keret

Di Jalanan

cerpen oleh Etgar Keret

 

Tiga hari setelah jam malam dicabut, tampak jelas tak satu pun yang berencana keluar rumah. Karena alasan-alasan tertentu, orang lebih suka mendekam di dalam rumah, sendirian atau bersama keluarga, sederhananya merasa lebih baik menarik diri dari orang lain. Setelah sekian lama di dalam rumah orang-orang menjadi terbiasa: tidak berangkat kerja, tidak ke mall, tidak ngopi dengan teman, tidak menerima sebuah pelukan tak terduga dan tidak diinginkan di jalanan dari seseorang yang kau kenal kenal di kelas Yoga.

Pihak penguasa memberi beberapa hari lagi untuk menyesuaikan diri, namun ketika segala sesuatu kelihatan tidak berubah, maka tidak ada pilihan lain. Polisi dan tentara mulai menggedor pintu dan menyuruh orang keluar.

Setelah terkurung selama 120 hari, tidak selalu mudah bagimu untuk mengingat apa persisnya pekerjaanmu. Bukan berarti kau tidak mencoba mengingatnya. Yang pasti ada hubungan dengan sekelompok orang edan yang bermasalah dengan kekuasaan. Apakah itu, sekolah? Atau penjara? Kau punya ingatan samar ketika seorang bocah kurus yang baru saja menumbuhkan kumisnya melemparimu dengan batu. Apakah kau pekerja sosial di sebuah panti asuhan?

Seratus dua puluh hari telah berlalu sejak terakhir kali seseorang menyentuhmu.

Kau berdiri di trotoar depan rumahmu, lalu tentara yang menyuruhmu keluar memberi sinyal untuk maju. Kau melangkah. Tetapi kau tidak yakin ke mana arahmu. Kau telusuri ponsel, mencari tahu barangkali ada sesuatu yang  bisa menjelaskan ini semua. Janji temu yang terlewat, panggilan yang tidak terjawab, catatan alamat di memo. Di jalan orang-orang bergegas melewatimu, beberapa di antaranya tampak panik. Sama sepertimu, mereka juga tidak tahu harus kemana. Bahkan jika ada tujuan pun mereka tidak tahu cara untuk ke sana atau melakukan apa selama perjalanan.

Kau kebelet pengen rokok, tetapi rokomu tertinggal di rumah. Begitu tentara menerobos masuk sambil berteriak menyuruh pergi, kau hampir tidak punya waktu untuk mengambil kunci dan dompetmu, bahkan lupa pada kaca mata hitammu. Bisa saja kau kembali ke dalam, tetapi tentara masih di sana, menggedor pintu rumah tetangga dengan tidak sabar. Kau akhirnya menuju kios di pojokan lalu menyadari cuma tersisa koin lima shekel di dalam dompet. Seorang pria jangkung, masih muda tapi bau keringat, merenggut kembali bungkus rokok dari tangan anda: ”Saya simpan di sini untukmu.” Saat kau bertanya apakah boleh bayar pakai kartu kredit atau tidak, dia menyeringai seolah kau sedang bercanda. Tangannya menyentuh tanganmu ketika dia mengambil kembali rokok, berbulu, mirip tikus. Seratus dua puluh hari telah berlalu sejak terakhir kali seseorang menyentuhmu.

Jantungmu berdebar, udara bersiul melewati paru-parumu, dan kau tidak yakin bakal berhasil. Di dekat ATM duduk seorang pengemis lusuh, cangkir timah di sampingnya. Setidaknya kau telah paham menangani situasi semacam ini. Kau melesat melewatinya, dan begitu mendengar dia mengatakan dengan suara parau kalau dia belum makan apa pun dalam dua hari terakhir ini, kau langsung menoleh ke arah lain, menghindari matanya layaknya seorang ahli. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sebagaimana mengendarai sepeda: tubuh mengingat segalanya, dan hatimu yang melembut dalam kesendirian akan kembali mengeras dalam waktu singkat.

 

Etgar Keret adalah penulis Israel terkemuka saat ini.

Diterjemahkan dari: A short story from The New York Times Magazine’s Decameron Project. Translated by Jessica Cohen from the Hebrew 

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan