kaum-buruh-di-dari-buruh-dihadapan-kekuasaan-borjuis

Kaum Buruh, Hari Buruh dan Kekuasaan

Tuntutan keadilan bagi kaum buruh adalah seolah menjadi perjuangan yang seakan belum pernah mencapai titik paripurna. Setiap tanggal 1 Mei kaum buruh memperingati hari buruh, biasanya diwarnai dengan aksi unjuk rasa menuntut keadilan bagi kaum buruh. Dilihat dari sejarah hari buruh beserta perjuangan kaum buruh dalam menuntut keadilan bagi kaumnya, aksi unjuk rasa seperti yang ditampilkan oleh para buruh pada setiap peringatan hari buruh adalah bukan hal yang baru. 

Karl Marx adalah orang yang mungkin bisa dianggap sebagai tokoh yang berjasa besar dalam usaha meningkatkan kesadaran kaum buruh dalam menghadapi situasi ketidakadilan yang diakibatkan karena dominasi kaum borjuis. Dalam analisis Marx atas produksi kapitalis, situasi dominasi ini ditandai dengan penguasaan lahan produksi industri oleh kaum borjuis (kapitalis). Situasi ini memungkinkan kaum kapitalis untuk bersikap egois dan bertindak sewenang-wenang terhadap kaum buruh (proletar). Kenyataan inilah yang menjadi titik tolak penolakan Karl Marx terhadap situasi sosial masyarakat kapitalis dan mengharuskan adanya revolusi. 

kaum-buruh-di-dari-buruh-dihadapan-kekuasaan-borjuisMerujuk pada analisis Karl Marx, lahirlah sejumlah negara komunis yang mencoba untuk menciptakan kesetaraan hidup bersama dalam bernegara. Uni Soviet adalah salah satu negara yang mulai mempraktikan teori Karl Marx ini semenjak Lenin memulai revolusi pada tahun 1917.  Negara-negara yang mempraktikan teori Marx ini lalu membabtis diri sebagai Negara yang berideologi komunisme. Negara-negara dengan ideologi komunisme ini pada dasarnya memiliki suatu cita-cita yang mulia yaitu lahirnya kesetaraan di antara sesama warga bangsa. Namun masalah baru juga justru dimunculkan oleh negara dengan ideologi komunisme tersebut. Kemunculan totalitarianisme adalah buah dari system negara dengan ideologi komunisme tersebut. Selanjutnya dominasi negara yang mengatasnamakan prinsip kesetaraan ini lalu hanya melahirkan suatu bentuk ketidakadilan baru yang bukan diciptakan oleh kaum kapitalis melainkan oleh negara sendiri.

Dari kenyataan semacam ini mestinya dicari tahu akar sebenarnya yang menjadi pemicu ketidakadilan itu sendiri. Ketidakadilan itu bukanlah soal siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai, melainkan terletak pada bagaimana kekuasaan itu bersikap terhadap orang yang dikuasainya. Dari kenyataan inilah dapat ditemukan bahwa ketidakadilan yang dialami oleh kaum buruh itu sendiri justru terletak pada soal relasi yang saling mengobjektivasi atau menindas dan bukannya relasi yang komunikatif. Proses objektivasi terus berlangsung secara tetap karena mental instrumentalisai yang tertanam kuat dalam masyarakat dewasa ini. Proses instrumentalisasi yang berdampak pada ketidakadilan ini dapat terbaca dari dua kenyataan berikut.

Pertama adalah instrumentalisasi terhadap subjek kaum buruh itu sendiri. Instrumentalisasi terhadap kaum buruh ini hanya menciptakan kaum buruh menjadi alat  yang bekerja bagi kaum kapitalis semata. Sebagai alat, perlakuan terhadap kaum buruh ini juga kerap tidak manusiawi. Subjektivitas dari kaum buruh kerap direduksi sebagai objek belaka. Sebagai objek, kaum buruh akan tetap  dieksploitasi tenaganya dengan dipekerjakan secara tidak manusawi layaknya sebuah alat. Selain itu, upah dan waktu kerja yang diberikan kepada kaum buruh juga tergantung pada selera si pemilik alat yaitu para pemodal.  Pemilik alat dalam hal ini kaum berduit dan berkuasa juga dapat dengan entengnya memperjualbelikan para tenaga kerja itu sendiri. Maraknya masalah perdagangan manusia dewasa ini juga merupakan bias dari proses intrumentalisasi itu sendriri. Para pencari kerja dengan enteng diperjulbelikan layaknya sebuah alat kerja.

Kedua adalah instrumentalisasi terhadap kepentingan kaum buruh. Model instrumentaliasi jenis yang pertama mungkin semakin diredupkan dengan adanya kesadaran akan hak asasi manusia, juga dengan adanya perjuangan keadilan bagi kaum buruh itu sendiri. Namun demikiann perjuangan nasib bagi kaum buruh ini juga kerap mengantar kaum buruh pada model jenis eksploitasi yang kedua.

Dewasa ini bermunculan begitu banyak tokoh buruh, politisi dan organisasi buruh yang memperjuangkan nasib dan kepentingan kaum buruh.  Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa perjuangan kedilan itu tidak pernah mencapai titik paripurna? Menjawabi soal semacam ini hemat saya karena adanya proses intrumentalisasi dalam perjuangan kepentingan kaum buruh.  Nasib kaum buruh yang kerap mengalami ketidakadilan justru diinstrumentalisasi, dijadikan sebagai bahan kampanye politik untuk mendapat pengakuan dari kaum buruh dan publik pada umumnya. Dalam negara demokrasi semacam Indonesia kenyataan ini dapat dilihat dari materi kampanye politik yang kerap didengungkan oleh partai politik atau politisi yang selalu menempatkan kaum buruh sebagai orang yang mestinya diperjuangkan haknya. Kenyataan ini juga dapat dilihat dari keberadaan berbagai organisasi buruh yang berada di belakang kekuatan politik tertentu. Namun hal penempatan organisasi kaum buruh sebagai sayap partai politik dan penempatan materi kampanye yang mengutamakan nasib kaum buruh ini hanya sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan belaka.

          Bahaya selanjutnya adalah ketika para politisi atau partai politik itu sudah mencapai puncak kekuasaan. Para politisi atau partai politik itu sendiri justru kembali hadir sebagai kaum kapitalis dalam pemerintahan dengan mental korupsi yang hanya memperjuangkan kepentingannya. Belum lagi ketika mencapai puncak kekuasaan, para politisi yang berjuang bagi kepentingan kaum buruh ini justru kerap bersahabat karib dengan pemegang kekuasaan dalam bidang ekonomi (kaum borjuis) untuk bersama-sama merampas hak kaum buruh dan kaum lemah.

          Dengan adanya titik terang bahwa ketidakadilan yang kerap dihadapi oleh kaum buruh yang hanya diakibatkan karena proses instrumentalisasi ini, hal yang perlu dibenahi adalah menghilangkan proses intrumentalisasi terhadap kaum buruh dan kepentingan kaum buruh itu sendiri. Reduksi proses intrumentalisasi ini hanya bisa dimungkinkan jika adanya kesadaran dari kaum buruh untuk menempatkan diri sebagai subjek yang memperjuangkan kepentingannya.

          Setelah sampai pada taraf kesadaran akan keberadaan diri sebagai subjek yang berjuang demi kepentingannya, kaum buruh secara langsung dapat mengkomunikasikan kepentingannya kepada kaum kapitalis dan kekuasaan dalam hal ini negara yang telah dahulu menempatkan diri sebagai subjek yang berkuasa. Dengan adanya komunikasi ini dapat diharapkan agar  keadilan itu dapat tercapai. Keberadaan kaum buruh sebagai subjek yang mengkomunikasikan kepentingannya ini hanya bisa dimungkinkan seandainya buruh betul-betul menjadi kaum yang independen. Oleh karenanya organisasi kaum buruh dan tokoh pejuang kaum buruh mestinya independen dan betul berada pada posisi kaum buruh untuk memperjuangkan nasib kaum buruh, terlepas dari kepentingan politik dan kekuasaan apa pun.

          Kesadaran akan subjektivitas kaum buruh ini dapat memungkinkan kaum buruh juga menyadari akan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan itu tidak pertama-tama bukanlah kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan seperti yang diharapkan oleh negara komunis. Kekuasaan itu terletak pada kesadaran akan modal kaum buruh berupa tenaga dan keahlian kerja. Dengan kesadaran akan subjektivitas dari dalam diri kaum buruh, kaum buruh dapat membangun komunikasi dengan subjek yang lain yaitu kekuasaan sebagai pemegang mandat keadilan.

          Negara demokrasi yang menempatkan kekuasaan yang berada di tangan rakyat juga mestinya menyadari akan subjektivitas kaum buruh. Setiap pengambilan kebijakan mestinya juga setara atas dasar prinsip subjektivitsa masing-masing pihak entah buruh atau kapitalis. Negara yang cenderung bersikap tidak adil selama ini justru hanya sekadar menempatkan satu golongan tertentu sebagai subjek. Jika subjek yang diutamakan adalah kaum buruh, bahayanya kaum kapitalis merasa tidak mendapat keadilan. Sebaliknya jika kaum kapitalis yang ditempatkan sebagai subjek, bahayanya  adalah ketidakadilan akan dirasakan oleh kaum buruh. Indonesia dengan penekanan pada prinsip demokrasi ini justru sangat memungkinkan komunikasi antara kaum buruh dan kapitalis itu dapat terbangun dengan baik.  

          Prinsip komunikasi atau intersubjektivitas mestinya ditempatkan paling pertama dalam setiap pengambilan kebijakan bersama dan demi kepentingan bersama. Penegasan pada prinsip komunikasi atau relasi intersubjektivitas ini juga dapat menghilangkan mental saling mendominasi dari satu subjek terhadap subjek yang lain entah itu dari kaum kapitalis, buruh atau negara itu sendiri.

         

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan