politik-dan-media-massa

Kuasa Media: Kuasa Politik

Media dan politik adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan di era sekarang. Seorang politisi memerlukan media sebagai mediumnya. Di masa kampanye seperti sekarang ini, baliho, iklan di koran, hingga televisi penuh dengan wajah capres maupun caleg kita. Buku Kuasa Media di Indonesia (2018) karya Ross Tapsel meneliti lebih jauh tentang kekuatan media, kaum oligarki, dan relasinya dengan politik di Indonesia. Para pemilik media besar seperti televisi dan koran, memiliki hubungan erat dengan peranan dalam dunia politik. Ross Tapsel memberikan kesimpulan menarik melalui buku ini. Dengan media yang mereka miliki, kaum oligarki tak hanya semakin menancapkan kekuatan bisnisnya, tapi juga memberikan pengaruh pada keputusan-keputusan penting dalam politik, bahkan sampai kepada keputusan pemerintah.

Kasus yang menarik yang ditulis di buku ini adalah kasus Abu Rizal Bakrie yang kala itu tertimpa kasus lumpur lapindo. Abu Rizal Bakrie melalui perusahaan medianya berusaha untuk menutupi kasus lapindo ini. Sementara itu, pemerintah melalui SBY berusaha untuk membuat wacana bahwa peristiwa Lapindo adalah gejala alam. Sehingga hal ini tidak membuat perusahaan Abu Rizal Bakrie harus membayar ganti rugi. Baik kita kutipkan pernyataan penulis mengenai betapa besar kuasa media dalam mempengaruhi kebijakan politik pemerintahan. Keluarga Bakrie membeli stasiun Arek TV yang berbasis di Surabaya dan surat kabar berbahasa Indonesia Surabaya Post. Dua eksekutif dari Lapindo Brantas diangkat menjadi direktur di surat kabar tersebut. Manajemen Surabaya Post memberikan perintah langsung tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan jurnalisnya ketika memberitakan tentang semburan lumpur. Karena sikap SBY itulah, di pemilihan presiden periode kedua, Abu Rizal Bakrie mengerahkan kekuatannya untuk mendukung SBY terpilih kembali.

Kekuatan media nampak pula saat Surya Paloh dan Hary Tanoe Soedibyo dengan mendirikan stasiun televisi. Surya Paloh mendirikan Surat Kabar Media Indonesia dan MetroTV. Sementara Hary Tanoe memiliki iNews, MNC TV, maupun RCTI. Para pemilik media inilah yang kini menjadi tokoh penting dalam dunia politik kita hari ini. Hary Tanoe memimpin Perindo, sedangkan Surya Paloh menjadi Ketua Partai NasDem. Melalui stasiun televisi yang mereka miliki, mereka bisa lebih leluasa dalam menayangkan berita dan dukungan kepada partai dan calon presiden yang mereka dukung.

Dampak dari kekuasaan pemilik media ini menjadi sesuatu hal yang problematis dalam dunia pers kita. Mereka para jurnalis di Indonesia memandang kepemilikan media sebagai hambatan utama dalam otonomi mereka, dalam hal apa yang dapat dan tidak dapat mereka laporkan dan bagaimana berita-berita tertentu harus dibingkai (Tapsell, Ross, Asian Studies Review, 2012). Sebagai pers yang mestinya independen dalam pemberitaan, akhirnya mereka tak bisa memiliki kuasa lebih bebas dalam pemberitaan di lapangan saat dihadapkan dengan kuasa pemilik media.

Kuasa Media Digital

politik-dan-media-massa

Judul buku : Kuasa Media di Indonesia
Penulis : Ross Tapsell
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : Oktober 2018
Halaman : 298 halaman
ISBN : 978-979-1260-81-7

Semenjak 2004, muncul alternative diantara dominasi dan kuasa pemilik media cetak dan elektronik. Melalui kemunculan ruang alternative ini, sarana demokrasi menjadi terbuka lebih lebar dalam menyalurkan aspirasi dan suara rakyat. Melalui media digital, ruang demokrasi lebih terbuka meski ada kekuasaan pemilik media. Sejak 2004 media digital telah masuk di Indonesia. Facebook, twitter, dan Instagram menjadi primadona bagi remaja dan orang dewasa di Indonesia. Melalui media sosial tersebut, tak hanya celoteh keseharian, orang bisa dengan mudah membagikan perasaan dan protes mereka. Selain itu, mulai banyak pula warganet di Indonesia yang menjadikan ruang media sosial sebagai ruang bisnis.

Para pemilik media besar seperti koran dan televisi pun tak mau ketinggalan. Mereka berbondong-bondong beralih ke media digital karena melihat peluang perkembangannya. Ross Tapsel di buku ini memberikan simpulan bahwa : Teknologi digital yang baru membawa Indonesia ke dua arah. Di satu sisi, digitalisasi membuat kaum oligark mengontrol ranah media arus utama dan mendorong kekuasaan elite terpusat di sekitar politik dan media. Pada saat yang sama, berbagai platform media digital juga digunakan oleh warga untuk tujuan-tujuan aktivisme, dan pembebasan, dan warga bisa dapat menentang struktur kekuasaan elit melalui penggunaan media digital yang efektif.

Dalam satu dekade terakhir misalnya, kita bisa melihat situs Change.org sebagai saluran yang cukup efektif dalam mempengaruhi berbagai isu-isu penting di sekitar kita. Banyak rancangan undang-undang yang akhirnya dibatalkan karena petisi yang diajukan oleh warganet di situs ini. Artinya, kekuatan dan suara warganet melalui situs digital dianggap penting dan memilki pengaruh.

Ross Tapsell melihat bahwa meski kaum oligarki memiliki media arus utama dalam memainkan politiknya, ada alternatif lain yakni media digital yang bisa menjadi lawan tanding untuk menghadapi kekuatan dari media arus utama. Fenomena ini nampak saat Jokowi misalnya di pemilu tahun 2014 memenangkan kompetisi dan menjadi presiden. Orang mulai bergeser tak hanya mengandalkan televisi dan koran sebagai saluran demokrasi. Kini, melalui twitter saja, seorang Andi Arif bisa menggoyang KPU dengan cuitan yang ditulisnya. Rumah sakit bisa dijatuhkan saat pelayanannya tak maksimal hanya dengan curhatan di facebook. Sebuah partai bisa menyerap aspirasi melalui situs change.org dalam isu tertentu. Inilah beberapa contoh bagaimana media digital ikut serta membentuk opini publik. Media digital ikut membentuk keputusan-keputusan penting dalam demokrasi kita. Dalam kasus terbaru, kita melihat pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan menyebar angket untuk kebijakan pendidikan melalui form yang disisipkan setelah siswa-siswa selesai mengerjakan UNBK. Inilah perubahan yang saya kira penting dalam kurun waktu satu dekade, teknologi digital menjadi ruang alternative bagi saluran demokrasi dan tak bisa dianggap remeh. Begitu pula saat saya melihat beberapa politisi dan calon legislatif meminimalisir baliho dan spanduk. Mereka sudah mulai membuat konten digital yang memasuki media sosial sebagai media kampanye mereka. Inilah saya kira yang menjadi pergeseran penting dalam dunia politik kita. Sehingga akan senantiasa ada harapan dalam membangun ruang demokrasi saat media televisi dan koran didominasi oleh para oligarki.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan