penulis-sedang-menulis-tulisannya

Membincangkan Penulis dan Tulisan

Di saat kata-kata tak lagi memiliki daya, barangkali tulisan adalah satu-satunya yang diharapkan di dalam dunia yang runyam dan tersungkur seperti sekarang ini. Di masa Soekarno, Presiden pertama Indonesia, orang mungkin tergerak dan percaya pada kata-kata yang dilisankan. Di masa itu pula, orang masih kerap berkerumun, berkumpul, membincangkan politik, sampai dengan persoalan sehari-hari.

Kini, apakah yang lisan itu masih bergemuruh?, apakah yang lisan itu masih memiliki kekuatan dan riak-riak itu akan menjadi gelombang sebagaimana yang terjadi di masa lalu?. Rasa-rasanya yang lisan itu pun telah menjadi pinggir. Kini, orang melisankan kehidupan mereka, bercakap dan mengubah malam menjadi panggung obrolan hanya terjadi di desa-desa.

Jaman telah berubah begitu cepat. Desa tak lagi ramai seperti dulu. Hal ini saya alami jelas ketika saya di Blora. Kampung seperti sunyi, senyap, tapi ramai di dalam rumah. Kampung-kampung kini berubah menjadi ruang privat, ruang yang tersekat-sekat. Orang mulai rajin memunggungi desa mereka. Orang-orang rajin terduduk dan tersungkur tidur menikmati yang televisi sajikan. Obrolan pun sebatas “rerasan”, yang hanya ada dalam hati kita. Hal itu juga tak berbeda dengan masa kecil di mana saya tinggal; di Klaten. Ada yang mulai hilang dalam kebiasaan kita terutama dalam hal “kelisanan”.

Orang mulai beralih ke teknologi, internet. Handphone bukan hal yang mahal dan elit lagi. Kaum tua sampai dengan anak-anak rasanya tak ada yang asing dengan handphone. Selain serbuan pasar yang begitu deras, ternyata ada perubahan kultur yang begitu terasa akibat gencaran teknologi ini. Yang lisan semakin hilang. Semakin tak ada lagi percakapan-percakapan di bus, kereta, apalagi pesawat. Orang lebih akrab dan nyaman dengan telepon genggam mereka masing-masing.

Di saat tangan sudah menjadi medium untuk menemukan berita, tulisan, hiburan, dan kenikmatan, kini percakapan tak lagi diperlukan. Tulisan menjadi hal yang mudah untuk dinikmati dengan sekejap. Orang bisa dengan mudah menemukan berita, hiburan, maupun status dan kabar berita dari teman, sampai dengan presiden kita, hanya melalui telepon genggam. Peristiwa berubah jadi berpasang huruf-huruf di layar genggam kita. Tulisan kemudian menggantikan yang lisan. Huruf-huruf itu menggantikan mulut-mulut dan lidah-lidah kita yang cerewet.

Pada keadaan yang demikian itu, dimana posisi seorang penulis? Inilah pertanyaan yang patut kita ajukan di dunia yang begitu riuh seperti sekarang. Mari kita simak bagaimana Paul Auster seorang penulis dan penyair Amerika mengisahkan kedudukan penulis. “Aku berbicara soal menulis, atau lebih tepatnya menjadikan tulisan sebagai kendaraan untuk bercerita, menceritakan hal-hal yang kubayangkan dan takkan pernah terjadi di dunia nyata. Tentu saja itu cara yang aneh untuk menghabiskan waktu dalam hidupmu–duduk sendirian di sebuah kamar dengan sebentuk pena di tangan, menunggu sampai jam demi jam berlalu, hari demi hari berlalu, tahun demi tahun, dan terlibat dalam persiteruan hebat demi menuangkan kata-kata di atas kertas. Kertas yang nantinya akan melahirkan apa-apa yang tak pernah ada, kecuali di dalam kepalamu. Kenapa juga ada orang yang mau melakukan hal macam itu? Satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan adalah: karena aku harus melakukannya, karena aku tidak punya pilihan”.

Ada keresahan dalam diri Paul Auster sebagai penulis, tetapi di sisi lain ada keengganan dari seorang penulis untuk mengisahkan eksistensi mereka. Ada kesadaran, bahwa dari tulisan mereka, mereka merasa bukan siapa-siapa. Ini tak jauh beda dengan yang dinyatakan oleh Gao Xingjian seorang peraih nobel tahun 2000 dalam pidato penerimaan nobel ia mengatakan: “ Penulis juga bukan nabi. Apa yang penting adalah hidup pada saat ini, sadar dari keterpedayaan, menanggalkan pelbagai delusi, memandang dengan jernih pada masa kini dan pada saat yang sama menelisik sang diri. Sang diri ini juga kekacauan menyeluruh dan selagi mempertanyakan dunia dan orang lain seorang mesti meneropong ke dalam dirinya sendiri pula”. Dalam kalimat lain ia menuliskan “ Hanya tatkala perasaan-perasan si penulis sebagai seorang individual merembes di dalam karyanya, maka perasaan-perasaan itu akan bertahan dari terkaman waktu dan terus hidup untuk waktu yang lama”.

Inilah sebenarnya hakikat penulis dan tulisannya. Ia sebenarnya sama dengan kedudukan manusia lain. Ada pekerjaan yang mesti diselesaikan baginya. Dan pekerjaan itu adalah mengisi pikiran-pikiran orang-orang, agar kelak pikiran-pikiran itu berjalan sebagaimana mestinya. Melalui tulisan, orang menjadi, -meminjam kata St.Kartono, bahwa hidup kita itu bukan fiksi. Lebih dari itu, penulis tentu punya dunia ideal yang mendasari tulisan-tulisannya. Melalui dunia ideal itu, dan tulisannya, penulis telah bekerja diam-diam, dan rapi, hingga kadang serangga pun tak mendengar dan mengetahuinya. Tapi saat itulah, sebenarnya, kerja penulis terasa sekali, terasa betul, saat ada pembaca. Saat itulah, tulisan dan penulis memiliki hubungan yang tak terpisahkan.

Makanya, menjadi penulis apalagi di Indonesia, tak perlulah kita bergaya dan sok-sok’an. Sebab di dunia yang seperti sekarang ini, atau di dunia di masa lampau, penulis tetaplah bukan pekerjaan yang hebat sebagaimana tukang kayu, tukang batu, dan pekerjaan lain yang lebih berguna.

*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, guru MIM PK Kartasura

,

2 tanggapan ke Membincangkan Penulis dan Tulisan

  1. Arif Yudistira 11 November 2016 pada 10:50 #

    Terimakasih mas Ahmad Mujib tanggapannya

  2. Ahmad Mujib 7 November 2016 pada 16:53 #

    Sekarang, tulisan menjadi sarana paling efektif untuk menggerakkan perubahan dalam segala bidang.

Tinggalkan Balasan