8424da3c-0a63-4d41-8399-4ebc883c6d78

Kebudayaan Pancasila, Kebudayaan Rakyat

Bangsa kita dikenal dengan bangsa yang memiliki kekayaan budaya. Beragam budaya dapat kita temukan dari ujung Sabang hingga Merauke, namun dengan kekayaan budaya tersebut, mengapa bangsa kita masih mundur? Bahkan kalah oleh kebudayaan barat yang dengan keunggulannya telah mampu mengambil sebagian besar kehidupan sosial di bangsa kita saat ini. Persoalan demikian harus kita telisik pada sejarah perkembangan kebudayaan kita. Penelusuran tersebut sangat diperlukan agar kita dapat mengetahui batu hambatan kemajuan budaya kita serta dapat menyusun strategi kebudayaan yang cocok untuk kondisi bangsa saat ini.

Buku karya S. Mangunsarkoro yang berjudul Kebudayaan Rakjat (Usaha Penerbitan Indonesia, Jogja ; 1951) bisa menjadi salah satu referensi bagi kita untuk menelaah perjalanan kebudayaan kita. Judul buku yang digunakan yakni kebudayaan rakyat memuat inti yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui buku ini secara garis besar ada dua hal yakni pertama bahwa penegasan dan cita-cita bahwa pencipta kebudayaan adalah rakyat bahwasannya kebudayaan itu terbentuk dari proses dialektik masyarakat, serta kedua memiliki muatan kritik terhadap sejarah perjalanan kebudayaan kita yang menjadi monopoli segelintir golongan masyarakat saja.

Mangunsarkoro mengawali penjelasan kebudayaan melalui tinjauan bahasa dan definisi yang berlaku pada para ahli sosiologi. Budaya berasal dari bahasa Sanskrit “buddhi” yang berarti pikiran atau pengetahuan. Kata budaya juga dikatakan berasal dari bahasa Jawa “budi” atau “budaya” yang berarti akal, roh, kebijakan, kepandaian dan sejenisnya. Sumber lain memandang bahwa kata “budaya” dilihat dari kata asingnya “culture” yang berarti pengendalian dan pemeliharaan terhadap hawa nafsu dan kekuatan alam sebagai imbangan untuk kata “nature”. Dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa secara garis besar kebudayaan adalah segala hal yang bersangkut paut dengan pekerjaan jiwa dan kecerdasan manusia. Tidak adanya produk budaya menunjukan bahwa jiwa atau kecerdasan suatu masyarakat tersebut tidak berjalan sebagaimana dahulu masyarakat purba yang belum berkembang kemampuan akal fikirannya hanya mampu menghasilkan kebudayaan yang sangat sederhana dalam peralatan berburu dan mengumpulkan makanan.

Jika kebudayaan adalah hasil kerja jiwa manusia, maka ia dapat dirincikan menjadi empat macam yakni pikiran, intuisi, persaaan dan kehendak. Kerja pikiran dan intuisi (ilham) menetapkan apa dan betapa kebudayaan, sedangkan kerja perasaan dan kehendak menetapkan bagaimana membentuknya. Kerja pikiran dan intuisi menghasilkan filsafat, agama, ilmu sedangkan perasaan menghasilkan kesenian dan kehendak menghasilkan politik dan ekonomi. Pada titik perincian ini kita dapat membedakan kecondongan budaya bangsa kita dan penyebab ia tidak berkembang menuju kebudayaan yang besar.

Perjalanan Kebudayaan Kita

Kebudayaan barat memiliki keunggulan dalam perihal kebudayaan material. Mereka mampu mengembangkan kemampuan teknologi yang merupakan puncak kemajuan sebab sintesa antara rasionalisme dan empirisme yang melahirkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini tidak terlepas dari filsafat hidup orang barat yang menyuruh masyarakatnya untuk mempergunakan kekayaan dan kekuatan alam untuk kepentingannya. Oleh karena itu corak keduniawian dan kebudayaan material sangat kuat di masyarakat barat mempengaruhi bentuk-bentuk kebudayaannya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di bangsa kita yang cenderung menolak kelahiran dan keduniawian pada umummnya dan memandang sikap menolak keduniawian sebagai hal yang baik.

Sifat anti terhadap duniawi ini diperparah dengan kebudayaan feodal kerajaan yang membangun struktur budaya distangsi dan hirearkis sebagai politik budaya feodal. Kesenian dan gelora hidup yang lahir dalam budaya ini adalah pemujaan terhadap penderitaan hidup, sebuah cermin kehidupan rakyat yang sangat menderita dalam struktur masyarakat feodal. Mereka, melalui kesenian yang diciptakan, hendak melarikan diri dari beban penderitaan hidup ke dunia khayal seolah menginginkan moksa agar terlepas dari beban hidup tersebut. Sebab itu ia melahirkan kebudayaan yang pasif, melangut, melamun, kontemplatif dan kurang terdesak untuk berjuang hidup mencari nafkah. Rakyat feodal memandang bahwa ketahanan terhadap penderitaan adalah hal yang terpuji.

Suasana kebudayaan feodal inilah terus terjadi hingga masuknya penjajahan yang mempertahankan budaya feodal dan raja-rajanya yang bodoh sebagai cara untuk menguasai rakyat Indonesia. Masuknya penjajahan membawa kebudayaan barat ke bangsa kita yang diperkenalkan dengan maksud agar bangsa kita mengerti apa yang dinginkan oleh bangsa barat tersebut. Budaya barat itu diperkenalkan melalui institusi pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun pertemuan budaya barat tersebut menimbulkan kesadaran baru bagi generasi pemuda yang merasakan pendidikan barat tersebut saat itu muncul kesadaran nasional.

Mangunsarkoro melihat bahwa kesadaran nasional memiliki dua sifat yakni sikap menolak politik penjajahan dan kedua sifat pembukaan terhadap kebudayaan barat. Sikap penerimaan ini terutama terhadap ilmu pengetahuan, ekonomi, tehnik, dan cara hidup dan bentuk masyarakat yang seperti barat. Namun dalam hal agama dan kesenian masih mendapatkan penolakan keras terhadap barat. Suasana dirasakan oleh lapisan intelektual bangsa indonesia. Pergolakan ini menimbulkan berbagai macam pergerakan nasional yang masing-masing membawa corak budayanya masing-masing. Secara garis besar mereka terbagi pada golongan agama, kerakyatan, humanis liberal barat. Aliran-aliran ini saling berebut pengaruh.

Kebudayaan Pancasila

Dialektik kebudayaan membawa sintesa budaya Pancasila yakni ketuhanan, perikemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial. Kedua sila pertama mencangkup dimensi kebatinan, sedangkan tiga sila terakhir mencangkup persoalan lahiriah kemasyarakatan. Pancasila menjadi bentuk ideal masyarakat yang hendak diwujudkan dan hingga sekarang masih terus diuji daya relevannya terhadap perkembangan zaman.

Mewujudkan bentuk masyarakat ideal tersebut tentu haruslah diusahakan oleh segenap elemen bangsa karena hal tersebut menyangkut seluruh tatanan sosial masyarakat mulai dari corak keyakinan, bentuk pemerintahan, ekonomi, politik dan lainnya. Jika kebudayaan adalah hasil kerja jiwa masyarakat suatu bangsa, dan jika Pancasila belum terimplementasi dalam kehidupan, maka yang perlu dikoreksi adalah kondisi kejiwaan bangsa kita yang belum sepenuhnya terintenalisasi oleh nilai-nilai Pancasila. Persoalan ini menyangkut penguatan sumber daya manusia bangsa kita yang perlu penginternalisasian nilai Pancasila agar mampu bekerja jiwanya memproduksi kebudayaan Pancasila.

Penulis melihat bahwa untuk mewujudkan masyarakat Pancasila tersebut perlu mengubah corak kebudayaan kita yang feodal menuju kebudayaan rakyat. Jalan yang dapat ditempuh adalah melalui pendidikan seluas-luasnya atau demokratisasi kebudayaan. Hal ini penting agar kebudayaan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok golongan saja seperti golongan priyayi maupun golongan hartawan saja, namun juga rakyat ikut terlibat dalam produksi kebudayaan tidak hanya menjadi objek semata. Penulis juga memperingatkan bahaya akan diferensiasi dimana memang kemajuan kebudayaan akan sangat cepat dicapai dengan spesialisasi pada bidang yang ditekuni, namun hal ini mengandung penyakit kebudayaan jika diferensiasi mengakibatkan orang tidak peduli pada golongan kebudayaan lain atau massa. Diperlukan pertemuan untuk mengatasi hal tersebut sehingga terjadi dialektik kebudayaan sebagaimana juga keberagaman kebudayaan daerah perlu saling bertemu dalam rangka mengembangkan diri karena jika tidak ada pertemuan maka tidak akan kemajuan kebudayaan seperti yang kita lihat pada kebudayaan primitif yang hampir tidak terjamah oleh kebudayaan luar hanya akan terus stagnan seperti yang kita lihat di masyarakat primitif tersebut. Dengan corak kebudayaan rakyat, maka masyarakat Pancasila akan lekas terwujud.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan