Cara Menafsir mimpi; Orang Gila dan Carl Gustav Jung

Seseorang pernah berbicara kepada saya tentang bagaimana dia sering mengalami fenomena aneh terkait beberapa mimpinya. Sekali waktu dia bermimpi adiknya sakit, bangun keesokan hari adiknya benar sakit. Di saat yang lain dia bermimpi seorang sahabatnya akan berulang tahun. Dan benar demikian keesokan harinya sahabatnya N berulang tahun, sementara baik dia maupun N sudah lama tidak bertemu atau mengobrol.

Baru-baru ini mimpinya adalah mengenai sahabatnya lagi. Di dalam mimpi tersebut dia melihat sahabatnya sedang sakit parah, tetapi dengan cara tertentu berusaha menyembunyikan sakitnya dari orang-orang sekitar. Selang tiga hari ada berita bahwa K baru saja meninggal dunia karena sakit. K bisa dibilang orang dekatnya walaupun seperti N, mereka hampir setahun tidak bertemu, sesekali hanya bertukar kabar lewat messenger.

Memories, Dreams, Reflections

Orang ini tidak mengada-ada. Selain yang saya sebutkan di atas, dia masih punya banyak mimpi yang sejenis dengan yang sudah dia ceritakan kepada saya. Karena berpikir bahwa saya tidak perlu mengguruinya, saya memberi dia sebuah buku. Penulisnya Carl Jung. Baca ini, kata saya, semoga kau temukan jawabannya. Harapan saya dari dalam buku itu dia menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa mimpinya seperti menunjukan jika alam bawah sadarnya mengetahui terlebih dahulu sebuah kondisi sebelum kondisi itu tercipta.

Setahun kemudian kami memutuskan untuk menikah, dan saya diberitahu olehnya kalau dia tidak pernah membaca buku Carl Jung itu. Materi Jung kelewat berat baginya, belum juga lewat halaman 10 dia sudah terlampau bosan. Tidak masalah. Malah yang jadi masalah sebaliknya; mimpi-mimpi yang aneh mulai kehilangan tempat dalam tidur malamnya.

Sesekali dia memang masih memimpikan sesuatu hal. Hanya saja intensitasnya menurun. Misalnya dia pernah bermimpi melihat seorang teman sekolah dasar, keesokan hari teman yang dimaksud meminta pertemanan di facebook. Kami membicarakannya sebentar lalu melupakannya. Semakin ke sini semakin jarang,

kalaupun bermimpi isinya biasa-biasanya, hanya untuk ditawarkan menggunakan primbon. Dia bermimpi tentang ular, artinya ada laki-laki yang sedang memperhatikannya. Bermimpi tentang anak kecil, artinya sebuah rejeki akan datang. Bagus. Lama kelamaan jeda antara mimpi semakin panjang. Lama-lama pula saya menjadi khawatir. Saya khawatir istri menjadi seperti saya; jarang sekali bermimpi, sekalinya bermimpi seperti amplop kosong.

Gila dan Kegilaan

Satu pagi kami sedang duduk di beranda. Sebelum B lewat depan rumah, tidak ada yang bicara. Padahal hari masih pagi, tenaga masih utuh, tetapi tidak ada satu pun yang menyingkap bibirnya untuk sebuah percakapan keluarga. Kemudian B lewat, cengar-cengir selazimnya. Pakaiannya sudah ditempeli lumut, bahkan saya merasa melihat kutu bergerak-gerak di atasnya. Dia pasti telah begitu lama lupa caranya mandi, atau lupa bahwa dia perlu mandi, saban hari mondar-mandir dengan cara yang sama—senyum yang sama—tatap mata yang sama—irama yang sama. Seolah dia sedang hidup di satu hari yang sama.

Istri saya menyapa B, menanyakan apakah dia mau sepotong-dua potong pisang rebus di atas piring. B datang mendekat, tetapi sebelum menerima makanan sebetulnya dia menginginkan minuman. Teh! Melihat teh di dalam gelas yang belum diminum dia menginginkannya. Lebih tepatnya dia mengincarnya dari tadi. Saya tiba-tiba tertawa. Merasa lega minta ampun. Akhirnya ada yang mau bicara juga, dan itu gara-gara B. Seandainya hari ini dia absen, mungkin kami akan bubar sebelum sempat mengobrol satu sama lain.

Begitulah kami, sering duduk bertiga di beranda pagi-pagi tanpa suara. Uap mengepul dari gelas masing-masing, sarapan masih hangat, namun di saat bersamaan kami terkunci. Seperti ditotok oleh siluman. Waktu terasa mengambang di sekitar, bahkan deru sepeda motor yang lewat terasa datang dari kejauhan tertentu. Lalu sesering itu pula B datang menyelamatkan. Dalam senyumannya yang berantakan, B seolah menyadarkan kalau dialah orang gila itu. Bukan kami.

Normalitas?

Saya tidak pernah berpikir untuk mempertanyakan apa sih normalitas itu. Selain karena tidak menemukan standar untuk ‘menjadi normal’, saya kepentok dengan apa yang dimiliki istri saya.

Jauh sebelum menikah, saat itu kami semacam teman baik (satu tingkat sebelum soulmate), dia sudah bercerita banyak tentang ‘dia’. Saya menuliskan ‘dia’ merujuk pada pengalaman-pengalaman neurosis yang dialaminya. Mimpi-mimpi aneh, bayangan seekor macan putih di jendela, sesosok hitam pekat yang muncul dari sudut kamar, dorongan untuk selalu jauh dari rumah orang tua. Di masa-masa depresi dia selalu terbangun pada tengah malam karena jeritan suaranya sendiri. Baik di dalam mimpi maupun dalam kondisi setengah tidur (sleep paralysis) bayangan hitam atau sosok macan putih muncul ke depan matanya.

Pengalaman-pengalaman ini walaupun tidak mengganggunya (kecuali kualitas tidurnya), dimana dia secara sadar mengakui adanya gejala psikosis, telah mengikutinya hampir sepanjang hidup. Dia lupa kapan tepat awal mulainya. Melalui obrolan-obrolan ini, saya melihat masa kecilnya. Ternyata pahit dan tidak terelakan. Neurosisnya berakar ke sana. Kami sepakat bahwa walaupun detail cerita masa kecilnya akan menjadi rahasia kami berdua, pengalaman neurosisnya bisa terjadi sebagai bentuk dari represi terhadap luka dan kekecewaan masa lalu.

Apa yang dimiliki istri saya tidak serta merta membuat saya berpikir dia tidak normal. Satu dua kali dia mencandai dirinya sendiri; saya kelainan mental kali ya! Kami akan tertawa, justru karena merasa baik-baik saja. Seseorang bisa gila sewaktu-waktu, dan jika sewaktu-waktu dia mendadak gila tidak lantas menjadikannya tidak normal. Itu normal malah. Begitu pula B yang gila itu, sewaktu-waktu dia normal untuk hal tertentu. Suatu kali saya menawarinya rokok kretek. Harganya hanya tujuh ribuan. B lantas menertawai saya, sambil berseloroh mengatakan masih muda tuh isapnya filter, masa kretek?

Rutinitas Mimpi

Pagi-pagi tertentu dimana kami bertiga berubah jadi patung adalah saat dimana saya berpikir istri saya akan menceritakan mimpinya yang sudah jarang. Biasanya bangun dari tidur dia langsung celetuk; kayaknya semalam saya mimpi sesuatu deh. Adrenalin saya langsung aktif mendengar itu. Saya akan membuatkan minuman, dia membuatkan sarapan, anak kami menunggu di beranda sebagai bos. Jika semua telah siap, kami duduk terdiam. Saya menunggu istri saya memulai bercerita.

Istri saya sedang mengingat-ingat apa tepatnya mimpi semalam. Anak kami sibuk menghalau uap di atas gelas minumannya. Di saat-saat yang segenting ini, jika B muncul, maka selesai sudah sihirnya. Kehidupan mencair kembali. Istri saya melupakan mimpinya, dan saya memakluminya. Tetapi diam-diam saya berharap dia akan segera bermimpi lagi. Mimpi yang aneh dimana keesokan hari gambaran yang sama akan menemukan realitasnya.

baca juga: Dua Buku Milan Kundera 

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan