pun sudah habis. Saya baru mendapati bagaimana rasanya menjadi miskin yang kaffah.

“Sedangkan burung Jack Dorsey adalah burung yang nggak jelas siapa pemiliknya. Hampir setiap orang yang memiliki minat berselancar di jejaring twitter, bisa saya pastikan mereka punya akses untuk mengenali burung biru itu. Burung itu melulu bertanya, ‘Apa yang kamu pikirkan?’ sebab dia tak mengenali pemiliknya. Dia bertanya seperti itu agar memiliki topik obrolan yang pada waktu itu, adalah yang sedang dibutuhkan oleh siapapun yang menemuinya. Saya sangat tidak butuh pertanyaan semacam itu ketika jalan bareng sama pacar, lho, Sin. Sebab saya tahu apa yang dipikirkan pacar saya karena dia mengatakannya kepada saya.” Selesai. Air liur saya sudah habis. Kerongkongan menjadi lebih gersang dibanding padang pasir.

“Jadi, maksudmu Laras selingkuh?”

“Itu bukan kesimpulan yang saya bikin.”

Sinai melipat kedua tangannya di depan, memandang jauh ke meja kosong. Saya menjadi khawatir, jangan-jangan sebab penjelasan saya barusan, Sinai justru memiliki motivasi untuk melabrak Laras, pacarnya itu.

Pada suatu lapar yang mencekik perut di malam hari sebab Sinai sore tadi tak hanya membuat saya kerepotan dan banyak bicara, juga membuat perut saya semakin melilit; dengan tidak memesan apapun hingga kami pulang ke kos dan rumah masing-masing. Asu!” Rintih saya di tepi kasur.

Sinai memberikan kabar melalui WhatsApp tentang pertemuan dan pelukan terakhirnya dengan pacarnya, usai bertemu dengan saya. Entah apa yang ada di kepalanya, sebetulnya juga saya tidak peduli, saya justru merasa kasihan dengan Laras yang setahu saya adalah perempuan yang baik, tidak banyak tingkah, dan cantik. Memangnya selain itu, apa yang dicari seorang laki-laki di muka bumi?

Malam sudah larut sekali, tapi kali ini perut saya menolak berkompromi. Saya tidak pernah mendengar kematian sebab kelaparan. Kalau gizi buruk, bisa jadi. Dan bagaimana saya mampu membayangkan tubuh ringkih tersungkur di kasur dengan dikelilingi mata-mata sembab penuh kasihan, belum lagi orangtua saya yang harus menitah saya ke kamar mandi. Selain sakit di dunia, mungkin di akhirat nanti saya juga masuk neraka sebab sudah merepotkan orangtua, batin saya bergidik ngeri.

Saya memutuskan untuk keluar dan mencari makan. Ini sungguhan mencari; di warung makan, sisa-sisa pinggir jalan, bahkan kalau perlu di bungkus plastik yang sudah nyaman bersemayam di tong sampah. “Jadi pemulung juga saya akhirnya,” tawa saya tak tertahankan. Saya menyusuri jalanan kota yang lengang dan sepi. Hanya beberapa motor yang masih mondar-mandir, dan tentu, angkringan yang selalu sibuk di jam-jam seperti ini.

Saya hampir putus asa, tidak ada makanan yang tersisa di pinggir jalan, apalagi di warung-warung. Di warung terakhir yang saya singgahi, saya duduk manis di terasnya. Melipat kaki dan tangan, menunggu keajaiban. Di sebrang jalan masih menyala semacam coffeeshop borjuis yang ramai dengan orang-orang berbincang. Maksud hati saya hanya ingin memandang mereka membicarakan apa, meskipun pada akhirnya memang pendengaran saya tidak menjangkau untuk tahu topik pembicaraan mereka, namun saya justru menemukan Sinai yang sedang duduk bersama perempuan, bersandingan dan dekat sekali, juga saya pikir, dengan tawa-tawa ringan itu, mereka terlihat sangan romantis. Dan yang terpenting, itu bukan perempuan yang bernama Laras. “Asu!”

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan