kontribusi-islam-pada-krisis-peradaban

Islam dan Krisis Peradaban

Doktrin islam sebagai agama pembebas dan pencipta perdamaian patut kita pertanyakan relevansinya hari ini. Islam sebagai rohmat bagi alam tak bisa sepenuhnya dijelaskan dengan dalil. Dalam dialog sejarah, islam dituntut untuk selalu relevan dan aktual sepanjang zaman. Kalau kita gali lebih dalam sebenarnya bukan islam yang tak mengajarkan perdamaian. Akan tetapi, umat islam sendiri yang terjun, terjerumus kedalam lubang gelap kehidupan.

Arnold Toynbee dalam bukunya Surviving The Future (1973) menulis kita telah memilih label untuk jenis kita, bukan Homo faber, manusia si teknisi, melainkan Homo sapiens manusia bijak. Kita belum layak menyandang gelar kehormatan homo sapiens itu. Sebegitu jauh, kearifan yang kita tunjukkan dalam mengawasi diri kita dan dalam mengatur hubungan antara satu sama lain, sedikit sekali. Sekiranya kita berhasil bertahan hidup bersama revolusi teknologi sekarang ini, pada akhirnya bolehlah kita menjadi Homo sapiens dalam hakikat dan dalam nama.

Apa yang dikatakan oleh Toynbee sepertinya tepat ketika dihadapkan kondisi umat islam dunia sekarang ini. Ini bisa dilihat dari bagaimana dunia arab saat ini yang penuh dengan krisis peradaban dan konflik yang tak henti. Krisis peradaban ini bisa dilihat di Suriah, di Palestina juga di Iran. Umat islam saat ini seperti kurang memahami ayat dalam Quran yang menyiratkan bahwa umat islam adalah umat terbaik yang dilahirkan di muka bumi untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Kemajuan teknologi dan kemakmuran yang ada di dunia arab tak sepenuhnya dipahami oleh elit politik, ulama untuk mengedepankan akal sehat mereka. Mereka justru makin mengedepankan nafsu mereka untuk mengedepankan kepentingan politik ketimbang nurani mereka. Sehingga perang dan drama saling berebut kuasa justru menghiasi wajah islam di arab saat ini. Iran misalnya, dengan kekuatannya [teknologi] yang dimiliki justru menunjukkan kekuatannya tidak untuk membantu persoalan atau konflik yang ada di dunia arab.

Karen Amstrong di bukunya Islam Sejarah Singkat (2001) menulis konflik pertama diantara sesama muslim dimulai ketika adanya perang antara Aisyah dengan Ali yang sering disebut sebagai perang unta. Amstrong menulis komentar mengenai perang unta ini, adalah memalukan jika para kerabat dan sahabat Nabi saling menyerang satu sama lain, dan hal itu merupakan sesuatu yang amat tidak mengenakkan. Misi Muhammad adalah mengembangkan kesatuan di antara Muslim dan untuk memadukan ummah sehingga mencerminkan ke-Esa-an Tuhan. Ahmad Syafii Maarif di bukunya Krisis Arab dan Masa Depan Islam (2018) menulis pendapatnya mengenai perang unta atau krisis pertama islam ini. Ternyata, dimensi manusiawi dari dua tokoh ini [Ali dan Aisyah] telah mengalahkan pertimbangan agama saat digumulkan dengan masalah politik kekuasaan. Perang Unta belum memunculkan sekte-sekte dalam komunitas Muslim Arab, seperti yang kemudian berlaku akibat Perang Shiffin setahun sesudah perang Unta.

Apa yang bisa diambil dari kisah perang Shiffin yang memunculkan sekte-sekte dalam islam seperti islam sunni, islam syiah, ataupun khawarij? Pada kenyataannya, jika sekte-sekte ini saling mengedepankan konflik dan saling baku hantam, maka akibatnya bukan hanya ratusan nyawa melayang, tapi juga kemunduran dan kehancuran islam itu sendiri. Pada buku Islam Tuhan, Islam Manusia (2017) Haidar Bagir sering menampar kita bahwa sikap takfirisme [saling mengkafirkan] antara umat satu dengan yang lain adalah hal yang mestinya kita hilangkan. Takfirisme mendekatkan kita pada konflik dan merasa paling benar. Sikap ini muncul dan masih menjadi warisan umat islam dari sebuah sejarah islam yang kelam di masa lampau setelah perang Shiffin.

Padahal, bila sesama umat islam saling membantu, saling beruluran tangan, bersatu untuk kepentingan kemanusiaan dan kemajuan bangsa yang lebih besar, islam akan semakin dipandang sebagai agama terhormat. Ia memusuhi masalah-masalah kemanusiaan, ia mengentaskan kemiskinan, anti-konflik, dan menentang rezim yang korup, dan menindas. Hanya saja, cita-cita kemakmuran dan kemajuan islam yang ada di masa lampau seperti isapan jempol belaka. Mengingat sampai saat ini, krisis umat islam yang ada di timur tengah yang tak kunjung usai hingga kini. Justru diperparah dengan maraknya aksi terorisme yang membawa umat islam sendiri terjerumus dalam kubangan gelap peradaban.

Islam harus digaungkan kembali sebagai sebuah payung bagi umat manusia. Islam harus bisa menjadi pelindung bagi kaum minoritas. Islam harus menjadi agama yang mengedepankan akal sehat dan nurani yang tetap bersandar pada kitab dan sunnahnya. Jika umat islam hanya menghamba pada urusan politik dan duniawi, maka umat islam akan terpuruk dan tak mampu mewujudkan peranannya sebagai rohmat bagi seluruh alam.

Konflik yang ada di belahan dunia arab [Timur tengah] sayangnya ikut membawa pengaruh pada negeri kita sendiri. Hal ini terlihat saat ulama bahkan orang islam di Indonesia yang terperdaya dan terlena oleh godaan nafsu dunia dan butanya nurani kita. Ini dibuktikan bahwa ada umat islam di Indonesia bahkan ulama ikut berbaiat kepada ISIS. Keadaan ini justru semakin menandaskan bahwa islam masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Islam sebagai sebuah agama mestinya kembali kepada Al-quran dan menyudahi konflik yang ada di belahan dunia ini. Bukan sebaliknya malah mendukung dan bergabung pada ISIS.

Padahal di negeri kita sendiri masih banyak persoalan yang dihadapi umat islam seperti kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan yang perlu diselesaikan. Mustahil rasanya umat islam menciptakan perdamaian, kemakmuran, dan mewujudkan islam sebagai rahmatan lil alamin selama di dalam batin umat islam sendiri masih mengedepankan sekte-sekte serta terjebak dalam krisis politik identitas yang membawa pada konflik dan perang yang tak berkesudahan seperti yang ada di Arab saat ini.


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Penggiat Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah

, , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan