filosofi-kopi-menulis-dan-pecinta-kopi

Menulis dan Pecinta Kopi

Penulis sudah tak dapat dipisahkan dari kopi. Banyak penulis hebat yang sekaligus pencinta kopi. Mengapa banyak penulis senang menulis di cafe sambil ngopi? Rupanya ada alasan tersendiri. Tak dapat dipungkiri sebagian besar penulis adalah pecinta kopi.

Cafe identik dengan tempat orang untuk bekerja dan ngobrol. Seorang penulis terkadang lebih senang menulis di cafe ketimbang di rumahnya sendiri, padahal kan mungkin lebih nyaman dan murah. Konon, suara latar belakang di cafe yang khas, malah bisa membantu seorang penulis untuk berkonsentrasi dalam menghasilkan tulisan. Suara obrolan orang dan suara-suara lainnya ini memberi “warna” tersendiri. Warna latar belakang dalam benak seorang penulis. Kalau di rumah, penulis mungkin mendengar suara latar belakang musik yang ia setel atau kesibukan didalam rumah, sedangkan di cafe ia mendengar suara latar belakang yang lain. Bisa musik yang dipasang disana, atau suara obrolan orang, mungkin malah bisa menenangkan pikiran dan membuat ide-ide mengalir dengan lancar.

filosofi-kopi-menulis-dan-pecinta-kopiNah, bicara soal menulis dan kopi, kita tentu sudah pernah mendengar bahwa kopi mengandung bahan cafein. Ini merangsang otak untuk berkonsentrasi dan berpikir. Otak rasanya jadi lebih terang dan ide-ide lebih mudah muncul. Selain itu, cafein juga bisa memberi efek yang menenangkan pada pikiran. Dengan pikiran yang tenang, tulisan pun lancar mengalir. Pikiran juga lebih tertata. Dengan pikiran tertata, ide mengalir lebih runtut dan alur berpikir lebih jelas, tidak meloncat-loncat. Ini pada gilirannya sangat berpengaruh pada kualitas tulisan yang kita hasilkan.

Cafe punya atmosfirnya tersendiri. Ada banyak orang dan kisah di sana. Bukankah setiap orang punya kisah drama hidupnya masing-masing? Saat kamu menulis di cafe, mungkin ada dua orang gadis yang duduk di meja yang bersebelahan denganmu. Tanpa sengaja, kamu menangkap obrolan mereka. Gadis pertama menceritakan tentang perselingkuhan kekasihnya dengan salah seorang mantan teman SMA-nya. Ia jadi tidak terima. Ingin membalas tapi tidak tahu harus berbuat apa. Si gadis kedua (temannya) hanya bisa mendengarkan sambil manggut-manggut, namun nampak jelas ia kurang bisa berempati dengan temannya yang malang itu. “Mau namun kurang punya kepekaan,” begitu pikirmu.

Itu saja sudah bisa menjadi titik tolak untuk sebuah tulisan di layar laptopmu. Seorang penulis piawai tak akan pernah kehabisan ide menulis. Ada begitu banyak ide bertebaran di sekeliling kita setiap hari. Kehidupan itu sendiri adalah gudang ide. Begitu pula dengan suasana cafe yang menghadirkan kehidupan tersendiri. Cafe adalah “surga ide” untuk seorang penulis.

Setiap orang adalah penulis kisah hidupnya sendiri. Namun sayangnya, banyak orang membiarkan orang lain yang lebih berperan menuliskan kisah hidup mereka. Mereka tidak menjadi “tuan” atas hidupnya sendiri. Selalu hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Selalu hidup di bawah kendali orang lain. Kalau sudah begini, ia sulit berkembang optimal dan menjadi versi terbaik dari dirinya. Sulit mengeluarkan yang terbaik dari dalam dirinya. Sebagai seorang penulis, jangan sampai itu terjadi pada hidupmu. Kamu adalah penulis kisah hidupmu sendiri. Jangan biarkan seorang pun merebut “pena” dari tanganmu.

Kembali lagi ke kopi…sesuatu yang berlebihan itu selalu tidak baik. Begitu juga dengan kopi. Sebisa mungkin, batasi kopi untuk menemani kamu menulis, cukup satu cangkir sehari. Namun jika otakmu menjerit mendamba lebih agar percikan kreatifitas bisa menyala, apa boleh buat? Imbangi dengan olahraga teratur. Jalan pagi adalah solusi termudah.

Menulis adalah kegiatan yang membutuhkan semangat. Tanpa semangat, seorang penulis akan melempem dan kurang produktif. Di sini sekali lagi kopi hadir menunjukkan jasanya. Secangkir kopi banyak manfaatnya. Ia tak meminta imbalan apa pun, semata-mata ingin mendukungmu menghasilkan karya-karya terbaik.

Meski identik dengan penulis, kopi bukan obat absolut untuk kamu menghasilkan karya tulisan yang baik. Kamu tetap bisa menulis tanpa harus berada di cafe dan ditemani secangkir kopi. Tetap niat dan ketekunan jadi kunci dan modal utama seorang penulis. Jadikan kopi bagai seorang “sahabat pendukung.” Ia bisa hadir saat kamu ingin dan butuh. Namun tanpa dia kamu harus tetap bisa berfungsi mandiri dan utuh.

Mari menulis….mari ngopi…

“A warrior is armed with a weapon and a writer is armed with a pen accompanied by a cup of COFFEE”

– Naveen Chandu

 

Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan