mengabdi-dalam-keberagaman

Mengabdi Lintas Batas

Perkenalkan, saya Alfiano. Seorang biarawan, calon missionaris Serikat Sabda Allah (SVD). Sebagai seorang calon missionaris, saya sudah barang tentu mesti menjalani semua tahapan formasi yang berlaku di dalam lembaga seminari. Salah satunya ialah Tahun Orientasi Pastoral, atau yang lebih populer dikenal dengan istilah masa TOP. Tahun Orientasi Pastoral atau masa TOP ini merupakan suatu tahapan di mana seorang calon missionaris diterjunkan ke tengah-tengah umat untuk kemudian belajar dan menyimak situasi umat di era sekarang. Pada masa TOP inilah seorang calon missionaris disiapkan lebih dini untuk mengenal medan pastoral yang akan ditempuh dan dialaminya. Untuk itu, dia mesti belajar sejak awal agar mampu memahami dan mengenal umat dan situasinya yang kemudian mampu menemukan metode pastoral yang tepat di kemudian hari.

Sebagaimana biasanya, seorang calon imam tentu akan menjalani masa praktiknya di paroki-paroki, lembaga-lembaga tertentu, dan tempat-tempat lainnya yang semuanya itu merupakan komunitas Kristen. Akan tetapi, Gereja Katolik tidak menutup diri untuk berdialog dengan agama lain. Gereja juga tentunya bertumbuh dan berkembang dari dan melalui dialog. Hal itu terungkap dalam peristiwa Allah yang mengambil inisiatif untuk berdialog dengan umat-Nya di dalam diri Putera-Nya, Yesus Kristus. Atas dasar itu pula, maka Gereja pun juga mesti berdialog dengan agama lain sebab seyogianya Gereja tidak lagi mengklaim bahwa kebenaran itu hanya ada, oleh dan di dalam Gereja. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya dialog sebagai salah satu metode untuk menumbuhkembangkan Gereja, maka Gereja pun mengutus umatnya untuk hidup dan berada bersama dengan ‘yang lain’. Untuk kepentingan itu, saya sebagai seorang biarawan, calon missionaris Serikat Sabda Allah diutus untuk hidup dan berada serta mengabdi secara total di Pondok Pesantren Walisanga Ende. Sebagai sebuah pondok pesantren tentu semua anggota komunitas di dalamnya ialah Muslim. Saya menerima SK perutusan tersebut dengan penuh kegembiraan dan kecemasan, tetapi saya juga merasa bangga karena ini merupakan awal bagi saya untuk merajut sebuah mimpi yang entah.

Awal kisah, saya agak kaku dan kurang fleksibel. Maklum, saya kini berada di sebuah komunitas yang amat berbeda seperti sebelumnya. Langkah awal yang diambil tentunya akan menjadi kunci utama dalam perjalanan selanjutnya. Untuk itu, di masa-masa awal saya berusaha belajar dan beradaptasi dengan pola dan keseharian hidup mereka. Di sini saya berusaha menjalankan spirit passing over ala St. Freinademezt. Dan memang ampuh adanya. Sebulan awal berjalan dengan baik.

Setiap hari saya menjalani tugas sebagai seorang guru dan sekaligus pembimbing. Sebagai guru, saya dipercayakan untuk mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris. Sementara sebagai seorang pembimbing, saya diberi tugas untuk senantiasa mengontrol para santri untuk bergegas sholat segera setelah adzan di Masjid dikumandangkan. Menarik, bukan? Ya, amat menarik. Saya sebagai seorang yang berlatarbelakang agama Katolik senantiasa memberikan ajaran yang baik kepada para santri yang beragama Islam. Dialog, relasi dan semua aktivitas harian kami berlangsung tanpa kaku. Semuanya berlangsung seperti adik-kakak sebab kami merasa sudah terikat satu sama lain layaknya saudara.

Meskipun baru lebih kurang 2 bulan di sini, tetapi saya sudah merasakan atmosfer yang begitu ‘hangat’ di sana. Kami merangkai kisah setiap hari bersama-sama untuk kemudian menggapai mimpi bersama-sama pula. Rupanya, semesta pun tak akan menghilangkan kisah kasih yang telah rajut dari kepala kami. Semuanya tetap melekat erat dalam ingat dan enggan tuk berlalu menjadi kenangan yang tak laku. Sebab semuanya terangkai atas nama cinta. Dengan demikian, saya hendak mengatakan bahwa tak ada lebih kaya dari cinta sebab cinta mampu mematahkan sekat-sekat perbedaan dan tak ada yang lebih miskin dari rindu sebab rindu senantiasa mengantar kita pulang kepada kenangan-kenangan indah di masa lalu. Karena itu, kami dari Ende mengajak kita semua untuk kembali menjunjung tinggi semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ lantaran sama itu sudah basi dan beda itu amat luar biasa.

Salam PANCASILA.

Baca juga:

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan