download (2)

Ketika Orang Gila Bertanya Tentang Cinta

Ototnya agak kekar. Rambutnya lebat berantakan. Samin tak bisa menahan tawa saat Miryah mengambil sebilah golok, berpura-pura menggertaknya.

“Sudah berapa kali kukatakan, jangan tidur-tiduran di sini, Min! Bisa-bisa tak laku jualanku. Dasar gila!

Ha..ha..haa

Samin tertawa. Ia berjalan gontai, dan malah beralih ke samping warung. Berbaring di bawah pohon keres.

Astaga, Samin! Benar-benar tak laku jualanku kalau begini,” Miryah terus mengomel mendapati Samin tidur-tiduran menghadap lalu lintas jalan.

Sebenarnya Miryah tak seberapa berani mengusir Samin. Kalau sampai lelaki itu mengamuk, bukan tak mungkin warung Miryah akan dihancurkan.

“Mak, es degan dua, ya.”

Sepasang anak sekolah yang berjalan dari arah barat, sepertinya tak melihat Samin. Miryah tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera menyambar dua gelas besar.

“Tak apa. Gak bakalan ngamuk,” ujar Miryah saat pasangan tadi menyadari keberadaan Samin di samping warung. Kini, dua gelas es degan beralih ke hadapan anak muda itu.

“Dia gila kenapa, Mak?” tanya anak lelaki sambil menyingsingkan lengan baju. Pura-pura berani.

“Biasa. Gara-gara cinta,” jawab Miryah sembarangan. Ia sendiri tak tau penyebab Samin gila.

“Maksudnya, Mak?”

Miryah gelagapan. Tak bisa jawab.

“Biniku itu selingkuh, Bocah. Dia bawa kabur uangku,” tiba-tiba Samin yang sedari tadi berbaring menghadap jalan, memutar tubuhnya menghadap warung.

“Memangnya ceritanya bisa dipercaya, Mak?” anak perempuan yang merangkul lengan pacarnya itu menoleh.

“Oh, iya. Kadang orang gila bisa normal meski sebentar. Kalau dia bercerita, berarti  lagi waras,” sahut Miryah.

“Aku tak gila!” gertak Samin keras. “Biniku yang gila. Dia selingkuh di rumah saat aku kerja kepanasan di luar. Kau tau, dia selingkuh dengan adikku sendiri. Ah, siapa yang gila. Aku atau mereka?”

Miryah menelan ludah dalam-dalam. Tak disangka, jalan hidup Samin hampir mirip dengan jalan hidupnya sendiri. Ya, suaminya juga selingkuh dengan adiknya sendiri. Seandainya aku dulu tak memilih bangkit, mungkin aku seperti Samin. Ah, hidup memang penuh pilihan. Batin Miryah dalam hati.

Mereka selingkuh, ya, berarti ada cinta. Gitu aja, kok, repot,” kata anak lelaki sembarangan.

Samin tiba-tiba berdiri. Dihampirinya pasangan muda-mudi itu. Miryah yang memegang golok, meminta anaknya yang berusia tujuh tahun main di sungai. Takut Samin ngamuk serampangan.

“Kau bilang cinta? Apa kau kira, aku kerja panas-panas bukan karena cinta? Sekarang aku tanya, apa cinta itu, Bocah? Kenapa ada selingkuh kalau masih ada cinta?” gemeretak gigi Samin terdengar kuat. Ototnya menegang keras. Tangan kanannya berada di atas meja. Tepat di samping gelas anak lelaki itu.

Pasangan itu tak lagi memikirkan bau apek Samin. Tak lagi menghiraukan baju compang-camping yang dikenakan orang gila di hadapannya. Mereka hanya ingin cepat-cepat keluar dari warung. Itu saja.

“Jangan tanyakan ke aku. Tanyakan saja yang memberi cinta.”

“Siapa?”

“Tuhan. Ya, tanyakan saja ke Tuhan kenapa ada selingkuh,” jawab anak lelaki sambil menunjuk langit.

Samin menoleh ke luar. Dilihatnya hamparan langit yang membentang luas. Tiba-tiba Samin keluar warung. Ia berlari sambil berteriak keras menghadap atas.

“Hey, Tuhan. Sekarang aku datang menemuiMu. Apa cinta itu, Tuhan?” ditunggunya lama. Tetap tak ada jawaban. “Kenapa Kau tak jawab, Han? Tak perlu takut. Aku tak akan memukulMu,” sambungnya lagi.

Tetap saja. Jawaban yang ditunggu Samin tak keluar. Ia mulai naik darah. Diambilnya batu-batu lalu dilemparnya ke atas. Orang-orang yang tengah mengemudikan kendaraan, memilih menepi. Takut kena lemparan Samin.

“Rasakan sekarang. Aku sudah bersabar, Kau tak mau jawab.”

Samin menoleh ke sudut perempatan. Ia teringat ucapan anak tadi, kalau Tuhan ada di atas. Ia melihat tower menjulang tinggi. Samin berlari kencang. Sesampainya di bawah bangunan penghubung sinyal itu, ia memanjat secepat kilat. Orang-orang yang berkumpul di bawah berteriak memintanya turun. Samin tak menggubris. Ia yakin, Tuhan ada di atas tower.

Sesampainya di atas, Samin tak menemukan Tuhan. Malah orang-orang terlihat kecil bak semut. Samin tertawa melambaikan tangan ke bawah.

“Aku sudah di atas, Tuhan. Jawab saja. Orang-orang tak mendengar.” Ah, coba tadi aku tak melempar batu. Kau pasti menemuiku, bukan? sesal Samin dalam hati.

Kian lama, orang-orang tambah bergerumul. Suara sirine polisi juga semakin mendekat. Terlihat seorang lelaki memberanikan diri memanjat tower.

“Apa Kau marah? Jangan begitu. Aku hanya sekedar bertanya apa itu cinta. Kenapa harus ada selingkuh kalau Kau juga menciptakan cinta?” Samin terus merayu Tuhan. Nyatanya, tetap saja tak ada jawaban tentang cinta.

Hingga akhirnya, lelaki yang memanjat tiba di atas. Ia duduk tepat di samping Samin.

“Sedang apa di sini?” tanya lelaki berusaha bersahabat.

Samin tak menoleh. Dilihatnya langit yang mulai memerah.

“Aku bertanya cinta kepada Tuhan.”

“Ah, Tuhan tak ada di sini.”

“Bohong! Tuhan itu ada di atas.”

“Aku tak bohong. Memang benar Tuhan di atas, tapi pertanyaanmu tak bisa didengar.”

Samin menoleh. Alisnya mengkerut penasaran.

“Pertanyaanmu akan didengar, kalau kau di masjid. Mandi saja dulu lalu ganti baju. Tuhan tidak mendengar kalau kau bau seperti ini. Baju kotor juga. Nanti aku beri baju sama sarung. Gimana?”

Samin mengangguk setuju. Cepat-cepat ia turun. Orang-orang bersorak ramai. Samin turun sambil tersenyum sebab akan bertemu Tuhan. Samin membayangkan, Tuhan akan menjawab pertanyaannya. Bukan tak mungkin pula, Tuhan akan memberinya cinta. Setibanya di bawah, orang-orang bertepuk tangan. Bahkan Pak RT memberi pengumuman, kalau Samin tak perlu dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.

Orang bersorak sorai mendapati Samin selamat. Hanya saja, tiba-tiba Miryah berteriak kencang. Anaknya yang berusia tujuh tahun terpeleset ke arus sungai. Orang-orang yang semula berkumpul di bawah tower, lekas-lekas menuju sungai. Sialnya, tak ada yang berani menyelamatkan anak Miryah yang tersangkut batu besar.

Samin yang semula berdiri mematung lantas meloncat ke sungai, dan menyelamatkan anak Miryah. Orang bertepuk tangan. Menganggap Samin sebagai pahlawan.

“Apa kata saya?” kata Pak RT. “Samin itu tidak gila. Buktinya dia mengorbankan diri demi anak Miryah.”

Orang-orang sepakat. Samin tak perlu masuk Rumah Sakit Jiwa seperti kesepakatan semalam saat rapat. Bahkan, Pak RT mendatangi Samin yang menggendong anak Miryah. Keduanya basah kuyup. Saat Pak RT hendak bersalaman dengan Samin, tiba-tiba Samin melengos dan malah mengambil tali rafia yang ada di bawah pohon.

Semua orang penasaran melihat Samin mengikatkan tali pada batang mahoni, sementara anak Miryah hendak diikatkan pada tali tersebut.

“Apa yang sedang kau lakukan, Min?”

“Oh, ini. Mau gantung anak ini. Kasihan dia basah. Biar cepet kering, ya, harus digantung.”

Pak RT tercekat. Ia tak jadi membatalkan kesepakatan semalam.

 

 

#april_mop

#monthly_challenge

, , , , ,

3 tanggapan ke Ketika Orang Gila Bertanya Tentang Cinta

  1. 115036397299252164456 17 Mei 2021 pada 19:19 #

    Keren. Ending-nya dapet banget.

  2. Gilangmayang 19 April 2021 pada 20:51 #

    Selalu keren ceritanya

    • H.K. 20 April 2021 pada 23:09 #

      Masih belajar, Kak

Tinggalkan Balasan