tukang-cerita-dan-ceritanya

Matinya Tukang Cerita dan Sebuah Cerita yang Belum Diceritakan

Pada mulanya aku meragukan kematian Samin. Tak percaya lelaki itu bakal pergi setelah mendengar ceritaku yang mahapanjang. Andai aku mengisahkan pembunuhan, perampokan sadis yang memutilasi korban, barangkali masuk akal ia meninggal. Tetapi, ini kisah bukan berisi keberingasan. Ditambah lagi, Samin mengedipkan mata tiga kali manakala tubuhnya hendak dibungkus kain kafan. Aku kian tak percaya dia mati.

Itulah sebabnya kusampaikan padamu. Semampu mungkin aku ringkas agar kau betah berlama-lama di situ.

***

Syahdan, di tepi Sungai Mrawan, kau selalu disebut-sebut orang lantaran kepiawanmu mencipta kisah. Orang-orang yang hendak membersihkan badan, terlebih dulu singgah di gubuk tua di atas bukit, menghadap selatan. Di sanalah kau menghidupkan cerita-cerita. Dari zaman nenek moyang sampai percakapan antar binatang, kau mahir mempermainkan peran.

Kisah bukan sekadar kata, sejarah tak sekadar peninggalan, ia kudu menyusup ke hati lalu tumpahlah jadi budi pekerti, katamu saban petang, sebelum membuka kisah-kisah yang hendak kau-utarakan.

Baik tua ataupun kanak-kanak, mereka amat girang manakala kau datang dengan rambut tergerai usai berkelana seharian. Usai fajar sidiq menyingsing, biasanya kau pergi ke arah timur, kadang-kadang ke utara. Berkelana ke Alas Kedawung, seakan-akan dengan berkelana-lah kau memperoleh kisah-kisah itu.

Tetapi orang-orang tak peduli. Yang mereka pedulikan adalah memperoleh kisah yang akan dikisahkan kembali di rumah masing-masing. Dengan gubuk beratap daun aren, mereka saling merapatkan badan mencari tempat ternyaman. Agaknya, tempat ini sengaja kau pilih sebab sekalipun berjubel, orang-orang takkan kepanasan. Angin berulangkali keluar masuk lewat bilik-bilik bambu. Kalau menghadap selatan, bening Sungai Mrawan terdengar. Jika arah timur yang ditengok, tampaklah hamparan kaki Raung menjulang.

Begitulah. Usai menyelesaikan empat rakaat asar, kau memulai kisah. Tentang masjid kecil di pedalaman Kedawung yang dibangun guna mengenang Letkol Sroedji. Pahlawan yang mati melawan Belanda. Kedua matanya dicongkel lalu badannya diarak di depan truk menuju alun-alun kota. Pertumpahan darah terjadi bermula dari mata. Mata-mata yang lebih memilih rupiah dibandingkan mempertahankan kemerdekaan. Sisa pasukannya yang berhasil menyelamatkan diri berlari ke Pakusari, juga mati lantaran ada mata-mata.

“Mata jika tak ditempatkan pada tempatnya, tak ubahnya orang buta yang menganggap gajah adalah binatang kecil karena yang dipegang adalah ekornya,” katamu diiringi anggukan orang-orang.

Lain waktu kau kisahkan kembali zaman kolonial.

“Agar kalian tak terlalu membenci mereka, maka akan saya sampaikan kalau orang pribumi macam kita berhasil memikat seorang bangsawan. Bila tak percaya, pergilah ke Maesan. Carilah sepetak sawah di samping kantor polisi, niscaya kalian bakal temukan sebuah makam bergaya Belanda. Dialah Djamelah Birne. Pribumi yang menikahi sepupu George Birne. Orang Belanda pertama yang memiliki hak guna usaha tembakau di daerah Jenggawah selama 75 tahun.”

“Mereka telah merenggut banyak nyawa. Termasuk kakek saya, MahaGuru.”

Entah siapa yang memanggilmu MahaGuru. Semenjak itu sebutan itu melekat kecuali aku yang tetap bersikukuh menganggapmu sebagai tukang cerita. Sebab yang kau sampaikan memang cerita.

“Terowongan Mrawan memang menelan banyak korban. Tetapi, percayalah, Lah Ta’ala tak menutup mata atas apa yang kakekmu persembahkan.”

Sungguh, ucapanmu mengandung banyak kebajikan. Segala kesombongan, congkak dan sifat buruk lainnnya, rasa-rasanya amat jauh darimu. Inilah musabab kedua, mengapa orang-orang kian betah berada di gubuk ini. Untuk itu semua, kau meminta izin dua puluh satu hari. Berkelana ke Alas Purwo. Bukan mencari pesugihan melainkan mencari makna kehidupan.

Awalnya keberatan. Orang-orang tak berkenan sebab mereka akan berpuasa tiga minggu lamanya tanpa cerita. Maka, usai kau sampaikan dengan perasaan paling tulus, mereka membekalimu banyak doa. Banyak makanan dan beberapa uang. Pergilah kau ke arah timur membawa semua bekal yang ditaruh di atas gerobak. Kalau berjumpa orang-orang tua, kau berikan sebungkus nasi. Berjumpa dengan anak-anak kecil, kau bagikan pula nasi-nasi itu. Kau sendiri mempercayai ilmu sedekah. Tuhan takkan membiarkan ciptaanNya kelaparan jika senantiasa memberi. Dan itu terbukti. Makin banyak kau memberi, makin banyak pula kau diberi. Tak habis. Bahkan isi gerobakmu selalu penuh tak mengikis. Sampai-sampai, sebungkus nasi terjatuh. Beruntung isinya tak berhamburan. Hanya bungkusnya yang sobek dan kau memilih memakannya sendiri sebab tak baik memberikan sesuatu yang buruk pada orang lain.

Setiba di Alas Purwo pun kau tak melakukan ritual apa-apa layaknya mereka-mereka yang berniat bertapa atau mencari kekayaan di sana. Kau hanya menerka dan mendengarkan segala cerita dari orang-orang yang kerap berkunjung, lalu kau memaknai dalam-dalam. Walaupun sempat singgah di pikiran tentang keheranan dirimu melihat pemujaan ini, kau berusaha menenangkan diri jika budaya adalah salah satu alat mendekatkan diri pada Pencipta.

Usai mengelilingi Alas Purwo dan menginap beberapa malam, kembalilah kau ke tepi Sungai Mrawan. Membawa segerobak makanan yang selalu penuh, lalu kau bagikan pada orang-orang, dan kau juga diberi orang-orang. Sesampainya di tepi Sungai Mrawan, orang-orang tak jadi mandi. Mereka menyambutmu bak pahlawan. Tak sabar menanti cerita apa yang bakal didongengkan. Mula-mula kau kisahkan Blambangan. Minak Jinggo hingga musabab Suku Osing mengasingkan diri.

Mula-mula tak ada yang sadar. Apa yang kau ceritakan selalu mengandung kebajikan. Hingga salah seorang pemuda menyadari ada keanehan saat kau menyuruh orang-orang menebang pohon bringin yang berusia ratusan tahun. Katamu, pohon itu kerap jadi sarang pemujaan. Padahal sesungguhnya, hanya Lah Ta’ala yang pantas dipuja. Meski orang-orang keberatan, mereka tak punya kuasa apa manakala kau menebangnya sendiri. Sebetulnya, Pemuda itu tak terima. Apalagi, musim kemarau telah tiba. Aliran Sungai Mrawan menipis. Dan sumber pohon beringin itu mati lantaran tak ada tempat penyimpanan air. Apa daya, ia hanya pemuda dan kau MahaGuru yang dihormati banyak orang. Hingga pada suatu petang, kau menyampaikan anjuran di luar nalar.

Saat seorang lelaki merasa jenuh pada istri, ia berhak mempergauli perempuan lain dengan restu sang istri. Lelaki itu tulang punggung rumah tangga. Tanpa mereka nasi tak bakal ada di talam. Apalagi menyenangkan suami adalah sunnah Nabi. Harus diikuti. Katamu berapi-api. Sebagian kecil bersorak ria, tetapi sebagian besar melihat ada kejanggalan atas segala nasehatmu.

Pemuda yang kritis tadi akhirnya membuka suara. Mencari cara membuktikan kalau MahaGuru telah berubah teladannya. Maka, tengah malam ia membuntuti MahaGuru yang kebetulan berjalan ke kebun belakang. Bersama beberapa orang, ia menyaksikan bagaimana kau menyetebuhi babi, lalu membunuh dan melahapnya tak ada sisa. Orang-orang amat geram. Lalu menangkap dan menggiringmu ke lapangan.

Kau tak hanya dicaci, kau dipukuli berkali-kali sampai-sampai darah merembes dari hidung dan muka.

“Itu lebih baik daripada berzina dengan manusia. Percayalah, ini yang Lah Ta’ala sampaikan pada saya.”

“Katakan pada Tuhanmu. Tuhan Kami tak pernah menyuruh seperti itu,” ujar pemuda tadi, sambil menyirami tubuhmu dengan minyak tanah. Menyalakan korek api, matilah kau dalam kobaran api.

***

 

Begitulah riwayat tukang cerita itu dan beginilah akhir kematianmu, Samin. Pemuda kritis yang menyirami seliter minyak tanah pada MahaGuru. Padahal kau belum tahu, Samin, mengapa MahaGuru menyimpang begitu. Sebetulnya, saat MahaGuru tengah berkelana menuju Alas Purwo, lalu sebungkus nasi terjatuh di atas tanah. Ada setan yang menyusup pada sebutir nasi lalu dimakan MahaGuru. Ia tak sadar ucapannya bukan lagi berasal dari bisikan Tuhan, melainkan dari setan yang mengalir dalam darahnya. Itulah musabab mengapa ia menyuruh orang-orang melakukan hal mursal, dan ia melakukan lebih mursal dari apa yang sesungguhnya Tuhan ajarkan.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan