luka-dan-bunga

Luka Tak Pernah Tua

Merawat luka adalah ratap paling kelam dalam kehidupan, ujarmu suatu petang ketika kutanyakan mengapa kau tak pernah melawan tatkala Karman melayangkan tangannya ke lengan, wajah, kepala bahkan pernah ke kemaluanmu. Apakah begini tabiat seorang istri ketika suaminya menyerupai Rahwana? Kau hanya menggenggam tanganku, meminta belajar sungguh-sungguh agar kelak aku sanggup meneruskan pendidikan tertinggi. Seolah-olah sekolah satu-satunya penentu kesuksesan hidup di muka bumi.

            Usiaku bisa jadi lima belas tahun. Namun, ingatanku selalu bernaung di segala macam umur. Semenjak resmi dinikahi Karman, tak sekali pun kau tersenyum. Dan kau selalu memintaku menyebutnya Uwak. Sedangkan aku tak pernah mau memanggilnya Uwak.

            Awalnya aku banyak berpikir, bagaimana menjalani hidup serumah dengan lelaki lain sedangkan Uwak tak sampai setahun mati. Demi menunjukkan diri betapa kau baik-baik saja, pigura bergambar Uwak tetap kau pajang di ruang depan. Sebuah foto yang diambil di pekarangan belakang, saat Uwak menunggu pesuruh memetik durian.

Kala itu, Husen si tukang foto jalanan sedang mengantar cetakan di rumah Misni. Uwak memberhentikan lalu meminta mengambil gambar kita bertiga. Uwak tak mengeluarkan rupiah. Cukup ditukar lima durian, dapatlah kita satu foto berukuran 10R berwarna hitam putih, padahal seingatku, baju yang kukenakan berwarna merah sebab Uwak suporter fanatik negara kita.

Foto itu tetap di sana sampai kau dinikahi Karman, dan dia meminta foto diturunkan. Aku kira, ini adalah mula pertengkaran-pertengkaran yang tak seimbang. Karman kerap kasar dan engkau selalu diam. Pasrah seakan dipukul suami adalah takdir Tuhan yang harus dihadapi dengan berbesar hati. Kau juga piawai memainkan peran. Boleh jadi pagi diamuk Karman, berderai air mata, batin terluka, namun di siang hari manakala ke pengajian, engkau mengumbar tawa seakan-akan tak terjadi apa-apa.

Andai perkawinan dengan Karman adalah menyelamatkan diri dari status janda, aku adalah orang pertama yang menyematkan amarah padamu. Tetapi aku sadar. Menguar emosi sama saja memberimu duri. Maka, seperti remaja lainnya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di bekap. Rerimbun bambu di tepi sungai yang menjadi rujukan membersihkan badan. Aliran airnya yang tenang dan agak dangkal, adalah kenikmatan yang tak bisa dibandingkan.

“Oi, Ehar! Apa kau mengintip malam pertama ibumu? Ah, pasti keduanya seperti lebah-lebah yang ingin memadu.”

Anak-anak yang tengah mandi ketawa mendapati selorohan Mahor. Aku tak terima. Tanpa mengenakan baju, kuhampiri Mahor yang hendak mandi. Meski Mahor jauh lebih tua, aku tak takut harus menghajarnya.

“Kau tak perlu marah begitu. Apa kau benar-benar tak tahu siapa Karman sebenarnya?”

Dari mulut Mahor aku tak pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Sungguh.

“Kau benar-benar tak tahu?”

Mahor mengajakku duduk di atas rerumputan. Ditaruhlah sabun dan handuknya itu, mulailah ia membuka kisah. Sebuah cerita yang entah menyesal atau tidak aku mendengarnya.

***

Wak Dar begitu terkenal lantaran sikapnya pada Rusmini. Anak satu-satunya yang menjalin hubungan dengan Karman. Sebagai anak tunggal dari seorang petuah, Wak Dar meminta mahar lima kerbau dalam jangka waktu sepuluh hari.

“Bagaimana saya memperolehnya, Wak? Tolong tambahkan dua puluh hari.”

“Hey, kau pikir anakku barang dagangan? Ditarik ulur macam kain saja. Kalau tak bisa, ya, sudah. Akhiri.”

Karman menyanggupi lalu keesokan hari menuju Kedawung. Membujuk ibunya menjual sepetak ladang peninggalan bapaknya yang sudah almarhum. Mula-mula ibunya keberatan. Bagaimana ia melanjutkan hidup jika sumber penghidupan dijual. Maka, demi mempersunting calon menantu, direlakanlah tanah itu.

Tanah dijual amat murah. Hanya tiga puluh juta dan itu hanya cukup membeli tiga ekor kerbau. Karman tak putus asa. Diserahkan dulu tiga kerbau tadi, sebagai bukti ia tak main hati, lalu memohon agar Wak Dar menambah hari. Sembari mengelus-ngelus janggut tuanya, Wak Dar mengganti dua ekor kerbau dengan uang lima juta. Dan itu dibayar dua hari lagi.

Betapa orang melarat memang diuji kesabaran. Jangan kau mengira Karman tak putus asa. Nyatanya, ia hampir menggantung diri hanya demi Rusmini. Kalau tidak Jumaji berbaik hati, barangkali ia telah mati. Jumaji pun menolong Karman dengan syarat ia bekerja di sawah Jumaji selama setahun tanpa upah. Karman mengangguk setuju. Diperolehlah lima juta demi mahar yang kelewat mahal. Sampai di sini, kisah ini seperti berakhir bahagia. Tetapi nasib lain berkata. Tanah sudah dijual, tiga kerbau diserahkan, masih bekerja tanpa diberi upah, hilanglah Rusmini ke pelukan orang.

Ketika Karman hendak menyerahkan uang itu, Ra’is datang melamar Rusmini. Membawa sepuluh ekor kerbau, tiga batang emas dan entah berapa puluh juta. Orang mana yang bakal memilih si melarat meski hampir sekarat demi memenuhi mahar.

“Kau kalah cepat. Bedug baru saja bunyi. Andai kau datang sebelumnya, tentu kau yang kupilih,” ujar Wak Dar tenang.

Karman tak banyak kata. Percuma bicara kalau pada akhirnya keputusan telah ditetapkan. Maka, ia keluar kampung dan baru kembali setelah mendengar Rusmini menjanda, usai Ra’is mati bunuh diri menanggung utang menjibun tinggi.

***

Mana hulu mana hilir, aku rasa kebingunganku kian membuncah tatkala Mahor menyelesaikan ceritanya. Berulang kali aku mengucek mata, memastikan bahwa aku masih berwujud manusia. Maka, gemericik aliran sungai yang dimainkan kawan-kawan, menyadarkan kalau aku masih di bumi. Dan yang Mahor ceritakan bukanlah kebohongan. Tak mungkin lelaki ini mengarang cerita, sebab hidupnya dikenal tak pernah dusta.

Meski tak sepenuhnya percaya, akan kutanyakan padamu kebenarannya. Tiada guna aku berburuk sangka kalau pada akhirnya kau mengakui juga. Tetapi, ketika sampai di pintu dapur, kudapati pelipismu berlumur darah. Kekasihmu di zaman dulu itu berdiri dengan muka kalap, mata melotot lebar.

“Kau pikir aku melupakan apa yang terjadi lima belas tahun lalu? Kau pikir apa yang Wak Dar lakukan tak membuatku ingin mati? Kau pikir ibuku mati bukan karena ini? Tanah, kerbau hilang tapi aku tak berhasil mendapatkanmu?!”

Lagi-lagi kau hanya berdiam diri. Merunduk sembari menangis.

“Kau pikir aku tak cemburu melihatmu berboncengan dengan Ra’is? Dan kau masih memajang foto lelaki yang tinggal tulang-belulangnya itu?”

“Fotonya sudah dilepas. Tak lagi aku pajang di luar.”

“Tapi kau tetap mengingatnya, Sundal!”

Karman mengambil sandal yang dipakai, lalu memukulmu berkali-kali. Aku tak terima. Selain menyiksa, ia juga memanggil ibuku pelacur. Tak sudi dia menyakiti perempuan yang melahirkanku ini.

Karman tak menduga aku berada di balik pintu. Ia tergagap saat melihatku menggenggam celurit lalu berlari ke depan. Engkau mengejar, tapi aku berhasil menerjang Karman sampai terjungkang. Sebetulnya, aku tak bermaksud berbuat begitu. Tapi aku kalap. Keinginanku satu-satunya hanyalah menghabisi nyawa Karman. Lelaki itu berusaha membuka pintu rumah yang terkunci. Kesempatan ini tak aku sia-siakan. Sekali tebas, darah segar muncrat dari lehernya. Karman tak meraung-raung kesakitan. Malah berusaha menyebut namaku sebelum akhirnya mati.

Engkau yang mendapati Karman bersimbah darah, menghampiri dan memeluknya. Aku jijik mendapati pemandangan ini. Ditambah lagi kau memasang wajah tak suka. Wajah benci pada aku, anaknya sendiri.

“Apa kau menganggap diri sebagai pahlawan? Apa kau senang membunuh orang? Apa kau tahu apa yang terjadi lima belas tahun lalu? Aku mengandung benih kelakian Karman sebelum akhirnya memasrahkan diri pada Rais.”

Kau tahu apa yang kupikirkan? Bayangan Sangkuriang yang membunuh bapak kandungnya, berkelabat begitu saja di pikiran.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan