dalam-hujan-ada-patah-hati

Menyederhanakan Hujan dan Patah Hati

Tidak ada sebab yang pasti mengapa tiap kali gerimis selepas terik di siang bolong membuat kenangan terpanggil kemudian berdesakan di kepala. Entah kemana pula, kenangan-kenangan itu pulang usai hujan yang kosong membasahi tanah, begitu juga dengan pertanyaanku yang masih sama, di mana ia tinggal? Kolong kasur?

Derai rintik hujan semakin ramai di kaca jendela pada sebuah kedai, bersama aku di dalamnya, tepat berhadap-hadapan dengan kenangan, juga tak luput kopi, gula beserta kudapan ringan. Sorot matanya tajam menembus dinding dan relung hati tiap pengunjung. Kuperhatikan dengan seksama, rupanya ia memantulkan cahaya dari dada ke dada, membuat kesepian seolah menjelma nyata. Ya Tuhan, jadi, begitu sistem kerja dari jebakan kenangan? Menular dari keheningan dan kenyamanan aroma tanah basah, menjerat tiap hati yang mulai kosong lalu melemparkan ke dalam pantulan cahaya matanya. Di sana, pada sebuah ruang kedap suara, engkau akan segera disuguhi memorabilia pilihan yang patut disimpan rapi dalam kepalamu, melihat kembali album bahasa, album rasa hingga album rupa. Bila waktunya tiba dan engkau sama sekali tak siap, ingatanmu akan terpelanting dan hancur berkeping-keping. Sejauh yang kutahu, dari titik inilah engkau akan mulai menyusun kembali gerbang ingatan.

Tapi, lebih baik engkau jangan senang dulu, selepas gerbang mewah yang bernama ingatan itu sudah dapat berdiri megah. Sebab kenangan akan melulu memasuki kedai-kedai dan melancarkan jebakannya berupa memantulkan cahaya dari dada ke dada, entah siap entah tidak, engkau pasti terkena. Yang siap, mereka adalah pilihan. Yang tidak, hanya cukup mengulang. Sederhana.

Tempat dudukku masih lekat di hadapan kenangan, langit di luar juga tak kunjung terang. Mendung menggulung serta melibas siapa saja yang sedang patah hati. Rupanya, bagi penduduk sekitar kedai, bermandikan hujan adalah upacara sakral untuk menikmati duka. Saat kutanya, “Mengapa harus ketika hujan?” Mereka menjawab, “Tidak ada hal yang romantis lagi untuk melipur patah hati manusia, selain hujan. Engkau dapat memanggil siapa saja dengan lantang, engkau dapat menangis dengan sepenuh hati dan engkau dapat mencintai siapa saja, termasuk pohon kesepian di ujung jalan.” Kemudian mereka berlarian membelah kota, menyapa batu dan pepohonan yang melambai sahaja.

Engkau harus tahu, patah hati bagi mereka adalah keniscayaan. Siapapun tak dapat menghindar. Engkau hanya bisa menyederhanakannya. Bermandikan hujan, semisal.

Baca juga:

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan