images

Hujan Pertama Bulan Desember di Biara

Pagi merupakan kebencian yang paling hakiki dari semua penghuni biara. Sekalipun semalam begadang karena berbagai tugas kuliah yang menumpuk, pagi tetaplah pagi yang memaksa semua penghuni biara untuk tunduk pada sebuah benda yang hanya tahu berbunyi panjang, memekakkan gendang telinga. Sebab pagi, seisi penghuni biara mesti menyapa Dia yang dengan setia menjaga Sinagoga.

**

Aku terjaga dari mimpi manisku. Mimpi tentang seseorang yang aku cintai. Kalau mengingat kembali tentang semua hal yang ada di dalam mimpi itu, rasa-rasanya aku mau tidur selamanya agar tetap bersamanya, sekalipun itu maya.

Kuusap mataku dan berusaha tuk melihat waktu. Pukul 3.45 pagi.

“Ah, sial. Ini masih terlalu dini. Gila!”, gerutuku dalam kesendirian. Aku mencaci maki sesuatu yang telah membangunkanku. Entah itu mimpi yang telah enggan tuk kuusai atau pun bunyi-bunyian yang sulit kutebak dari mana datangnya.

Kurebahkan kembali tubuh di atas kasur empukku. Memejamkan mata, mencoba tuk mengais kembali mimpi yang telah sirna sebelumnya. Tetapi, rasanya sulit. Aku tak bisa lagi memejamkan mata. Mataku sudah terlanjur terjaga. Mimpi-mimpi pun sirna ditelan waktu dan semakin menjauh entah ke mana.

Pukul 4.00 WITA pagi. Di luar hujan begitu derasnya mengguyur bumi. Kucoba menghitung titik-titiknya yang begitu besar berdentang di atap biara. Namun, itu pekerjan sia-sia. Kupikir itu akan membantuku menjadi bosan agar dapat merasa kantuk lagi. Akan tetapi, justru konsentrasiku semakin dipacu menghitung titik-titiknya.

Waktu terus berputar hingga tiba pada dentingan lonceng di samping kapela biara. Lonceng pertanda waktu istirahat malam telah usai. Aku bergegas dari tempat pembaringan dan segera membasuh muka tuk bertemu Dia di kapela. Di kapela, setiap pagi penghuni biara berkeluh kesah. Entah bersyukur, berharap, kecewa, atau pun sekedar menyambung kembali mimpi-mimpi yang sempat hadir dalam tidur panjang semalam. Di kapela, penghuni biara merapal doa dengan khusuknya.

***

Tanpa basa-basi, langsung mempersiapkan diri untuk segera menepi sejenak dalam keheningan di kapela. Di kapela, sepi adalah hal paling kucari sebab di sana masing-masing penghuni biara sedang asyik khusuk berdialog dengan sepi. Pembimbing kami pernah berujar bahwa dalam sunyi Dia akan hadir menyapamu meski sejenak.

Kujejaki lorong-lorong biara. Sunyi. Tak ada yang berdesik selain hujan yang masih setia menyirami bumi. Titik-titiknya terdengar seperti simponi sendu yang menghantar orang pada mimpi yang tak pernah dibayangkan. Dan boleh jadi mimpi itu akan menjadi mimpi terindah seumur hidup seseorang. Sebagian penghuni biara sedang menikmati itu sebab ketika kutengok ke kapela melalui jendela kamarku, rasa-rasanya belum ada satu pun yang sudah hadir di sana. Kebetulan kamarku, letaknya tak jauh amat dari kapela. Ya, sekitar lima langkah kaki saja.

Aku mulai mengetok pintu-pintu kamar di sepanjang lorong biara, mencoba untuk membangunkan mereka. Ada yang menyahut, tapi sebentar saja. Lalu sunyi. Beberapa orang menjawab dengan suara yang parau dan tidak jelas maksudnya. Mungkin sahutan itu merupakan sepenggal kisah yang dirajut dalam mimpi-mimpi mereka. Selanjutnya karena tak ada yang keluar dari kamar, aku memutuskan pergi ke kapela lebih dahulu.

***

Hujan masih turun. Bumi basah kuyub dibuatnya. Aku pun mulai mempersiapkan segala sesuatu di kapela untuk keperluan misa. Ketika sudah diatur sedemikian rupa, yang terakhir kunyalakan lilin-lilin. Selanjutnya, mulai merapal doa dalam keheningan, sendiri.

Setelah sebentar berdoa, kutengok ke arah dinding pojok kapela, waktu menunjukkan pukul 05.00 WITA. Satu-satu penghuni biara mulai datang. Namun, hingga waktu doa pagi bersama mulai belum semuanya datang. Doa tetap dilaksanakan. Sebagaimana yang tertera dalam aturan, bahwa pukul 05.15 WITA ialah doa pagi. Kami hanya tiga orang dalam kapela itu dan ditambah pembina yang kebetulan masuk sedikit terlambat, empat orang. seusai doa pagi, dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi bersama. Akan tetapi, jumlah penghuni biara dalam kapela masih sama. Pater pembina pun mulai menunjukkan muka geram. Beliau menyuruh kami untuk membangunkan semua yang masih nyenyak. Ketika semuanya sudah bangun dan berkumpul di kapela, misa pun dimulai.

“Marilah kita awali perayaan ini dengan terlebih dahulu menyadari segala kelalaian, kelemahan, kebobrokan dan dosa-dosa kita, terutama dosa kemalasan yang selalu menggeroti diri kita untuk berdoa di pagi hari”.

“Saya mengaku . . .”.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan