20201209_174436

Mati Bagi Sufi

Aku masih terikat kepada dunia/ karena janji/ karena kenangan/ kematian hanya selaput gagasan/ yang gampang diseberangi/ Tak ada yang hilang dalam perpisahan/ semua pulih juga angan-angan/ dan selera keisengan (Soebagio Sastrowardoyo).

Kematian bukanlah sesuatu yang mengerikan. Ia bak jembatan yang dituturkan oleh Soebagio Sastrowardoyo. Ia menyebut selaput gagasan yang gampang diseberangi, seperti sebuah kesadaran akan kepastian. Dalam kematian itu pula kita menemukan ada yang saling menegasi dalam sajak Soebagio Sastrowardoyo. Ada kesan masih lekat dekat dan melekat dengan dunia, antara janji, kenangan, angan-angan, sampai dengan keisengan.

Kematian seperti sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari hidup yang sudah terlalu akrab. Kata akrab ini mengingatkan kita pada bagaimana para sufi menganggap kematian. Akrab seperti menandakan sesuatu yang sering dialami. Itulah mengapa seorang sufi menyambut kematian dengan riang gembira. Ada kisah menarik dari kematian sufi agung Rabiah Al Adawiyah. Di saat menjelang kematiannya berkumpul banyak orang di rumahnya. Rabiah mempersilahkan malaikat maut datang, dan meminta orang memberi jalan kepada malaikat maut. Setelah itu, Rabiah meminta pelayannya menutupkan kain kafan ke tubuhnya. Selang beberapa menit, Rabiah seperti meneriakkan kalimat tauhid. Selepas itu ia meninggal dengan tenang.

Manunggaling Kawula Gusti

Kematian para sufi identik dengan konsep manunggaling kawula Gusti. Menyatunya ciptaan dengan yang menciptakan. Seperti yang dikatakan oleh Al-Hallaj Ana-al-Haqq, Akulah kebenaran. Goenawan Mohamad (2011) menceritakan kisah Al-Hallaj : Akhir hayat sufi ini sangat dramatis. Ia dianggap kafir oleh fatwa Muhammad bin Dawud, ulama madzah Dhahiri; Al-Hallaj dituduh mengatakan ia telah bersatu dengan Allah. Pada tanggal 26 Maret 922, dalam usia 64, al-Husain bin al-Manshur al-Hallaj dieksekusi, setahap demi setahap. Mula-mula ia dikerat putus hidungnya, lalu dipotong kaki dan tangannya, kemudian disalibkan. Ketika ia belum mati juga, lehernya dipenggal. Akhirnya jasadnya disiram minyak dan dibakar.

Kisah ini mengingatkan kita pada tabir kematian Syekh Siti Jenar yang juga mengalami hukuman serupa oleh Wali sanga. Siti Jenar dihukum karena mengaku dirinya menyatu dengan Tuhan. Apa yang dialami Siti Jenar juga dialami oleh Malangsumirang yang ada dalam Babad Jaka Tingkir. Goenawan Mohamad (2011) mengisahkan Malangsumirang sebagai seorang yang tak mau sembahyang bersama di masjid. Disuruh salat tak sudi. Ia congkak, tak segan kepada siapapun. Ia provokatif. Ia punya seekor anjing yang mengacau: binatang yang  dianggap najis oleh kebanyakan kaum Muslimin di Jawa ini disuruhnya masuk ke rumah peribadatan.

Para wali bersepakat Malangsumirang harus dihukum mati karena menerjang larangan syariat karena ia mengaku jadi badan sang roh/ dan bahkan mengaku jadi tempat ilahiangaku badan rokani/ kabanjure angaken kahaning hyang. Malangsumirang dibakar hidup-hidup di alun-alun Demak. Malangsumirang tak termakan api. Diiringi anjingnya, ia menulis. Seluruh hadirin dari Raja, Para wali dan rakyat yang menonton tercengang. Mereka melongo kehilangan kata-kata.

Kematian para sufi dari al-Hallaj sampai dengan Malangsumirang juga pernah ditulis oleh pujangga terkenal di tanah Jawa, Ranggawarsita. Dalam penutup Kalatida yang dikutip dari Kamajaya (1964), sang pujangga menulis :  mati sajroning ngaurip, kalis ing reh huru-hara murka angkara sumingkir, tarlen meleng malatsih, sanityasa tyas mamatuh, badharing sapudhenda, antuk majar sawatawis, borong angga suwarga mesi martaja

Kaum sufi memaknai hidup ini adalah sebuah ruang pencarian. Saat manusia menemukan jalan atau makna hidup, maka mereka akan menemukan tiada yang lebih berarti kecuali mencintai dan mendekat kepada-Nya. Karena itulah dalam hidupnya, mereka terus-menerus menyebut asma-Nya hingga hati dan pikirannya dipenuhi oleh Sang Khaliq.

Ketika hati, raga dan jiwa mereka sudah terpaut kepada Sang Khaliq, sebagaimana yang ada dalama hadist qudsi, tangannya menjadi tangan-Nya, langkahnya menjadi langkah-Nya, penglihatan menjadi penglihatan-Nya.

Para sufi sudah menemukan kematian sebelum kematian dalam arti sesungguhnya. Mereka membuat ragawi mereka mati tapi menumbuhkan dan menjaga jiwa mereka terus subur.

Walau dikritik Fazlurrahman bahwa sufisme justru membuat Islam dalam kemunduran, para sufi memiliki sudut pandang berbeda memaknai hidup. Jalan sufi dianggap berbeda dari jalan nabi. Nabi tetap menghadapi realitas hidup dengan gagah dan juga menjalani hidup seperti (manusia) biasa.

Para sufi menganggap kematian sebagai gerbang untuk mencapai kekasih-Nya. Saat ia sudah mati sajroning uripmati dalam hidup,maka ia akan lebih mudah lagi saat menghadapi kematian yang sesungguhnya.

Ada kalimat menarik yang saya baca dalam novel Mati Bertahun Yang Lalu (2010) karya Soe Tjen Marching; Hidup memberi candu yang paling berbahaya: harapan akan euforia sehingga begitu takut manusia mengkhianatinya. Bagi kaum sufi, hidup justru menjadi ruang yang penuh ekstase yang dijadikan penantian panjang untuk bertemu dengan Sang Kekasih (Tuhan). Karena itulah segala kesenangan dalam hidup, segala candu dan kenikmatannya, hanyalah semu yang tidak mereka nikmati apalagi mereka kejar. Itulah makna mati sajroning urip.

 

Nb : sumber gambar lovepic.com

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan