menjadi guru di rumh

Menjadi Guru di Rumah

Ki Hajar Dewantara menyebut ada tiga elemen penting dalam pendidikan kita. Tiga elemen itu adalah keluarga, sekolah, dan lingkungan. Bila di masa sebelum pandemi, sekolah dianggap sebagai institusi yang mendominasi pendidikan, maka saat pandemi, peranan sekolah tidak lagi menghegemoni. Pendidikan kembali ke asal muasalnya yang paling dini; keluarga. Pandemi mengajarkan kita untuk menguatkan kembali peranan keluarga sebagai sebuah ruang belajar yang paling utama.


Di era yang penuh perubahan seperti sekarang ini, kebijakan begitu cepat berubah, termasuk dalam bidang pendidikan. Kita hampir dituntut untuk bisa beradaptasi di era yang serba cepat, fluktuatif dan dangkal. Di era yang serba cepat seperti sekarang ini, kita semakin tidak bisa menikmati waktu luang, semakin hilang kesempatan untuk merenung, menggali sesuatu lebih dalam. Pendidikan pun pada akhirnya harus ikut serta dalam arus dunia yang serba dangkal, mencintai permukaan, dan gagap terhadap perubahan.

Ketidaksiapan kita akan derap perubahan dalam bidang pendidikan ini sebenarnya pernah diungkapkan dalam buku Emha Ainun Najib yang bertajuk Indonesia Bagian dari Desa Saya (2016). “Bagaimana anak-anak kita yang sesungguhnya cerdas-cerdas menjadi kurang bertumbuh karena kita punya kecenderungan untuk terlalu mengatur mereka, terlalu menentukan, terlalu ‘menyutradarai’, terlalu melarang atau memerintah, mengarahkan—betapapun itu semua bisa kita sebut dengan kata-kata luhur : menuntun, membimbing. Ini membikin kemerdekaan batin anak-anak tercegat-cegat. Perkembangannya menjadi cenderung timpang, dan ‘mogol’, berada di bawah apa yang seharusnya dimungkinkan oleh potensi dasarnya.”

Emha menyebut salah satu yang kurang dan timpang dalam pendidikan kita adalah aspek “kreatifitas”. Pendidikan di masa pandemi sebenarnya adalah kesempatan kembali mengelaborasikan betapa pentingnya rumah sebagai sebuah ruang belajar. Bukan “belajar di rumah” semata. Akan tetapi sebuah kesadaran ulang memaknai “rahim” dan asal muasal pendidikan kita.

Di rumah itulah sebenarnya kita kembali memaknai segala peristiwa yang ada antara orangtua dan anak sebagai sebuah pelajaran penting dalam kehidupan mereka. Jangan sampai apa yang dilakukan anak di setiap detiknya kita kesampingkan sebagai sebuah proses “belajar”. Orangtua justru terlihat kelimpungan dan kebingungan saat anak-anak mereka belajar di rumah. Mereka menganggap bahwa anak-anak mereka tidak belajar sama sekali. Kualitas intelektualitas mereka menurun, dan semakin ketinggalan pelajaran. Itulah keluhan-keluhan yang sebenarnya mencerminkan pendidikan kita belum mengubah secara mendasar paradigma belajar.

Pendidikan di masa pandemi covid-19 adalah momentum mengembalikan sistem pendidikan kita pada sistem paguron. Hubungan guru-murid dalam sistem paguron adalah seperti keluarga. Ada interaksi aktif antara guru murid yang lebih lama. Ada aspek penting dalam sistem paguron yang dirintis Ki Hajar Dewantara yakni kemerdekaan jiwa anak, dan juga pendidikan adab atau budi pekerti. Saat anak belajar di rumah, sebenarnya amat banyak nilai-nilai yang bisa kita ajarkan kepada mereka.

Dari kebiasaaan bangun pagi, membersihkan tempat tidur, membersihkan rumah, belajar kemandirian dengan makan sendiri, belajar menata barang dan merapikan barang, belajar interaksi dengan teman saat bermain, hingga belajar mengatur waktu untuk makan dan masih banyak aneka pelajaran di rumah yang bisa kita praktekkan bersama anak kita. Sayang, orangtua masih menganggap dan memisahkan proses belajar di rumah itu hanya sekadar PR dari sekolah. Aktifitas dan tugas dari sekolah mestinya mengelaborasikan dan memanfaatkan momentum penting bagaimana anak mengamati bertanya, belajar dan sepenuhnya menghayati apa yang mereka lakukan selama mereka di rumah.

Anak-anak perlu memahami bahwa saat ini adalah situasi pandemi yang tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Mereka tentunya juga belajar dari iklan yang disiarkan melalui televisi mengenai kampanye pencegahan virus covid-19 seperti lagu “Pesan Ibu” yang sudah karib di telinga mereka. Anak-anak sudah belajar makna lagu dan bagaimana menerapkannya dalam keseharian mereka. Artinya mereka tidak hanya menyanyikan lagu semata, tapi memahami apa yang sedang terjadi saat ini. Saat anak memahami korona dan juga bahayanya, mereka sebenarnya sudah belajar banyak hal. Timothy D Walker seorang guru yang menulis buku Teach Like Finland (2017) mengungkapkan dalam bukunya bahwa penting bagi seorang guru untuk memberi kebebasan yang bertanggungjawab kepada muridnya. Konsep Timothy sebenarnya sama dengan konsep among, momong yang ada dalam sistem Taman Siswa. Artinya, guru hanya sekadar membimbing, mengarahkan, dan biarlah anak tetap merdeka jiwanya tanpa terpukul apalagi patah jiwanya.

Guru di Rumah

Hampir sebagian besar orangtua tidak menyadari bahwa mereka adalah seorang pendidik. Mereka secara sadar atau tidak sadar memiliki peranan penting dalam kehidupan seorang anak sebagai seorang guru. Orangtualah yang pertama kali menerapkan konsep-konsep “boleh” dan “tidak boleh” dilakukan kepada anak mereka. Mereka juga yang pertamakali menerapkan standar moralitas “baik” dan “tidak baik” dilakukan bagi seorang anak. Namun, berapa banyak orangtua yang memahami bahwa mereka adalah pendidik terbaik anak-anak mereka. Akhirnya orangtua menyerahkan pendidikan anaknya dari tingkat paling dasar sampai tingkat dewasa kepada sekolah sampai universitas. Sehingga peranan pendidikan kemudian bergeser dari orangtua kepada orang lain (institusi).

Kritik kepada sekolah kepada insitusi pendidikan dari tingkat dasar sampai kementrian sebenarnya sudah sering dilontarkan. Di masa pandemi, kita sebagai orangtua sebenarnya dituntut kembali untuk menjadi guru bagi anak-anak kita di rumah. Dibutuhkan bekal keterampilan maupun pengetahuan sebagai modalnya. Menyiapkan bekal keterampilan dan juga bekal pengetahuan kepada orangtua di rumah menjadi penting. Pertanyaanya, sejauh mana kebijakan kementrian dan juga institusi pendidikan (sekolah) memperhatikan aspek ini saat anak-anak diserahkan kembali di rumah untuk berguru (kembali) kepada orangtua mereka?. Inilah aspek penting dari pendidikan di era pandemi yang belum banyak diperhatikan dan digagas oleh dunia pendidikan kita. Sementara tuntutan untuk mengedukasi anak secara optimal dibebankan kepada orangtua kita.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan