sunset-3156176__340 (1)

Lelaki yang Menyimpan Senja

Ada yang terlupa. Sebetulnya manusia tak hanya terbentuk dari lingkungan, pengetahuan dan pengalaman. Tetapi ia juga terbentuk dari kenangan.

Nama perempuan itu Adzkia. Bukan gadis Malaysia seperti sebuah lagu dangdut yang kudengar dari radio-radio di pasar. Tapi aku terpaksa memanggilnya Ibu Guru. Bukan pengajar di sekolah atau pendidik di surau. Ia perempuan biasa dengan paras cantik jelita. Banyak lelaki mengejar-ngejar dirinya, berupaya menjadikannya istri. Tapi, hingga kini. Ia tak memilih salah satu di antara banyak pilihan tadi kecuali kami –anak-anak yang diasuhnya sendiri.

“Apa Ibu Guru tidak marah kalau saya tak memanggil Ibu seperti yang lain?” kataku suatu petang.

“Tak apa, Sayang. Apapun itu asal kamu senang,” saat dia mengatakan ‘sayang’, tangannya membelai kepala dan aku senyum-senyum sendiri mendapatinya.

“Kenapa Ibu Guru mau jadi Ibu kami? Padahal kami tidak dilahirkan dari rahim Ibu Guru.”

“Jadi seorang ibu tidak mesti melahirkan. Banyak perempuan di dunia ini yang menjadi ibu dan dia tidak melahirkan seorang anak.”

Ibu Guru satu-satunya orang yang begitu peduli pada kami. Ia mati-matian menjadi seorang ibu bagi ketujuh anaknya. Ia juga tak mau menyebut rumahnya sebagai panti asuhan. Katanya, meski kami tak tahu siapa bapak ibu yang asli, kami bukanlah anak-anak yang mesti didaftarkan pada sebuah yayasan. Sebab kami adalah anak-anaknya tanpa seorang bapak.

Di antara anak yang lain, hanya aku seorang yang memanggilnya Ibu Guru. Entah kenapa, bibirku kelu menyebutnya ‘ibu’. Dan Ibu Guru tak pernah marah. Ia memasrahkan padaku menyebutnya apa. Di rumah ini, akulah saudara tertua yang Ibu Guru temukan. Kala itu, aku berada di peron. Menanti perempuan yang menyuruhku menunggu di situ. Usiaku sepuluh tahun waktu itu. Tetapi, ingatanku masih cukup rapi menyimpan memori getir. Saat seorang perempuan yang kusebut Ibu, tiba-tiba meninggalkan aku seorang diri di stasiun. Ia pamit ke kamar mandi tapi tak datang hingga kini.

Aku berusaha tak menangis. Sebagai anak lelaki, aku tahu dilarang meneteskan air mata. Termasuk saat perempuan yang kukira usianya tak jauh beda dengan Ibu, datang menghampiri.

“Panggil aku Ibu. Iya, Ibu Guru.”

Aku memiliki enam adik yang rasa-rasanya sulit sekali dijinakkan. Mereka tak ubahnya monster-monster kecil yang setiap waktu menyerang tubuh cekingku ini. Hey, itu dulu. Sekarang, aku sudah menganggap mereka adikku sendiri. Aku juga mengajari mereka bagaimana menyapu, mencuci baju dan piring. Juga, aku ajari mereka cara berkelahi. Setidaknya, ilmu ini adalah jurus terakhir saat mereka diusik perihal sosok bapak di sekolah.

Sialnya, ini adalah awal mula keresahan Ibu Guru. Ia tak senang melihat anak-anaknya –meskipun itu anak lelaki- berkelahi di sekolah. Sialnya lagi, mereka mengadukan pada Ibu Guru kalau aku-lah yang mengajari jurus-jurus yang kudapat dari game.

“Apa kamu tahu kalau adik-adikmu sering berkelahi di sekolah?” aku tak pernah melihat mimik muka Ibu Guru seperti sekarang. Sorot matanya tajam. Amat menakutkan. “Apa benar kamu yang mengajari mereka?”

Aku mengangguk. Bukankah, Ibu Guru selalu mengajariku agar selalu jujur?

“Mau jadi apa kalau kalian suka berkelahi? Adu pukul tak menyelesaikan masalah, Ram.”

“Buat jaga-jaga saat mereka menanyakan siapa bapak kami.”

“Jawablah pertanyaan mereka dengan prestasi. Bukan dengan berkelahi.”

“Prestasi hanya bagi mereka yang jelas status bapak ibunya. Sedangkan status kami abu-abu.”

Ibu Guru terdiam. Ia menatapku lekat-lekat.

“Belum cukupkah aku berusaha jadi seorang Ibu?”

Ia pergi ke kamar dengan air mata berlinang. Semenjak itu, aku jarang bertegur sapa. Setiap kali diajak bicara, aku melengos. Setiap kali ia bertanya keadaanku di sekolah, aku jawab dengan sorot mata tak suka. Hingga akhirnya, aku memutuskan pergi. Sebagai anak lelaki yang berada di pertengahan masa remaja, aku memiliki pandangan masa depan sendiri.

***

Lima belas tahun lalu aku mengambil keputusan yang tak pernah kusesali sampai mati. Saat usiaku menginjak dua puluh tujuh tahun, dan aku putuskan menjadi seorang ibu tanpa seorang lelaki. Awal mula, kudapati bayi-bayi ini dari puskesmas. Saat bayi-bayi yang ditemukan orang-orang, diantar dan dirawat sebentar.

Aku rasa, nasib mereka lebih baik daripada dibunuh lalu dibuang ke sungai oleh kedua orang tuanya yang tak menghendaki. Beruntung kalau ada yang mengadopsi, jika tidak. Mereka akan tinggal di dinas sosial. Dari sanalah nuraniku bergeliat. Sebagai dokter umum yang mengabdikan diri di rumah sakit pemerintah, kuputuskan mengadopsi bayi-bayi itu. Rasyid, tunanganku tak setuju. Apalagi sebulan lagi kami hendak menikah. Akan mendatangkan banyak masalah dan pergunjingan dari banyak orang. Aku tetap bersikukuh, sedangkan Rasyid tetap pada pendiriannya yang akhirnya mengantarkan kami pada perpisahan.

Di antara ketujuh anak yang kuasuh, ada seorang anak yang sungguh menguras tenaga dan pikiranku yang jauh lebih besar. Anak itu kutemukan di stasiun saat aku selesai perjalanan dari dinas keluar kota. Sorot matanya amat liar. Perawakannya sering pendiam. Itu karena masalah yang ia hadapi lebih nyaman disimpan daripada diutarakan. Atau mungkin, karena kutemukan saat usianya menginjak sepuluh tahun?

Rama. Dua hari pasca penerimaan raport anak itu pergi. Tak ada pamit atau salam. Yang ia tinggalkan hanyalah jadwal bagi adik-adiknya. Jadwal mencuci baju, mengganti popok si bungsu, sesuai tingkat tugas sang adik. Semata-mata agar adik-adiknya tak merepotkan aku, si ibu. Aku begitu terkejut saat Farah membangunkanku pagi-pagi buta. Katanya, jendela kamarnya terbuka. Begitu tergopoh-gopohnya aku masuk ke kamar, ternyata Rama telah pergi.

Sebagai anak lelaki yang sebentar lagi menginjak tujuh belas tahun, aku memaklumi bagaimana gejolak darah mudanya mengalir. Sebuah masa di mana peran teman dan lingkungan lebih memikat daripada keluarga. Apalagi di rumah ini. Hanya seorang ibu tanpa sosok bapak. Itupun, aku bukan ibu kandungnya. Tetapi, kepergian Rama menyisakan kepedihan. Karena padanya aku menaruh harapan. Di mana kelak ia akan jadi orang sukses yang membuktikan pada banyak orang kalau anak yang dilantarkan orang tua kandung, bisa berhasil jua seperti anak pada umumnya.

Ah, sudahlah. Rama telah pergi. Ia belum tentu kembali.

***

Kata siapa aku tak kembali. Di rumah yang menampungku saat aku dibuang di usia sepuluh tahun. Menjelang tujuh belas tahun aku pergi. Aku menghilang karena aku cukup tahu diri apa yang aku rasakan.

“Itu Kak Rama. Iya, Kak Rama datang,” teriak Aldo mendapatiku berdiri di depan gerbang. Adik-adikku yang lain menyusul. Mereka berebutan bersalaman. Lalu disusul pula seorang perempuan. Ibu Guru. Betapa terharunya aku melihat suasana ini. Terutama, saat Ibu Guru langsung memelukku dan menangis sesegukan.

 “Ke mana saja kamu, Ram? Tak tahukah kamu aku mencarimu ke banyak tempat?” kata Ibu Guru di sampingku. Ia benar-benar seperti seorang ibu yang sekian lama kehilangan anak kandungnya.

“Saya cukup tahu diri dan masih tahu adab. Tak mungkin saya tak kembali. Sekarang, saya kembali bukan sebagai Rama anak Ibu Guru. Tetapi, sebagai lelaki yang hendak mempersunting Ibu Guru.”

Kau tahu bagaimana terkejutnya Ibu Guru mendengar penuturanku? Ia tak hanya tergagap melainkan tak tahu bagaimana bersikap.

“Itulah alasan kenapa saya pergi sepuluh tahun lalu. Berdiam diri di sini dengan menyimpan perasaan seperti ini adalah kebodohan yang tak mungkin saya pelihara terus menerus. Dan sekarang, saya ingin mendengar jawaban langsung dari Ibu Guru.”

“Ram,” sergahnya. Belum usai meneruskan, Aldo berteriak lantang.

“Yee, Ayah pulang. Lihat, Yah! Ini Kak Rama, Yah.”

Seorang lelaki yang mengenakan seragam putih, menghampiriku sembari mengulurkan tangannya.

“Inikah yang namanya Rama? Wah, selamat datang kembali di rumah ini, Ram. Jangan pergi lagi, ya. Kamu sudah lama dinanti Ibu Guru.”

Agak kikuk saat kudapati adegan ini. Sebelum akhirnya aku menguasai diriku sendiri.

“Saya datang bukan untuk pulang. Tetapi, pamit pergi dan selamanya takkan kembali,” kataku sambil menoleh ke arah Ibu Guru yang terus membisu.

Ada yang terlupa. Sebetulnya manusia tak hanya terbentuk dari lingkungan, pengetahuan dan pengalaman. Tetapi ia juga terbentuk dari kenangan.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan