wed

Merayakan Hari Pernikahan Mantan

Semalam, seorang kawan mengirim pesan singkat; ada mayat mengapung di Kali Bedadung. Aku tak peduli. Bunuh diri, kek. Mati meloncat ke sungai, kek. Itu hanya pekerjaan orang yang menantang Izrail. Paling-paling si mayat baru putus cinta. Seperti tempo hari. Manakala pinangan ditolak, berdirilah seorang lelaki di atas jembatan, dan tak lama kemudian meluncur bebas ke arah sungai.

Beruntung sekali aku memilikimu, Sarah. Saat aku menceritakan matinya lelaki itu, kau berulang kali mengikrar setia dan tak akan memutus cinta kita secara sepihak. Bahkan, ketika aku izin hendak menemui kawan lama di Surabaya, kau tampak keberatan. Berat melepas perpisahan.

“Tak bisakah lewat handphone saja? Sekarang zaman maju, Rung. Bisa bertatap muka lewat WhatsApp.”

“Ini perjumpaan memiliki makna cerita. Tidak berisi janji melainkan utang budi. Percayalah, sampai mati aku bawa ke liang lahat. Kamu tak mau aku mati memanggul sekarat, bukan?”

Mendadak kamu membawa kasus pembunuhan, dan perampokan yang terjadi di berbagai daerah. Ya…ya..ya.. apa yang kamu sampaikan adalah bentuk kekhawatiran. Meski aku menanggapi dengan tawa kecil, aku tak berniat tak menghargaimu. Lantas, apa yang pantas dirampas dariku, Sayang?

Aku bukan orang yang layak dibunuh dan takkan bisa terbunuh. Satu jari manis bayi yang meninggal dalam kandungan adalah bukti akulah bandit tak terkalahkan. Lagi pula, saat kubongkar makam Maryam, perutnya kubedah, kuiris jemari anaknya yang ikut mati itu, saat itupula aku bersumpah takkan berhenti menjadi bandit sebelum aku menguasai wilayah Tapal Kuda. Ambisi inilah yang menjadi alasan pertemuan dengan kawanku di Surabaya.

Dulu, aku perampok amatiran. Hanya bermodal nekad, aku rampas siapa yang memamerkan perhiasan yang menjuntai di kedua lengan. Ditambah banyak kalung di leher sekaligus beberapa anting di telinga. Umumnya, perempuan ini tak benar-benar kaya. Mereka sok kaya saja. Kalau betul-betul kaya, justru penampilannya sederhana. Seperti Bill Gates atau Mark Zuckerbeg si pemilik Facebook. Dia terlihat mengenakan kaos oblong melulu, bukan? Merekalah orang kaya sejati. Sebab kaya pada dasarnya ada di hati.

Nah, seiring bertambahnya jam terbang, modalku merampok orang bertambah jua. Selain nekad, aku harus memiliki tekad dan niat. Dengan begitu, seluruh aksi yang kulakoni makin diincar polisi. Berkali-kali mereka menjebak, berkali-kali pula aku lolos dari kejaran. Sayangnya, saat tak sengaja melepas jimat jemari bayi ketika mandi di kangai, satu brigade polisi menyergap. Aku tak tahu kalau azimat itu pantang tercebur air.

Ketika aku digiring mobil polisi, salah seorang anggota mencomot pistol hendak menembak kaki. Katanya, aku pasti kabur. Padahal tanganku diborgol dan mukaku babak belur dihantam kepalan aparat ini. Ah, beruntung salah seorang polisi menahan. Aku tak jadi ditembak.

Entah aku menjadi incaran polisi provinsi atau bukan, nyatanya, polisi yang menahan menembak kakiku juga diangkat dan bertugas di Surabaya. Saat aku divonis tujuh tahun, lalu dipindah ke lapas ibukota provinsi, polisi yang menangkapku itu datang membesuk dengan ekspresi seperti keluarga yang lama tak bertemu. Begitu tiap Minggu. Dia datang membawa seplastik makanan, dan aku mendengarkan ceritanya yang tak jauh dari prestasinya menangkapku ini.

“Harusnya kamu berterima kasih dengan sikap kooperatifku,” kataku sembari melirik tahanan yang lain. “Aku bisa saja kabur dan kamu tak jadi diangkat.”

 “Ah, kamu ini. Tak usah ungkit masalah itu, lha.”

“Utang budi takkan terbalas sampai mati.”

“Ya, aku tahu apa yang kamu mau.”

Usai mengatakan kalimat itu, aku tak tahu apa yang ia lobi. Nyatanya, aku mendapat remisi paling banyak di antara napi yang lain. Setelah menjalani dua pertiga masa tahanan, aku bisa mengajukan bebas bersyarat. Padahal, lapas provinsi ini dikenal tak mudah memberi keringanan pada napi. Tetapi, aku yang hanya menjalani empat tahun di penjara, bebas seperti burung keluar dari sangkar.

Karena itu, Sayang. Biarkan aku pergi menemui polisi berambut plontos sekaligus berperut buncit itu. Utang budi ini sungguh-sungguh takkan terbalas sampai mati. Dan kau selalu begitu; diam membisu. Ketika aku mengutarakan janji pergi barang dua hari, kau mengernyitkan dahi tanpa suara. Kukatakan padamu akan segera pulang, bahasa tubuhmu tak berubah. Akhirnya kuputuskan pergi menemui si polisi tanpa restu darimu.

Di dalam kereta, aku lupa menyampaikan padamu tentang jemari bayi yang kucuri sepuluh tahun silam. Sebetulnya, aku hendak mengambil jimat itu sekarang. Sewaktu aku tertangkap hendak mandi di kangai, polisi─kawan karibku itu─menemukannya di atas rerumputan dan berjanji akan mengembalikannya setelah aku bebas. Maafkan aku, Sarah, tak kusampaikan padamu sejujurnya. Sebetulnya, agak ganjil jua kenapa si polisi itu berkawan baik denganku. Atau jangan-jangan, dia naik pangkat karena jimat? Ai, pantas dia mengatakan punya utang budi.

Setelah memakan waktu lima jam perjalanan, akhirnya aku sampai di Stasiun Gubeng. Amat ramai. Padahal ini jauh dari lebaran. Orang-orang berisik. Was-was. Ketakutan. Berhamburan. Seperti ada yang kurang beres.

“Ada apa?”

“Teroris mengebom dua gereja. Keadaan sedang genting. Bahaya,” kata seorang ibu paruh baya ketika kuhentikan di depan peron.

Lagi-lagi teroris. Segera kuhubungi polisi gendut itu. Berkali-kali tak diangkat. Jangan-jangan dia turut sibuk pula. Aku tak putus asa. Berkali-kali kuhubungi, dan baru terjawab pada panggilan ke dua puluh satu.

“Maafkan aku, Rung. Sepertinya kita tak bisa berjumpa sekarang. Cepatlah kembali. Suasana sedang tak baik.”

Ai, aku hanya hendak meminta jimatku, tetapi si polisi malah menyuruhku pergi. Sial. Dasar sial. Paling-paling dia mau mencari prestasi mengenakan jimat itu agar diangkat ke jabatan lebih tinggi lagi. Dasar.

***

Sarah, maafkan segala cerita yang kusampaikan ini. Maafkan tentang jimat, bandit, atau si polisi tadi. Jimat itu tak pernah ada. Apalagi aku yang berprofesi sebagai bandit ulung. Aku tak memiliki niat, tekad bahkan nekad untuk berbuat begitu. Jadi, tak mungkin aku berjumpa dengan polisi berambut plontos itu. Maafkan aku telah menggunakan kemahiran mengarangku membohongi dirimu.

Juga, tentang serangan teroris saat aku berada di Surabaya. Yang terjadi sesungguhnya adalah serangan itu terjadi beberapa waktu lalu. Sarah, satu-satunya yang harus kau percayai adalah keberadaanku di Surabaya. Hari ini. Di dekat gedung yang menggelar pesta pernikahan.

“Kamu yakin ke sana? Apa tak sebaiknya kita kembali?” Asan yang mengabari peristiwa bunuh diri di Kali Bedadung menarik lengan. “Ayolah, Rung. Tiada guna ke sana. Yang ada justru air mata. Kamu tak ingat cerita di FB yang seorang lelaki pingsan mendatangi pernikahan mantannya. Kamu tak mau begitu, kan?”

“Justru kalau tak ke sana, aku seperti pengecut lari dari kandang ayam. Lagipula, bukan aku yang pingsan. Yang ada justru penganten perempuan yang pingsan,” jawabku beranjak pergi.

“Rung. Arung.”

“Apa lagi?”

Ini buat apa?”

Asan menyodorkan secarik kertas dan pulpen. Tadi pagi sebelum berangkat ke stasiun, aku menyuruhnya membawa dua barang itu.

Kuhela napas beberapa kali. Sebelum akhirnya kutulis sebuah kalimat. Dilipat, dan dimasukkan ke dalam amplop putih.

Pernikahanmu mengoyak-ngoyak perjumpaan. Menyibak pelarian. Mengantarkan perpisahan. Selamat. Kalian menang. Mari, kita rayakan.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan