Jangan Pergi ke Istana, Nak!

Malika, anakku. Di usia yang tak lagi muda ini, aku berharap engkau mengurungkan niat menengok megahnya Istana. Sebab sebinal apa petinggi Chora, seluruh lekuk-tubuh pulau adalah tempat tinggal paling aman untuk ditempati.

“Mengapa aku tak boleh pergi, Bu? Bukankah kau dulu yang berkata, jika manusia mesti memiliki mimpi agar senantiasa hidup?”

Aku ingin melepasmu ke lembah-lembah gunung, Malika, sebab telah kuajarkan padamu bagaimana menjinakkan arus sungai atau menaklukkan curam juram. Tetapi pada Istana, segala ilmu dan mantra akan binasa. Bukankah telah kau temui cerita-cerita yang meluncur dari mulut orang yang menyelinap ke Istana, dan mestinya dari sana terpetik pelajaran jua? Bukankah telah kau dapati Haran yang mati di tepi pohon beringin, di mana kedua matanya dicongkel sedang ia kerap berteriak, bukan saya pelakunya! bukan saya pelakunya!. Bahkan sebelum mati, ia masih berbisik kalau bukan ia pelakunya.

Atau di lain waktu, kau meringis mengamati Maryati kencing berdiri, sedang yang meluncur bukanlah aroma pesing melainkan anyir darah. Percayalah, Malika. Kemaluan perempuan itu telah terpangkas separuh sewaktu memberanikan diri menengok pilar Istana yang konon terbuat dari emas dua puluh empat karat. Padahal di sekeliling Istana, terdapat sungai berpenghuni buaya, sampai akhirnya moncong binatang itu mengunyah separuh kemaluannya. Andai engkau paham, Malika. Itulah akibat jika seseorang berniat meninggalkan Chora yang tergiur segala cerita Istana.

“Yang menimpa Haran dan Maryati terjadi puluhan tahun silam, Bu. Saat Baginda Raja Dahoeloe berkuasa. Lagipula, Istana yang sekarang tak se-kaku tembaga.”

“Istana tak akan berubah menjadi kedai kopi, Malika, di mana para lelaki lepas mengutuk isi bumi.”

“Ah, itu hanya kelakar Ibu saja. Ini zaman sudah berbeda. Bukankah telah Ibu dapati Soraya yang berhasil meninggalkan Chora, lalu ia kembali menemuiku di tepi pulau dan ia bercerita jika penduduk Istana bergelimang kemewahan dan kebahagiaan, tetapi ia pergi lagi sebab hendak ditangkap petinggi Chora?”

Duhai, Malika, anakku. Di usia menjelang renta ini, aku ingin engkau mematuhi satu peraturan yang diikrarkan nenek moyang, yakni tak boleh meninggalkan Chora apa pun keadaannya. Sehasta kaki saja kau menyentuh pohon beringin di tepi pulau itu, selamanya kau tak bisa kembali ke Chora.

“Apakah Ibu ingin mewarisi peristiwa tujuh belas tahun silam itu padaku?”

Tergagap aku mendapati pertanyaan Malika. Tak kusangka, ia membalik perdebatan dengan mengungkit peristiwa yang aku kubur dalam-dalam.

“Aku tak mau berdiri di kuil Beltis[1], Bu. Aku tak mau putra-putra petinggi Chora hingga lelaki tak bermoral berkumpul di sana. Aku tak mau berdiri di antara para gadis yang dilelang dengan harga tinggi guna dijadikan istri sebagaimana yang Ibu rasakan. Aku ini perempuan, Bu, bukan pakaian yang diobral.”

Kuakui, adat dan tradisi yang masih berlaku di Chora benar-benar mengimpit perempuan. Bilamana usia seorang gadis telah dianggap belia sedang dua anak gunung telah dirasa ranum hangatnya, maka ia mesti berada di kuil Beltis yang disebut-sebut sebagai pasar pernikahan. Di tempat ini, bentuk mahar bukanlah emas, melainkan darah perawan menjadi syarat mutlak pelelangan. Sialnya, esok lusa adalah hari pasar pernikahan, dan Malika berada di antara tujuh puluh tujuh gadis belia itu.

“Ibu, apakah engkau menginginkan aku berdiri di antara perempuan itu, sebelum akhirnya seorang petinggi Chora menawarkan aku dengan harga selangit, lantas menjadi rebutan lelaki? Apakah engkau menginginkan uang dari hasil lelang itu? Apakah engkau menginginkan aku menyerahkan kemaluan, yang apabila selesai dicecap dan tidak timbul noda merah, aku dituduh tidak perawan seperti yang Ibu alami? Padahal perempuan bukan sebatas darah, tapi akhirnya Ibu menyerah dan merawatku seorang diri.”

***

            Malika, pada akhirnya ia berada di ambang dua pohon beringin tua di tepi pulau. Ular-ular bergelantungan. Lidahnya menjulur. Berdesis seakan hendak mematuk. Gadis belia itu tak putus asa. Ia berjalan ke arah timur. Mengamati kelokan sungai yang arusnya tak begitu deras. Mata Malika sedikit awas, sebab katanya, banyak buaya mengintai di sepanjang sungai.

       Lepas menyeberang, perjuangan Malika masih berlanjut. Kali ini, ia terseok-seok di dalam pekatnya hutan. Dalam bukit-bukit terjal. Beragam binatang jalang yang hendak menerkam ia jinakkan dengan mantra. Barulah akhirnya ia melihat sebuah ruang lapang, dan dari kejauhan, tampak sebuah tugu tinggi menjulang.

       “Itulah Istana! Tempat segala harap bertemu menjadi satu,” kata seseorang sewaktu Malika bertanya letak Istana.

            Maka, layaknya seorang pengembara yang baru saja menemukan dunia baru, Malika begitu riang menelusuri jalan-jalan. Ia terus memandang tugu yang dirasanya kian mendekat. Ia berlari-lari menuju arah Istana sembari berdecak kagum mendapati bangunan menjulang. Megah tiada lawan. Malika kian takjub mengamati lalu-lalang kendaraan. Tak seperti di Chora yang kendarannya masih berupa kuda. Hanya saja, ia merasa tersesat saat tiba di suatu wilayah yang baru saja dilanda duka.

            Baru kali ini ia menjumpai rumah-rumah porak-poranda. Mayat-mayat bergelimpangan. Namun, sekelompok orang yang memberi bantuan, malah sibuk mengambil gambar korban lantas berdakwah, jika banjir yang mereka alami adalah hukuman dari Zat Maha Kuasa atas apa yang mereka perbuat sebelumnya. Malika terkejut. Sebegitu bengiskah Tuhan yang selama ini sangat diagungkan di Chora?

            Malika yang masih bertanya-tanya, seketika meninggalkan wilayah itu dan berjalan mendekati Tugu Istana. Lima ratus meter dari gerbang, ia kembali tercekat. Sekelompok buaya yang beringas nan kejam, tampak melahap cicak-cicak yang sedang mengintai. Binatang yang merayap di jalan-jalan itu tak berdaya. Satu per satu dilumat moncong buaya yang bergerigi tajam.

            “Pergilah dari sini! Orang kecil seperti kita akan dibungkam agar tak ada lagi saksi perbuatan buaya,” kata seorang pemulung yang berlari-lari menarik gerobak. Meski tak memahami maksud lelaki itu, Malika ikut berlari ke arah timur, tapi ia memilih jalan berbeda di persimpangan depan.

Rupanya, jalan yang dipilih Malika mengantarkannya pada satu wilayah, di mana penduduknya bercekcok soal agama. Kubu kanan mengklaim agamanya paling benar, sedang kubu kiri tak mau kalah. Mereka saling mengklaim kebenaran, dan ironisnya, mereka menyebut Tuhan masing-masing kubu paling benar. Sedang Tuhan di kubu lain salah.

            Tiba-tiba, saat Malika kebingungan memandang persoalan pelik ini, seorang petinggi dari salah satu kubu menunjuk Malika yang berdiri paling belakang, dan bertanya agama apa yang ia anut. Gadis belia itu menjawab, jika agama baginya adalah ajaran Zat Maha Agung yang kini tak lagi sakral. Penyebabnya, Tuhan sedang tidur sebab kelelahan mengurus dunia yang dihuni manusia-manusia, seperti dua kubu yang merasa paling benar sendiri.

Sontak petinggi itu geram. Pendukung kedua kubu yang semula berseberang pikiran kini serempak melawan. Malika berlari menghindari amukan. Ia terus berlari. Meliuk-liuk lewati gang-gang kecil. Lewati rumah-rumah susun. Beruntung seseorang menarik lengannya dan keduanya bersembunyi di dalam gerobak sampah di mana pemiliknya tergeletak di samping jalan.

            “Soraya!” pekik Malika bahagia, tetapi Soraya lekas-lekas menutup mulut sahabatnya itu.

            “Kau hendak ke mana?”

            “Tentu aku ingin ke Istana.”

            “Ini sudah wilayah Istana.”

            “Tugu itu…”

            “Hanya simbolis baginda raja. Kalau kau bertanya Istana, ya, inilah wilayah Istana.”

         “Mengapa banyak huru-hara? Bukankah kau dulu yang cerita, jika Istana tempatnya kebahagiaan?”

            “Istana telah berubah, Malika. Segenap binatang buas telah berhasil mendudukinya, sementara rakyat sedang candu agama. Lebih baik kau hidup bersamaku, mengingat kau tengah diburu dua kubu, sedang kau tak bisa kembali ke Chora. Di sini, mereka tak lagi berani menyerbu. Malah diam-diam bertamu.”

            Saat keduanya keluar dari gerobak sampah, Soraya menunjuk satu bangunan cukup megah. Tampak dari luar hunian, perempuan-perempuan berjejer seperti berlomba-lomba mencari perhatian lelaki.

            “Ini bukan kuil Beltis, Malika. Tapi di sini, farji kita lebih dihargai daripada dilelang di depan petinggi Chora.”

            Malika tercekat. Kali ini, ia membenarkan ucapan ibunya saat pamit pergi. Perempuan, Malika, di manapun tempatnya selalu kalah jika menyangkut tubuh bagian bawah.


[1] Kuil Beltis adalah tempat pasar perkawinan pada zaman Babilonia kuno. Para perempuan dilelang dengah harga tinggi, dan darah perawan adalah syarat mutlak pelelangan.

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan