hands-91125__340

Bila Gerimis Merah Itu Tiba di Jantungku

Udara terasa sedemikian uzur memenuhi sesak dada seorang lelaki, ketika di hadapannya seorang perempuan terkulai lemah di atas lantai berdebu. Tenggorokan lelaki itu tercekat perih. Bergumam pun pedih. Pintu di belakangnya tertutup. Sebelum akhirnya ruangan memantulkan langkah kaki yang terburu-buru.

“Masih tak sadar jua?”

Lelaki itu menggeleng. Sedang yang bertanya tampak tak puas. Disiramkannya seember air yang diambil dari sumur belakang. Perempuan itu terbatuk-batuk—memuncratkan sisa air yang masuk. Lelaki itu mengalihkan pandang. Dalam siraman cahaya redup, wajahnya tak ingin melihat rekannya yang sedang kalap.

“Sampai kapan kau tutup mulut, Ratri?! Apa perlu aku memaksa selangkanganmu untuk sekadar menjawab keberadaan lelakimu?”

Lelaki itu menangkap kilat amarah yang begitu menyeramkan. Sebagaimana singa mencabik-cabik mangsa, begitulah kawannya menyobek pakaian yang dikenakan sang perempuan. Degup jantung lelaki itu kian tak beraturan. Darahnya mendidih. Tangannya mengepal. Namun, berhasil menghentikan gerakan kawannya padahal tinggal melucuti celana dalam dan kutang.

“Biar aku yang mengurusnya, Sam. Tak baik menyerang tanpa peroleh jawaban.”

“Kau tak ikhlas aku menyetubuhinya dulu?”

Lelaki itu menyeringai. “Buat apa memperebutkan kemaluan yang sudah berulang kali dimasuki kelamin Muzakar?”

***

            Ada nada pahit dalam kalimat Harmain ketika ia menyebut kemaluanku telah dimasuki kelamin Muzakar. Mendadak bibirku gemetar. Dadaku gejolak tak keruan. Serangkaian masa lalu yang tak mungkin terhapus dalam sewindu berkelindan begitu saja. Harmain, dalam bilangan usianya yang hendak mencapai empat puluh, rupanya masih teguh sikap soal perempuan. Padahal bisa saja ia membiarkan kawannya menyerangku habis-habisan. Namun, tak ia lakukan.

            “Sumpah setiaku pada perempuan, Ratri, adalah dengan tidak menyentuhnya sebelum memiliki ikatan yang direstui agama. Biarlah ritual persetubuhan itu tidak terjadi di antara kita kalau pada akhirnya kau beralih pria.”

            “Kau sudah gila, Harmain! Mana ada lelaki yang tak bergairah melihat perempuan telanjang di depan mata? Patutkah aku mempertanyakan kelakianmu?”

            “Kelakianku telah ternodai atas nama luka yang tak terpermanai, Ratri.”

***

            Luka yang tak terpermanai itu masih merajam pada tubuh Harmain. Pemandangan di depan seolah-olah mengolok dirinya kalau bayangan masa lampau masih belum mampu ia halau. Gerimis yang menetes tampias di jendela seakan ikut tertawa; seorang lelaki gagah takluk pada sejarah.

            Padahal perempuan di hadapannya tengah terentang tak berdaya di atas lantai. Mudah baginya menggagahi dalam sekejap. Namun, Harmain hanya memandang lekuk tubuh sang perempuan tanpa hasrat menyetubuhi. Kelakiannya sama sekali tak berdiri. Justru matanya menatap nanar pada bagian paha dan dada perempuan yang memperlihatkan luka membiru. Harmain tak yakin luka lebam itu disebabkan pukulan yang dilancarkan Samhadi beberapa waktu lalu. Ia terperanjat keheranan. Keningnya mengkerut lama. Sangat lama sampai akhirnya ia bersuara dengan bibir gemetar.

            “Sejak kapan kau merasakannya, Ratri?”

            “Bukan urusanmu.”

            Perempuan itu membuang muka. Menyembunyikan air mata.

            “Kenapa kau tak cerita, Ratri? Apa kau disiksa sejak pertama kali dengannya?”

            “Bukan urusanmu.”

            Perempuan itu masih membuang muka. Menyembunyikan air mata.

            “Kau tahu di mana lelakimu, bukan?”

            Perempuan itu menatap Harmain lekat-lekat. Air matanya terburai tanpa bisa ditahan.

            “Baiknya kau katakan sebab yang diperbuat suamimu tak bisa diterima nalar.”

***

            Lima belas tahun lalu aku dapati air mata itu. Puing-puing tangisan yang beriringan dengan suara hujan, luruh di atas pangkuan. Malam itu, sebetulnya aku bisa meneguk kemaluannya semalaman. Namun, itu bertentangan dengan naluri. Kodrat lelaki pasti bergejolak mendapati perempuan yang dicintai melepas seluruh pakaian yang dikenakan, memperlihatkan batas aurat yang selama ini dibungkus pakaian, dan ia rela menyerahkannya atas nama kasih sayang.

“Bahkan Zulaikha tak melucuti seluruh pakaiannya di hadapan Nabi Yusuf. Kau masih bersikukuh tak menyentuhku yang tak mengenakan pakaian sehelai pun?”

“Aku ingin seperti Sayyidina Ali, Ratri. Ketika beliau mendapati Fatimah dilamar Abu Bakar, sahabat terbaik Rasulullah, ia rela melepas meski hatinya teriris. Dan ketika lamaran itu ditolak Nabi, justru Umar Ibn Al-Khattab datang melamar. Sayyidina Ali kembali rida melepas sebab ia tak pantas disandingkan dengan lelaki gagah semacam Umar padahal hatinya kembali tercabik-cabik. Parahnya, ini bukan yang terakhir, sebab setelah lamaran Umar ditolak, giliran Abdurrahman bin Auf yang melamar dengan membawa seratus ekor unta. Lagi-lagi, Sayyidina Ali kembali ikhlas meski dadanya menghunjam segala perih.”

“Tapi akhirnya Sayyidina Ali menikahi Fathimah, Harmain. Kita?”

Kini, aku dapati kembali air mata itu. Pandangan matanya redup. Tak tampak seperti perempuan yang aku kenal dulu. Aku palingkan muka ke arah jendela. Tak kuasa menahan bayangan masa lalu.

***

            Tangis perempuan itu lenyap setelah gerimis berhenti melayap. Yang terganti kini nyeri di rongga dada manakala Harmain sedari tadi berdiri mematung di samping jendela besar berdebu. Tak lama kemudian, tangan kukuh lelaki itu mengelus tubuhnya. Perempuan itu mengira kalau Harmain bakal menyetubuhinya. Sayang teramat sayang. Bukan mendekap, malah tangan lelaki itu membuka kemejanya sendiri lalu membaluti tubuh Ratri. Kedua mata bening Harmain menancap dalam pandangan perempuan itu. Kian perihlah nyeri dalam dada.

            “Begitu cintakah engkau padanya sampai-sampai kau tak rela menyebut tempat persembunyian Muzakkar?”

            Ratri kembali menitikkan air mata. Detak jantungnya tak bisa membohongi diri sendiri betapa ia sesungguhnya merindukan lelaki di hadapannya itu. Berbeda dengan Ratri, justru Harmain tak mengharapkan pertemuan semacam ini. Sejak hari di mana pungguk tak bisa merengkuh bulan, ia berusaha memperpendek batas yang bernama sekat dengan cara ikhlas melepas.

            Nyaris tangannya tadi menyentuh bagian perempuan yang dipertaruhkan sampai mati. Sayangnya, dadanya gemuruh hebat. Lebih riuh dari debur ombak. Lebih pekat dari malam mencekam yang diterjang badai. Ucapan Samhadi dua hari lalu masih terngiang, betapa kawan yang dianggap saudara kandung itu berujar, kalau sang adik telah dinodai Muzakkar. Sialnya, sang adik membawa benih kelakian Muzakkar.

Lima belas tahun silam, Samhadi macam orang hina tak bertuan. Lepas berpisah dari Ratri, hidupnya teralam buruk dengan memanggul perih bertubi-tubi. Terusir dari tanah warisan orangtua, ia luntang-lantung di jalanan. Samhadilah yang menampungnya. Tentu ia punya utang budi yang dibawa sampai mati.

            Wajar jika sekarang Samhadi memintanya menikahi Rahma ketika dendam pada Muzakkar terbalas. Namun, Harmain tak sanggup. Sebab ia menganggap Rahma sebagai adik sendiri sedangkan yang menggagahi tubuh Rahma adalah lelaki yang merebut perempuan yang ia cintai. Ketika dadanya sesak mengenang semua, ia dengar langkah kaki Samhadi menyeruak ruangan. Mata lelaki itu senyalang elang. Tanpa hiraukan Ratri yang tampak gugup mendapati suasana yang berubah menegang, Samhadi menyodorkan gawai pada Harmain sedangkan Samhadi sendiri mendekati Ratri.

            Harmain tergagap melihat video penangkapan Muzakkar yang hendak memadu kasih dengan seorang perawan. Ia dihajar orang sekampung tanpa ampun. Dalam keadaan telanjang nan menahan pukulan, ia mengakui kalau aksinya itu bukan yang pertama kali. Ia mengakui telah mengencani banyak perempuan musabab sang istri yang dinikahi selama lima belas tahun tak pernah mau menyerahkan kemaluan. Muzakkar juga mengakui kalau ia ingin bersetubuh atas dasar rasa suka, bukan dengan paksa. Tak ayal selama ini ia memiliki banyak wanita. Jemari Harmain gemetar mendengar pengakuan itu. Gawai luruh dari genggaman Harmain tepat ketika Samhadi berhasil melucuti pakaian Ratri yang terakhir, sementara pakaian Samhadi sendiri sedari tadi terserak di atas ubin.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan