pemandangan-kali-pelem-dan-joran-pancing

Joran Rozi dan Kali Pelem

Sudah hampir lima jam lamanya Rozi memaku tubuhnya di semak-semak. Tidak nampak rasa takut sedikitpun, entah itu dengan gigitan hewan melata atau mungkin gangguan makhluk ghaib mengingat jam sudah menembus tengah malam. Luar biasa nyalinya, sekalipun pada satu malam sejenis pocong pernah melintas di hadapannya. Rozi bergeming. “Asal tidak ganggu, santai aja.” Begitu pikirnya kala itu.

Apa yang ditunggunya hingga rela berdiam diri di tengah malam di pinggir sungai yang sunyi sepi itu? Joran. Ya, Rozi menunggu jorannya melengkung ke bawah karena ditarik ikan. Rozi si pemancing akut. Tingkat kecanduannya sudah menembus level 10 untuk kategori makanan pedas dan stadium 4 untuk kategori penyakit.

Kali Pelem menjadi tempat favorit Rozi. Entahlah. Padahal kali tersebut tidak ada istimewanya. Rozi pun kerap ZONK jika memancing di sana. Tapi karena sudah begitu cintanya, saban waktu Rozi akan menyambangi kali itu. Sehari tak ke sana, Rozi akan merasa rindu. Lengkungan joran dan ikan yang menari-nari di atas kailnya menjadi obsesinya. Rozi tak pernah ingin beralih tempat, sebab dia yakin ada sesuatu yang istimewa di kali itu. “Kali Pelem itu ikannya banyak, hanya saja belum beruntung. Di sini ada ikan semacam gabus besar sekali. Aku pernah melihatnya tak sengaja waktu dia menampakan diri di permukaan.” Cerita Rozi kepada Bambang, teman mancingnya yang paling solid.

Lima jam berlalu. Suara kokok ayam mulai terdengar. Sudah hampir jam tiga subuh. Kalau ini bulan puasa, ibu-ibu sudah bangun untuk menyiapkan makan sahur. Tapi jangan salah, meski ini bukan bulan puasa beberapa mesjid telah mengumandangkan adzan awal. Mereka para muadzin, telah terbangun dari istirahat malamnya. Sementara Rozi, belum sekejap pun memejamkan mata. Jika yang dihadapi adalah joran, maka matanya ampuh untuk terjaga.

Kriling….kriling…..terdengar suara dari joran Rozi. Jorannya memang sengaja dipasangi “bel” sebagai pertanda bahwa umpannya sukses dimangsa ikan. Rozi yang tengah tenggelam dalam pikiran kosongnya, karena rasa kantuk yang mulai menyerang, kemudian tercekat. “Dapat ni!” Dia segera berlari ke arah joran. Tanpa ba bi bu langsung ditarik. Owh…mantap! Tarikannya kuat. Sepertinya ikan besar. Rozi berusaha megimbangi perlawanan ikan tersebut. “Oww…! Beratnya..!” Rozi berteriak. Luar biasa hebatnya perlawanan makhluk air tersebut. Terlihat keringat Rozi bercucuran. Nafasnya terengah-engah. Untuk sejenak dia membiarkan jorannya dimainkan manja oleh hewan tersebut.

“Wah, gak ada orang ni. Siapa yang mau bantu?” Mata Rozi berkeliling. Jam tiga pagi, mana ada orang di pinggir sungai. Pemancing yang lain pun sudah terlebih dahulu pulang sejak tengah malam tadi. Rozi memang terlalu penyabar. Bahkan sampai pagi pun apabila umpannya belum dimakan, ia akan tetap berada di pinggir kali menunggu ikan menyerah.

“Ayolah…!” Rozi teriak, kembali menarik kuat jorannya. Tarik ulur pun terjadi. Entah ikan apa yang nyangkut di kailnya, hingga Rozi hampir menyerah. Rozi semakin merasa kewalahan ketika ikan tersebut menyeret jorannya hampir ke dalam sungai. Badan Rozi hampir tercebur. Namun berkat kematangannya sebagai pemancing yang tak pernah kenal libur, Rozi kembali berhasil menyeimbangkan badannya. Dia kembali membawa tubuhnya ke tepi. Meskipun begitu perlawanan ikan tak usai. Joran Rozi terus melengkung. Menari-nari ke kiri dan ke kanan.

“Ah, sialan! Makhluk macam apa kau ini? Kuat sekali tenagamu?”

Terlihat badan Rozi terhuyung, lalu kakinya terseret ke samping kiri, searah dengan gerakan ikan yang seakan hendak membawa kabur jorannya.

“Oke, lihat perlawananku kali ini!” Rozi menarik kuat jorannya. Benar-benar kuat. Andai jorannya hanya joran abal-abal, sudah dari tadi patah.

Keringat Rozi bercucuran, kaosnya sudah tampak basah. Nafasnya terengah-engah. Tapi dia tidak menyerah begitu saja. Semakin ikan melawan semakin bertambah semangatnya.

“Tidak ada ceritanya manusia dikalahkan ikan. Akal manusia lebih sempurna. Kau tahu?!” Emosi Rozi meledak. Baru kali ini dia merasa kekesalan yang luar biasa saat menaklukan seekor ikan.

Badan Rozi merunduk ke depan, dia berusaha mengulur senar di jorannya. Kali ini dia punya taktik jitu. Dia ikuti kemana ikan bergerak, dan pada saat lengah dia akan mengangkatnya dengan cepat.

“Oke, sekarang!” Dengan kecepatan super dia segera menarik cepat jorannya ke atas. Benar saja, rupanya ikan dalam keadaan lengah tak melawan. Seekor ikan super besar terangkat dan naik di daratan.

“Waw…! Kena kau sekarang! Ikan gabus yang dulu pernah kulihat. Pantas saja perlawanannya luar biasa.”

Rozi tersenyum bahagia. Akhirnya, kali ini si raja gabus di Kali Pelem berhasil ia taklukan. Tak percuma dia menunggu semalaman bahkan hingga hampir subuh, toh hasilnya begitu memuaskan. Dan yang pasti cerita dia yang berhasil menaklukan ikan gabus super jumbo akan menjadi buah bibir para pemancing lainnya di kali itu.

“Istri dan anakku pasti senang dengan hasil tangkapanku ini. Gak ada ceritanya istriku itu ngomel-ngomel lagi kalau aku pulang subuh. Tangkapanku ini cukup buat membungkam mulutnya yang cerewet itu.” Gumam Rozi seraya mengelap butir-butir keringat yang masih tersisa.

Si raja gabus terlihat begitu besar saat berada di kantong khusus ikan. Rozi menggantungkannya di cantelan motor. Dia ingin segera tiba di rumah, sekalipun dia tahu bahwa yang akan pertama dia lihat adalah muka masam istrinya yang selalu tak suka jika Rozi memancing hingga subuh.

Cukup lima belas menit Rozi telah tiba di pekarangan rumah. Tak seperti biasanya, rumah itu kini terlihat sangat sepi. Biasanya, apabila dia pulang subuh sang istri telah membuka pintu dan jendela. Gorden rumah pun akan tampak terbuka. Tapi kini semua tertutup, pun dengan rumah adiknya yang berdampingan dengan rumahnya, sama sepinya.

“Las…Lastri..” Rozi berteriak memanggil nama istrinya. “Las…kau di mana?” Tetap saja tidak ada yang menyahut.

Rozi mencoba membuka pintu. Namun pintu itu terkunci. “Dimana mereka?” Bisiknya, dia terlihat heran.

Rozi berlari menuju rumah sang adik, “Yayuk, kau ada di rumah?” Sama saja, semua sepi tak ada jawaban.

Rozi pun mulai gelisah. Keadaan ini di luar dari kebiasaan. Untuk sejenak dia memaku. Tampak bingung.

“Mas Rozi sudah pulang?” Tanpa disadari Pak RT sudah berada di belakang Rozi.

“O…iya pak. Ini Lastri sama yang lainnya pada kemana ya barangkali Pak RT tahu?”

“Iya Mas, dari tadi kami mencoba menghubungi hape Mas Rozi. Tapi tidak diangkat. Mbak Lastri ke rumah sakit. Anak bapak, Anton, tiba-tiba kejang dan panas. Mulutnya berbusa. Kami semua sangat khawatir melihatnya.”

Mendengar penjelasan Pak RT seketika Rozi tergagap. Badannya sepenuhnya hilang daya. Kemudian dia kembali teringat akan kata-kata istrinya semalam tadi sebelum dia berangkat mancing, “tolong Mas, untuk kali ini libur dulu mancingnya. Anton terlihat kurang sehat dan badannya panas.” Namun Rozi ngeyel, dia hanya mengatakan bahwa itu hanya panas biasa mau batuk pilek.

“Sebaiknya Mas Rozi segera menyusul ke rumah sakit karena anak bapak benar-benar dalam keadaan kritis. Barusan Mbak Yayuk telepon katanya Nak Anton dalam keadaan tak sadarkan diri.”

Badan Rozi semakin lemas. Rasa bersalah dalam dirinya kini menghantuinya. Terlebih dia sadar bahwa dengan sengaja dia mematikan volume hape-nya agar tak mendengar panggilan telepon dari istrinya. Memang, dari kemarin-kemarin Lastri kerap menelepon menyuruhnya pulang apabila telah larut malam. Dan bagi Rozi, itu sangat mengganggu.

“Oh..Tuhan! maafkan aku.” Hati Rozi berteriak. Dengan sisa-sisa tenaganya dia berusaha menunggangi motor.

“Terima kasih Pak RT, saya ke rumah sakit dulu.” Pamit Rozi dengan mata berkaca-kaca.

Motor Rozi berjalan cepat, dia ingin segera tiba di rumah sakit. Memeluk anak tercintanya dan meminta maaf pada istrinya karena selama ini telah banyak mengabaikannya. Namun sebelum tiba di rumah sakit, Rozi mampir dulu ke Kali Pelem. Kali ini, bukan untuk memancing. Tapi untuk mengembalikan hasil pancingannya.

“Hey gabus, kembalilah hidup bebas di alammu. Lahirkanlah anak-anakmu sebanyak mungkin. Aku tidak membutuhkanmu.” Tanpa berat hati sedikit pun, Rozi melepas gabus jumbo yang telah susah payah ditangkapnya dengan ikhlas. Perut gabus itu tampak besar. Dia memang tengah mengandung. Gabus pun terlihat sangat senang ketika tubuh licinnya bertemu air.

Mata Rozi tak berkedip, sampai akhirnya si gabus lenyap ke dalam air.

“Kau pun rupanya harus pensiun, joran. Kali ini aku sadar, bahwa bersama anak istri lebih berarti dibanding menghabiskan banyak waktu untuk kesenangan yang sia-sia.” Begitu bisik hatinya.

Rozi menarik nafas. Dia segera memutar badan, menyalakan motor dan berlalu meninggalkan Kali Pelem.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan