20210418_100113_0000

Cerita Kami

Aku menutup novel terakhirku siang ini. Bak di negeri dongeng! Seorang gadis biasa yang dipersunting pangeran tampan dan mapan. Sekali lagi otakku terhasut dengan kisah konyol seperti ini. Tapi entah mengapa aku sangat tertarik dan kecanduan untuk kembali membaca novel semacam ini. Setelah membacanya aku yakin imajinasiku akan menggila dengan liar dan cepat.

Adakah pangeran setampan Asensio? Sekeren David Beckham? Mat Hummels? Atau selembut oppa Kim Jong Dae? Yang datang..

Astaga… aku mulai menggila! Hentikan ini! Mana ada laki-laki sesempurna drama korea di real life!! Eh, sebenarnya bukan itu masalahnya, tapi apa ada laki-laki tampan yang mau denganku! Ck

Dari sudut rak buku koleksi novel, aku melihat tiga novel berjajar tidak rapi yang semalam sudah ku rampungkan. Novel bergenre fantasy karya Rick Riordan dengan kisah demigod ganteng dan berani yang melawan para titan. Meski aku lebih menyukai aksi Zeus dan Jason namun aku tetap enjoy karena Opa Rick lebih memilih Percy sebagai pemain utamanya.  Sungguh novel yang sangat luar biasa.

Aku kembali melirik laptop yang sempat kuanggurkan sedari pagi. Cerita yang tak kunjung kuselesaikan dan stagnan hanya sampai setengah halaman. Aku masih kesulitan membangun kalimat dengan menarik, selain itu kosakata ku pun masih sangat sedikit. Mungkin ini ujian bagi newbie seperti ku. Hufffttt!

Semburat jingga dari planet mars mulai terlihat jelas. Bagaimana jika Phobos dan Deimos terbangun? Mereka pasti akan membantu Mars untuk mendeklarasikan perang. Atau pluto yang kembali membelot karena merasa tertekan?

Kubaringkan tubuhku, merenggangkan otot-otot tubuh, melepas kaca mata minus yang kian bertambah. Kuangkat kaki dan sandarkan di dinding tepat di bawah wall sticker milky way yang aku pasang sebulan yang lalu. Ralat! Bukan aku yang memasang, namun Revan.

Sial! Aku lupa jika harus menjemput Revan. Jika terlambat sedetik saja aku yakin suara cemprengnya akan semakin memperburuk mood ku hari ini.

Revan. Nama panjangnya Yudhistira Revan. Nama beken yang kusematkan padanya adalah ‘Revan si ngiung-ngiung’. Aku tidak akan menceritakan panjang lebar mengenai kehidupannya yang bagiku sungguh tidak penting. Hanya saja keterlibatannya adalah jika suaranya selalu membuyarkan imajinasi yang telah aku bangun dari awal. Mungkin bagi sebagian penulis kondang akan sangat mudah menulis dalam berbagai keadaan, namun berbeda denganku yang sangat terganggu jika siapapun mendekat apalagi berisik.

“Lakustris17?” Saat aku mengulang perkataannya semalam.

“L besar.” Jawabnya santai. Ia masih menikmati singkong rebus. Tidak ada raut menyesal dari wajahnya.

Password macam apa yang adik ku ini sematkan pada laptopnya, ya Allah.

Katanya itu adalah sedimentasi yang diendapkan di danau, masih banyak lagi. Limnis, marine, fluvial. Oke fix aku sudah muak. Setelah ia membuat laptopku hang akhirnya kuputuskan untuk mensabotase laptop baru miliknya yang ku akui lebih canggih dan rumit.

Alasan utamanya adalah karena aku gaptek dan sangat cupu. Bahkan Revan selalu mencibir ku yang katanya waktu pembagian “jiwa keren” dari Yang Maha Kuasa, namaku dicoret dari daftar. Ini gila! Beraninya dia menggunakan itu sebagai candaan. Hanya satu yang sering aku tanyakan kepada ibu, apakah benar aku ini anak kandungnya? Aku meringis, meski tidak ada niatan melampaui batas mengajukan pertanyaan semacam itu. Bagaiman pun juga aku sama sekali tidak menarik, kelihatannya. Sementara Revan dia selalu manjadi idola bahkan sedari SD hingga sekarang. Ia juga merupakan atlet idola wanita, sementara aku seorang wanita kecil yang hanya bisa berangan-angan.

Usia bagai tak berjarak karena selisih kami hanya sebelas bulan. Iya! Kami lahir di tahun yang sama, aku tak paham mengapa di usiaku yang belum genap setahun tetapi harus menerima takdir memiliki adik yang super menyebalkan. Oh Tuhan apa kesalahku di masa lalu???

Lalu apalah aku hanya diam atas tingkah polah nya? Sayangnya iya karena dia mempunyai banyak kartu AS ku. Sial!! Dua kejadian ini lah yang dijadikan senjata oleh Revan. Seperti waktu kami masih sekolah dasar, saat itu aku masuk kelas dua dan Revan kelas satu. Kelas ku persis di depan kelasnya. Waktu upacara pun begitu kelas kami bersebelahan, jadi apapun yang terjadi padaku sudah pasti Revan akan mengetahuinya.

Aku tidak bisa menahannya lagi! Wajah pucat keringat bercucuran. Sahur tadi aku meminum lima gelas air putih sekaligus. Pikirku itu akan membuat kerongkongan aman selama puasa. Ternyata petaka justru datang. Aku mengompol di tengah pelajaran dan menangis sejadi-jadinya, aku sangat malu. Kenapa aku tidak ijin ke toilet saja? Mana berani! Sudah ku katakan aku adalah orang yang paling cupu masa itu. Bicara dengan orang lain saja membuatku gugup.

Yang kedua ketika tengah malam. Bodoh nya pintu kamar kubiarkan terbuka, hingga Revan bisa seenaknya masuk. Entah apa yang ada dimimpi ku, aku memanggil-manggil nama “Kevin”. Masalahnya ia adalah kapten tim basket Revan, hampir semua cewek di sekolah menyukainya termasuk aku.

‘Kevinnn… Sarangheyo jangan pergi tinggalkan akuuu… kenapa kamu sama sekali ga peka sih sama perasaan aku.. HUHU

“Kalo Mbak gamau ngerjain tugas matematika ku, aku sebarkan rekaman ini” katanya sambil terbahak-bahak melihat wajah tertekan ku. Itu adalah ancaman kesekiannya yang membuatku memicingkan mata.

Aneh, beberapa hari kemarin aku hanya bermimpi tentang Oppa Lee Dong Wook, dan Kim Jong. Namun kenapa aku menyebut nama Kevin? Aku menghembuskan napas berat, mau bagaimana pun rekaman itu tetap akan menjadi pengancam harga diri ku.

Lamunanku buyar ketika Ibu memanggilku untuk segera berangkat menjemput Revan karena motornya tiba-tiba macet di jalan,

Mungkin itu balasan atas perbuatannya selama ini…

Aku segera menunggang motor matic yang terparkir di garasi.

Di jalan, mataku tertuju pada sebuah bangunan tua. Aku melihatnya sekilas karena aku harus fokus berkendara. Bangunan dengan gaya gothic dipadu dua menara berbentuk bundar, nuansa seram namun gagah menyajikan kesan yang menakjubkan.

Holstentor?

Tentu saja bukan!

Itu hanya angan-angan ku saja. Ini bukan di Lubeck dan aku pun tidak sedang menikmati keindahan benteng tua di negara Adolf Hitler itu. Sungguh aku hanya berimajinasi. Kali ini aku mencoba memberikan efek kebarat-baratan untuk melanjutkan cerita yang masih sangat mentah.

“Sini biar aku saja yang di depan, Mbak jangan buka helm ya nanti.”

“Kenapa? Kamu malu dikira pacaran ama Mbak?” mataku melotot.

“Hehe… ya ga salah..” dia tertawa sambil mengambil kemudi motor. Dalam hati ingin sekali aku menyentil ginjalnya.

Kami tertawa bersama membayangkan keseharian kami yang selalu mengibarkan bendera perang. Seperti kata pepatah, ‘kalau belum ada peperangan bukan saudara namanya.’ Haha. Entah pepatah dari mana.

 #april_mop #monthly_challlenge

, ,

12 tanggapan ke Cerita Kami

  1. 103475213261515675278 20 April 2021 pada 17:37 #

    Ceritanya ringan mantap

    • Gilangmayang 21 April 2021 pada 08:02 #

      Terimakasih 🤩🙏

  2. 106483405165712194339 19 April 2021 pada 22:44 #

    Wowww wowww wowwwwww bangettt 😀

    • Gilangmayang 20 April 2021 pada 07:54 #

      Terimakasih 🤩🙏

  3. 105786494936423606736 19 April 2021 pada 21:19 #

    Ditunggu part 2 nya biar ga makin penasaran kk

    • Gilangmayang 20 April 2021 pada 07:53 #

      Hehe 🙏🤩

  4. 107931199967079077171 19 April 2021 pada 18:49 #

    Mantap sekali kak gilang 👏👏

    • Gilangmayang 19 April 2021 pada 19:18 #

      Terimakasih 🤩🙏

  5. Kacangtelur 19 April 2021 pada 18:48 #

    Uhuy, Kevin oh Kevin hahaha

    • Gilangmayang 19 April 2021 pada 19:17 #

      😂😂🙏🙏

  6. 105998488654064980138 19 April 2021 pada 18:40 #

    Wah, bagus banget cerita nya, semoga ada part 2 nya ya – Krisna

    • Gilangmayang 19 April 2021 pada 19:17 #

      Terimakasih 🙏🤩

Tinggalkan Balasan