Menggas Pendidikan Untuk Indonesia

Ide untuk Masa Depan Pendidikan Indonesia

Membincangkan pendidikan  Indonesia ibarat seperti mengurai benang yang sudah ruwet. Bukan hanya perlu kesabaran, tapi juga terasa seperti mustahil. Akan tetapi, betapapun kompleksnya persoalan pendidikan di Indonesia, rasanya kita tak pantas pesimis.

Rasa optimisme pemerhati pendidikan di Indonesia dituangkan dalam bentuk tulisan oleh ratusan penulis dari berbagai kalangan. Ada dari kalangan dosen, ada guru, mahasiswa, peminat pendidikan, sampai dengan praktisi pendidikan. Mereka ikut menulis, menuangkan wacana dan idenya untuk pendidikan indonesia yang lebih baik. Di buku berjudul Menggagas Pendidikan Untuk Indonesia (2017) terpilih 25 tulisan yang berisi refleksi, sampai dengan pemikiran kritis, serta solusi bagi persoalan pendidikan di Indonesia.

Ide Pendidikan Indonesia

Buku terbitan kanisius ini dibuka dengan tulisan dari Muhammad Takdir Ilahi yang mencoba menuangkan idenya mengenai perlunya mengembangkan pendidikan cinta damai. Menurutnya, pendidikan cinta damai perlu dikembangkan semenjak usia dini. Ia menilai bahwa tawuran dan konflik kekerasan yang merajalela ini, akibat minimnya pendidikan cinta damai (h.4-5).

Di tulisan Meyer Sihotang juga dituangkan ide bagaimana merumuskan kurikulum berbasis problem solving (mengatasi masalah). Artinya, sekolah harus didesain untuk melatih serta membiasakan peserta didiknya dihadapkan kepada masalah-masalah. Semakin anak-anak atau murid-murid diberi persoalan, mereka semakin mampu untuk menghadapi realitas yang kompleks.

menggagas-pendidikan-di-indonesia

Judul buku : Menggagas Pendidikan Untuk Indonesia Penulis : Muhammad Takdir Ilahi, dkk Penerbit : Kanisius Tahun : 2017 Halaman : 196 Halaman ISBN : 978-979-21-5158-9

Kita (pembaca) juga diajak menekuri gagasan Andi.F. Gultom untuk menyoroti bagaimana menciptakan model pendidikan berbasis kesetaraan. Kesetaraan disini bukan hanya akses dana, tetapi juga setara untuk semua anak. Seringkali pendidikan kita tak memperhatikan secara serius persoalan pendidikan kesetaraan ini. Bukan hanya kesadaran masyarakat kita yang kurang, tetapi juga peran pemerintah yang minim dalam mengkampanyekan gerakan pendidikan kesetaraan. Baik kaum miskin maupun kaum difabel layak mendapat pendidikan yang baik.
Berbeda dengan Andi.F. Gultom yang menyoal kesetaraan, Dwitya Sobat mengusulkan ide sekolah museum dan pendidikan iklusi multikultur yang tak hanya mengajarkan toleransi tetapi juga mengutamakan kerukunan dan persatuan sehingga kurikulum dirancang kreatif, berkaitan dengan sosial, budaya, ekonomi, dan politik sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan nyata dan menjadi kebiasaan (h.90).

Di halaman-halaman akhir kita masih menemukan gagasan solutif dari persoalan pendidikan Indonesia yakni menggagas pendidikan welas asih. Poedji Soesila menautkan gagasan Suryomentaram dengan pendidikan kita saat ini. Menurutnya, pendidikan welas asih diartikan sebagai sikap yang tidak memihak untuk menelusuri kebenaran apa adanya sehingga kebenaran itu sendiri dapat dirasakan sendiri, dimengerti sendiri, dan diketahui sendiri (h.171).

Gagasan-gagasan yang dituangkan di buku ini memang baru merupakan konsep. Akan tetapi, dari gagasan-gagasan yang ditulis di buku ini, kita bisa merefleksikan jauh kedepan bahwa pendidikan kita tak bisa diselesaikan dengan satu solusi semata. Ada yang memandang dari sisi kurangnya persatuan. Ada yang memandang dari kurangnya pendidikan adab dan karakter, ada pula yang memandang perlunya kurikulum multikulturalisme dan inklusi.

Buku ini juga memuat refleksi kritis bagaimana pendidikan yang berawal dari buku tulis tak mendapatkan tempat atau perhatian, melalui esainya Setyaningsih menuliskan kekesalannya bagaimana buku tulis yang menyimpan biografi belajar justru sering berganti dan tak dirawat. Ada ajakan untuk merawat meski tak tersirat.

Selain itu, ada juga esai dari Sony Christian Sudarsono yang mencoba menggagas ulang konsep belajar yang juga merupakan bermain. Ia menilik dari games yang didalamnya ternyata ada konsep-konsep dan pelajaran tentang banyak hal. Tak hanya pelajaran tentang kompetisi, tapi juga strategi, belajar hidup dan mati.

Pembaca juga disuguhi tulisan bernada filsafat bertajuk Kosmopolitanisme, Akal Sehat dan Pendidikan Kita, Reza. A.A. Wattimena menegaskan di tulisannya bahwa dengan pendidikan kosmopolit yang berpijak pada akal sehat, orang diharapkan bisa berpikir lebih luas daripada sekadar mengikuti apa kata kelompok ataupun atasannya (h.140).

Gagasan di buku ini setidaknya adalah setitik harapan dari berbagai persoalan pendidikan di Indonesia. Para penulis dari berbagai kalangan telah menuangkan idenya, mereka berpengharapan pendidikan Indonesia menjadi kian maju dan berkembang. Meski masih banyak celah di sana-sini, bunga rampai ini adalah bagian dari solusi pendikan Indonesia di masa mendatang.

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan