perempuan-dan-rahimnya

Kamilah

“Namanya Kamilah, dan ia telah menolak kalah.”

“Maksudmu, dia seorang yang egois dan keras kepala?”

“Bukan. Dia tidak pernah dikalahkan, sejak kecil hingga dewasa kini, ia selalu menang. Seolah ia telah menolak kekalahan, begitu.”

“Apa memang benar ada manusia yang secerdas itu?”

“Mau kamu tidak percaya, kalau sudah terbukti, kamu bisa apa?”

———————–

Pagi yang sangat menggigil dan membuta, dua pasang mata sudah menyedu kopinya di sebuah warung pinggiran kota. Mereka baru saja pulang dari tugas meronda. Daripada tidur, mendingan ngopi sekalian menunggu adzan subuh, fikir mereka. Pembicaraan selalu hangat, dan lalu memanas. Sampainya, dingin yang merangkul hingga memeluk mereka dengan erat tiada terasa menggigil lagi. Pada sesi yang kesekian, mereka sedang membincangkan Kamilah, gadis menawan sejak dlohir hingga batin. Rambutnya yang panjang sebahu, lurus lalu bergelombang di ujungnya, pipinya yang ranum, lalu kacamata hitam yang tertahan oleh hidung runcingnya itu, semakin membuatnya terlihat anggun. Semua yang ada pada diri Kamilah, sudah sewajarnya meluluh-lantahkan hati para lelaki jalanan sejak pandangan pertama. Apalagi ia telah meraih suksesnya di usia yang begitu muda sebagai penulis yang menginspirasi. Ibaratnya, Kamilah adalah kado yang berbonus mobil; untung dua kali.

“Orang yang tidak bisa menulis puisi, minimal 8 baris saja, patut untuk dicurigai, apakah orang tersebut kejiwaannya normal atau tidak,” Tuturnya di depan microfon dan di depan sekian ratus audien yang hadir dalam seminarnya. Ia berdiri, performanya penuh dengan gairah yang hebat, semangatnya meledak di dalam ruangan itu. Kali ini, Kudus benar-benar sedang menyaksikan perempuan muda yang cerdas.

“Tapi, jangan sekali-kali menulis puisi dengan terpaksa, kasihan, puisi akan lahir, tapi ia akan kehilangan jiwanya selamanya.” Lanjutnya lagi. Seluruh audien diam, diam yang memerhatikan, bukan diam yang tidak paham. Mereka tertegun sekaligus terkagum dengan kecerdasan perempuan muda itu dalam bidang sastra, yang di mana ia memahami hakekat dan penjiwaan dari setiap ruas penyastraannya pada sebuah karya.

“Bagaimanapun, puisi atau karya lainnya harus tetap dilahirkan, tidak perduli dari latar belakang manapun, prematur atau normal, tetap harus dilahirkan.” Sekali lagi, Kamilah berhasil membelah alam pikir mereka dengan kalimatnya yang mendalam. Biarkan begitu, biar mereka berpikir di mana dan kemana seharusnya tulisan berlabuh, katanya pada seorang teman dekat di waktu yang lalu.

Kamilah telah melahirkan ratusan tulisan yang beraneka bobotnya, dari ringan hingga berat. Hanya saja, ia lebih suka kesusastraan. Lebih-lebih karya Pramoedya, ia begitu gemar membacanya, lalu menirunya, kemudian memodifikasinya. Memang begitu metode menulis hebat perempuan itu. Puisi-puisi yang sederhana milik Kamilah, telah dibacakan di berbagai Negara dan dialih bahasakan ke dalam bahasa asing. Bahkan, novelnya yang berjudul “Retrograde” telah menjadi buku wajib referensi oleh jurursan linguistik dari Cambridge University. Berkat itu, ia beserta nama dan keluarganya memiliki martabat yang agung di mata seluruh lapisan umat.

“Menulis adalah kehidupan, jika kita berhenti menulis, maka selesai sudah kehidupan kita.” Tegasnya di akhir seminar yang spektakuler itu. Lalu seluruh ruangan penuh dengan tepuk tangan penghormatan kepada Kamilah, ia membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum yang hangat. Setelah mereda, salah seorang di antara ratusan audien ada yang mengangkat tangannya, bertanda menginginkan jawaban atas pertanyaan yang sedang ia simpan. Kamilah mempersilakan audien itu. Sangkanya bahwa ia adalah seorang pakar, ternyata salah. Karena di tempat duduknya barusan ia terhalang oleh tangan-tangan yang masih bertepukan antara keduanya dengan berdiri. Selebihnya, ia hanya anak kecil, berumur 15 tahun kira-kira. Ia berjalan ke depan dengan sopan, dan menunduk.

“Jadi begini ibu Ka…”

“Jangan Ibu, kakak saja, wong saya belum menikah.” Sekatnya mengingatkan. Lalu gelak tawa satu ruangan terpecah.

“Baik. Begini kak Kamilah, saya mau tanya, apakah kakak yang cerdas ini menulis dengan suka cita?” Lugasnya, susunan kalimat yang baik, fikir Kamilah.

“Tulisan saya didominasi dengan tulisan sakit hati, Dik. Jadi ketika saya sakit hati, saya menulis. Inspirasi membludak ketika sakit hati.”

“Baik. Kalau Anda menulis dengan sakit hati, bagaimana bisa Anda menikmati tulisan? Dan, mengingat bahwa menulis adalah anugrah Tuhan, adalah nikmat dari-Nya yang sempurna, kalau Anda menulis dengan sakit hati, apa Anda bisa mengelak dari sebutan untuk Anda sebagai orang yang kufur nikmat?”

“……..”

Lama sekali Kamilah menjawab pertanyaan itu, bola matanya beriringan ke kiri dan ke kanan secara berkala, bibirnya gagu dan kaku, seperti bibir yang menggigil beku. 5 Menit ia masih diam di tempat duduknya, matanya seolah mencari celah kehampaan pada ruangan yang penuh, tangannya gemetar, pun bulu kuduknya bergidik setelahnya. 10 menit, dan ia masih mencari jawaban yang belum ia temukan atas pertanyaan tersebut. Ia menyelam lebih dalam lagi pada alam berfikirnya, berharap sesegera mungkin menemukan jawaban yang diminta anak kecil itu. Sekali lagi. Sekali lagi. Dan Kamilah belum menemukannya pada 13 menit terakhir.

Ia putuskan untuk keluar ruangan, tindakan yang terlalu konyol, begitu fikir rekan-rekannya. Tanpa pamit, tanpa kesan apapun, ia ngeluyur keluar dengan mimik muka yang kelelahan. Keringat dingin mengalir sepanjang pipi hingga lehernya, sejak dari alis hingga dagunya, ia penuh dengan keringat. Moderator, notulen, dan semua audien tercengang dengan pertanyaan yang tiada terjawab oleh Kamilah. Wajah mereka aneh, heran, sekaligus pucat pasi berbaur menjadi satu, tidak pernah ada dugaan bahwa Kamilah akan dipatahkan oleh anak semuda usia 15 tahun itu.

——————————-

Yang Menulis, Yang Mati.

Kalimat itu tercetak tebal menghitam, ukuran font 36 kira-kira. Parahnya, kalimat barusan adalah  headline dari sebuah surat kabar setelah hari kelam milik Kamilah kemarin. Patah sekecilnya sudah; reputasi, harga diri, bahkan, sponsor yang mengusung namanya hingga sehebat kini pun sama, sengaja mematahkan diri sebelum dipatahkan lebih kecil lagi. Kamilah tidak hanya kehilangan namanya, ia merasa, bahkan jati dirinya pun juga menghilang, enggan bersahaja di dalam jiwanya lagi.

Setelah itu, bermunculan tanpa segan dengan rentan waktu yang singkat, berita tv, siaran radio, surat kabar, hampir-hampir seluruh media massa cetak dan digital mengabarkan terbenamnya seluruh harga diri Kamilah, yang sebelumnya adalah ia yang menginspirasi banyak penulis dalam dunia literasi. Sedang Kamilah, tiba-tiba saja ia juga menghilang, bersamaan dengan hilangnya sebuah nama. Rekan-rekan yang mencarinya, di rumah, apartemen, villa, dan semua yang memiliki campur tangan Kamilah, membulatkan jawaban bahwa ia sedang tidak ada dan tidak berpulang ke rumah. Sebagai ibu, Maryam begitu menyayangkan ketiadaan hadirnya Kamilah di rumah, dan di tempat-tempat yang diduga dengan keras bahwa ia akan disana. Ayahnya, Darmaji, dengan segala upaya dan pihak yang dapat membantunya sedang menyelidiki keberadaan Kamilah. Untuk sementara, kesedihan Maryam meredam.

———————

“Sampai sekarang ini, sosok Kamilah belum ada yang menggantikan.” Oceh seseorang pada teman dari balik pintu besi lift sebuah perkantoran, Nanda namanya, dan ia berteman dengan Kamilah sejak lama. Perbincangan mereka hangat tentang Kamilah di sepanjang jalan menuju meja mereka masing-masing. Lalu ia terpaksa memutus pembicaraan karena harus berpisah di ujung lobi yang membedakan meja kerja di antaranya. Sepekan sejak Kamilah hilang, sepertinya adalah topik yang masih hangat untuk diangkat para penekun media massa. Untuk sebuah untung yang besar, maka salah seorang dari media massa digital memantapkan dirinya untuk menjalankan ide yang ia dapatkan; yaitu talkshow tentang hilangnya Kamilah.  Diakui atau tidak, acara ini akan menyakiti hati Kamilah, yang entah, ia sudah mati atau masih hidup di antara mereka kini.

Persiapan sudah siap. Narasumber dari keluarga Kamilah dan yang bersangkutan atasnya juga sudah didatangkan. Tempat sudah siap, kamera dan tim pun juga sudah menyiapkan diri, maka sudah sempurna untuk memulai talkshow ini.

“Seluruh media kini sedang hangat bicara dan mencari keberadaan Kamilah, bagaimana dengan keluarganya, apakah sampai sekarang belum ada juga kabar darinya?” Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dengan seksama, dan lalu menemukan jawabannya masing-masing dengan serasi. Buruknya, talkshow yang diharap menjadi pelipur duka keluarga dengan cara mengingat keberadaan Kamilah dahulu, malah menjadikan pukulan telak bagi keluarga atas dan karena Kamilah yang tak kunjung pulang. Pertanyaan selesai, dan jawaban pun sudah dihabisi tuntas. Semuanya masuk akal. Segalanya masih pada batas kodrat manusia. Bahwa, sakit hati dan menghilang dari keramaian terkadang perlu dilakukan untuk dan agar tidak semakin tenggelam pada kedukaan masing-masing. Dan Kamilah sedang melakukan hal tersebut pada dirinya sendiri.

Talkshow selesai meriah, tepuk tangan di sana-sini memenuhi gedung acara itu, dan keluarga Kamilah pulang dengan dua rasa; sedih dan khawatir. Rasa yang tidak pernah baik. Selama masih wajar, maka maklumi saja. Sudah sepantasnya merasa kehilangan ketika memang salah seorang dari kami atau mereka tidak hadir di dalam komunitas, seperti tiadanya Kamilah pada komunitas keluarganya sendiri.

Mereka ingin cepat-cepat membuka pintu rumah dan kembali pada kamarnya masing-masing, sehingga dapat meletakkan lelah seperempat hari tadi dari dan atas pertanyaan yang harus dijawab dengan berat hati. Sampai pada rumah mereka dengan pintu dua meter yang gagah itu, ada majalah yang tergeletak di atas lantai, bertuliskan di headline-nya dengan font tebal, terbaca, “Yang Menulis, Yang Mati; Di tulis oleh: Kamilah.”

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan