Misteri Leher Terpelintir

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Innalilahi wa innailaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah Bapak Broto bin Sukarto pada usia 57 tahun. Alamat duka di Jalam Ambarawa No. 21. Jenazah akan dikebumikan hari ini bakda sholat dhuhur. Demikian pemberitahuan ini, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Terdengar pengumuman dari pengeras masjid menggema pagi ini.

Aku tersentak mendengar pengumuman dari takmir masjid melalui pengeras masjid yang beberapa detik lalu baru berhenti menggema. Tetanggaku yang sekaligus seseorang yang sudah kuanggap sebagai saudara itu belum ada seminggu aku bertemu dengannya. Lebih tepatnya baru lima hari ini aku mengunjungi rumah Broto.

Kulihat usaha sate ayamnya yang terletak di depan rumahnya itu berkembang pesat. Hal ini jauh berbeda dari sebelumnya. Dulu ia hanya seorang penjual sate keliling. Namun kini ia sudah memiliki warung makan sendiri. Dinding rumahnya yang dulu hanya gedhek–anyaman bambu–dan terlihat hampir ambruk, sekarang sudah menjadi bangunan kokoh dengan dinding tembok.

“Sini-sini masuk, Man. Nggak usah sungkan-sungkan.” Ucap Broto mempersilakan aku masuk ke dalam rumah barunya.

Aku semakin tercengang saat memasuki ruang tamunya. Terlihat perabotan di rumahnya begitu banyak. Televisinya keluaran terbaru, sofa yang kududuki terasa sangat empuk, dan di sudut ruang terpampang guci besar yang harganya pasti tidaklah murah.

“Kondisi ekonomi kamu sudah lebih baik ya, Brot?” tanyaku basa-basi.

“Iya. Alhamdulillah usahaku berkembang jauh lebih baik.” Sahutnya penuh percaya diri.

“Ekonomimu sekarang bagaimana, Man?” imbuhnya berbalik tanya.

“Aku masih sama kayak dulu. Ya … yang penting bisa buat makan sehari-hari sama biaya sekolah anak sudah cukup,” jawabku tak kalah percaya diri.

            Aku dan Broto terlibat perbincangan hangat. Lama sekali kami berbincang-bincang. Namun aku tidak menyangka bahwa hari itu adalah terakhir kalinya aku berbincang dengannya.

“Mas! Kok ngelamun?” ucap istriku menepuk pundakku dan membangunkanku dari lamunan.

“Eh, anu, enggak.”

“Mas, sudah dengar kabar belum? Pak Broto teman Mas itu meninggal karena kecelakaan.”

“Iya, Mas sudah tahu.”

“Tapi ya, Mas, dengar-dengar meninggalnya itu secara tidak wajar. Katanya tetangga sebelah, Pak Broto ‘kan meninggalnya karena kecelakaan, tapi kakinya hancur patah-patah seperti terpotong-potong gitu, Mas. Dan anehnya lagi, lehernya terpelintir seperti ayam habis disembelih,” istriku terus nyerocos.

Heh! Nggak boleh ngomong kayak gitu!” Nada ucapanku sedikit meinggi. Aku mencoba tidak mempercayai ucapan istriku. Meski dalam hati penasaran juga.

Ihh! Mas mah enggak percayaan orangnya. Ya sudah deh, Siti siap-siap dulu buat melayat ke sana.”

Mendengar penuturan istriku, aku teringat akan peristiwa empat bulan lalu. Aku menerka-nerka bahwa meninggalnya Broto ada hubungannya dengan itu.

***

Lebih jauh, empat bulan yang lalu kondisi ekonomi Broto masih sangat terpuruk. Kehidupannya carut marut. Bahkan jika dibandingkan denganku, kondisi ekonomiku jauh lebih baik darinya. Makan seadanya, hutang sana-sini, dan usahanya hampir bangkrut. Sampai suatu ketika, Broto menghubungiku ingin bertemu denganku. Menawarkan peluang usaha katanya.

“Man, aku punya solusi supaya kita nggak hidup susah terus.” Ujarnya antusias.

“Apa?” tanyaku.

“Istriku barusan cerita, temannya punya kenalan orang pintar di Gunung Limo. Sebutlah Kuncen, dia bisa mengubah hidup seseorang. Sudah banyak yang berhasil katanya.”

Aku mencoba menerka-nerka arah pembicaraan Broto. Perasaanku mulai tidak enak. Namun aku masih setia mendengarkan ia berbicara hingga selesai dan mencoba berpikir positif.

“Kamu mau nggak?”

Em, ma–maksudnya gimana, Brot?” aku membalasnya dengan berbalik tanya. Aku mencoba meminta penjelasan lebih lengkap maksud ucapannya. Sebetulnya aku sedikit sudah menangkap maksud pembicaraan Broto, namun aku ingin dia mengutarakan secara langsung tujuan pembicaraannya.

“Kamu masa nggak paham to, Man Giman.” Broto terkekeh melihat ketidakpahamanku.

“Istilahnya seperti pesugihan gitu, Man. Kamu mau enggak?”

Deg!

Tidak salah lagi. Dugaanku memang benar. Broto mengajakku untuk kaya dengan cara instan. ‘Astaghfirullah.’ aku membatin.

Lama aku tidak menjawab dan mengatakan aku meminta waktu ingin berpikir dulu. Broto terus memengaruhi agar aku mau mengikuti sarannya. Ia terus berbicara agar aku yakin rencana pesugihan yang ia tawarkan. Namun aku memutuskan untuk menolak ajakan Broto. Aku masih menjaga iman dalam diriku.

“Ya sudah, Man. Nggak papa kalau kamu nggak mau ngikutin saranku. Tapi aku minta tolong, temenin aku ke Gunung Limo ya?” pinta Broto.

Hah! Permintaan apa lagi ini? Aku diminta menemaninya ke gunung yang terkenal angker itu?

Heh! Giman!” celetuk Broto membangunkan lamunanku.

“Tolonglah, Man. Kamu sahabatku satu-satunya. Lagian kamu nggak ikut ritual pesugihan. Saya ‘kan cuma minta ditemenin,” Broto terus mengiba. Ia terus merayuku agar mau menuruti permintaannya.

Sebetulnya aku sangat keberatan dengan permintaan Broto ini. Akan tetapi karena ia terus mendesak, akhirnya dengan terpaksa dan karena kasihan, aku mengabulkan permintaannya.

***

Masih terlalu pagi, aku dan Broto sudah berada di terminal menanti bus untuk menuju lokasi Gunung Limo berada. Meski letak Gunung Limo masih satu kabupaten dengan dusun kami, namun jaraknya terbilang lumayan jauh. Aku hanya membawa bekal seadanya. Sementara Broto membawa tas yang cukup besar dipunggungnya. Isi tasnya ubarampe–perlengkapan– sesajen katanya.

Dalam hati aku terus merapal doa-doa yang aku bisa agar diampuni atas apa yang kulakukan ini. Aku tidak berniat untuk melakukan pesugihan, aku hanya menemani Broto saja. Allah juga pasti lebih tahu apa yang ada dalam benakku.

Setibanya di lereng Gunung Limo, di sana hanya ada pohon-pohon besar di kanan kirinya. Jalannya pun cukup terjal. Aku dan Broto melewati pelataran gunung ke atas melewati semak belukar dan pepohonan lebat penuh akar-akaran. Aku cemas. Sementara Broto menjelaskan bahwa rumah Kuncen sekaligus tempat pertapaan yang ia maksud masih jauh di atas sana.

Dari gugusan gunung yang berjumlah lima itu salah satunya adalah tempat untuk bertapa atau bersemedi atau juga disebut teteki. Untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak rintangan seperti tangga–ondo rante. Selain itu, kami harus menembus hutan lebat, tebing yang terjal, serta Selo Matangkep. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Selo Matangkep adalah sebuah celah sempit di antara batu besar yang hanya cukup dilewati sebadan orang saja. Di pintu masuk Selo Matangkep tersebut dipercaya apabila ada pengunjung yang berniat jahat, maka ia tidak akan bisa melewatinya. Sementara itu bagi yang berniat baik untuk berkunjung ke pertapaan, kendati mustahil ia berbadan besar maupun kecil pasti bisa melewatinya. Selain itu masih banyak sejuta aura mistik lainnya dari Gunung Limo tersebut.

Dengan penuh kewaspadaan, aku berjalan mengekor Broto. Batuan besar maupun semak belukar berkali-kali menggores tangan maupun kaki bila tak hati-hati. Hari mulai gelap. Suasana mencekam. Aku terus berdoa agar hal buruk tidak menimpa kami. Serangan binatang buas seperti celeng–babi hutan–, macan, ular, dan binatang buas lainnya yang menjadi pokok kewaspadaanku.

Hampir satu setengah jam perjalanan, Broto menunjuk sebuah gubuk bambu di bawah pohon yang amat besar. Pohon besar yang menaungi gubuk itu terlihat menyimpan aura mistis. Batangnya tak cukup jika dirangkul lima orang, menandakan usianya telah ratusan tahun. Daunnya pun sangat lebat. Suasananya sangat sepi. Hening. Tidak terdengar suara selain suara ranting daun pohon tertiup angin, benar-benar sepi.

Lamat-lamat terlihat gubuk kecil di bawah pohon besar itu nampak sudah reyot. Aku tidak tahu persis, pandanganku pun juga terbatas. Karena hari sudah malam dan hanya senter yang dibawa Broto alat penerangan kami. Broto mengungkapkan bahwa itu rumah Kuncen yang dia maksud.

Setibanya di gubuk itu, aku merasa hawa dingin tiba-tiba menyerang seluruh tubuhku. Padahal sebelumnya dalam perjalanan, aku tidak merasa kedinginan sama sekali. Bulu kudukku merinding. Gubuk itu berdiri sendiri di tengah hutan gunung, dan hanya terlihat lampu sentir–seperti lampu minyak sebagai alat penerangan pada zaman dahulu sebelum adanya listrik dan menggunakan bahan bakar minyak tanah–di samping kanan dan kiri teras gubuk tersebut sebagai alat penerang. Kami memasuki gubuk Kuncen itu. Baru selangkah aku menginjakkan kaki di gubuk tersebut, aroma dupa begitu menusuk hidung. Perasaanku benar-benar tidak enak. Kami masuk dan duduk di hadapan Kuncen tersebut dengan beralaskan tikar pandan.

“Saya capek hidup susah terus, Mbah. Saya pengen hidup enak, kaya, banyak uang,” ujar Broto mengutarakan maksud kedatangannya.

Kuncen yang dipanggil Simbah itu masih memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit entah apa yang dirapalkan. Pakaian serba hitam membungkus tubuhnya yang berperawakan kecil dan kurus. Menurut analisisku, Simbah Kuncen itu berusia sekitar delapan puluh tahunan. Terlihat dari jenggot yang panjangnya sekitar satu jengkal itu sudah hampir putih semua–meski masih ada beberapa helai yang berwarna hitam–, serta garis kerutan di wajahnya yang begitu menonjol.

Di hadapan Simbah Kuncen terdapat beberapa kendi, dupa yang telah dibakar, serta bermacam-macam bunga tertata rapi di atas tampah–perabot rumah tangga yang terbuat dari anyaman bambu dan biasa digunakan untuk menampi (membersihkan) beras. Pandanganku terus menyapu seluruh ruangan. Di setiap sudut ruangan itu seperti menyimpan banyak misteri di dalamnya.

“Saya sudah tahu maksud kedatangan kamu ke sini untuk melakukan ritual,” ucap Simbah Kuncen sambil tangannya menunjuk ke arah Broto. Namun matanya masih terpejam.

“Sedangkan kamu hanya menemani bukan?” lanjutnya lagi. Kali ini arah telunjuknya mengarah padaku.

“I–iya, betul, Mbah,” jawab Broto.

Suasana hening sejenak. Sesekali hanya terdengar suara jangkrik maupun bangkong–katak besar–terdengar bersahutan di luar sana.

“Apa kamu yakin bersedia menemui Nyai Ratu dan mempersembahkan tumbal untuknya?” tanya Simbah Kuncen.

“Yakin, Mbah.” Broto menjawab dengan mantap.

“Apa yang akan kamu tumbalkan untuk Nyai Ratu bila ia mengabulkan keinginanmu?” tanyanya lagi.

“Saya menumbalkan diri saya sendiri, Mbah.”

Kekayaan dunia telah membutakan Broto untuk menempuh jalan instan yang tidak dibenarkan seperti ini. Bagaimana mungkin ia rela menumbalkan dirinya sendiri untuk kekayaan dunia yang hanya sesaat? Apakah Broto tidak memikirkan risikonya sangat besar? Aku berkali-kali melafalkan istighfar dalam hati. Aku juga terus memohon agar Broto dibukakan pintu hatinya dan mau kembali ke jalan yang benar.

Setelah mendengar kesanggupan dari Broto, Simbah Kuncen itu langsung menyuruh Broto untuk pergi ke puncak gunung dengan membawa serta ubarampe–alat-alat sesajen–yang telah dibawanya dari rumah dan melakukan ritual di sana.

Sepeninggal Broto, aku berada di gubuk itu hanya bersama Simbah Kuncen. Jantungku berdegup tiga kali lipat lebih kencang dari biasanya. Aku terus memohon agar aku diberi perlindungan oleh Allah SWT.

Sesekali aku mendengar suara aneh menelusup telingaku. Seperti suara wanita sedang tertawa cekikikan. Aku bergidik ngeri. Di ruangan yang seluruh sudutnya dipenuhi dengan sesajen nasi tumpeng lengkap dengan ayam ingkung–ayam utuh termasuk jeroannya dimasak santan–di atasnya itu benar-benar membuat tubuhku bercucuran keringat. Belum lagi aroma dupa maupun bunga melati yang hampir membuatku muntah karena tak kuat dengan aromanya. Suasana hening. Tetapi kadang terdengar cekikikan mistis itu lagi. Begitu pun seterusnya.

Keesokan harinya aku terbangun saat mencium aroma melati begitu menyengat.

“Astaghfirullah!” Spontan aku berteriak saat melihat sosok wanita berparas ayu berpakaian kebaya Jawa kuno lengkap dengan riasan di kepalanya berdiri di sudut ruang dekat sesajen diletakkan.

Aku menggosok kedua mataku. Berharap ini hanyalah halusinasi semata, atau aku hanya sedang bermimpi. Ya. Setidaknya hanya itu harapanku saat itu. Namun wanita itu terus menatapku tajam. Tanganku meraih apa yang bisa kuraih sebagai pegangan. Alhasil tikar pandan yang mengalasi tubuhku kuremas tanpa sadar. Sebenarnya aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat saat itu. Aku mencoba menelan ludahku sendiri, namun tenggorokanku terasa getir.

Aku juga tak mengerti sedang berada di mana. Karena aku tidak ingat kapan aku mulai tertidur, dan kapan aku bisa terbaring di ruang sempit nan sesak beralaskan tikar pandan itu. Pikiranku mulai tak bisa berpikir jernih. Aku menduga bahwa Simbah Kuncen telah berbuat sesuatu padaku.

“Broto …!” aku kembali berteriak. Karena hanya Broto yang mungkin bisa menolongku saat itu.

Tak berselang lama, pintu ruang itu terbuka dengan sendirinya, seperti terdorong oleh angin. Terdengar seolah seperti dongeng, tetapi ini benar-benar nyata. Tiba-tiba Simbah Kuncen sudah berada di bibir pintu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Batinku terus melangitkan doa, agar diberi perlindungan oleh Sang Pencipta.

“Ampun, Nyai Ratu. Jangan ganggu dia.” Tutur Simbah Kuncen kepada sosok wanita cantik itu sangat lirih namun aku masih bisa mendengarnya. Kedua tangannya mengatup di depan dada dan kepalanya menunduk seperti menyembah.

Saat aku berkedip, tiba-tiba sosok wanita cantik itu hilang seketika. Tubuhku bergetar hebat. Tanpa sadar keringat dingin mengucur di pelipisku.

“Sudah tidak apa-apa. Mari keluar.” Titah Simbah Kuncen mempersilakan aku keluar dari ruangan yang hampir membuat jantungku hampir copot itu.

***

Setengah jam kemudian, Broto kembali lagi ke gubuk Simbah Kuncen. Perasaan lega akhirnya menghampiriku. Setidaknya kawanku itu masih bisa kembali dengan selamat.

“Saya sudah melakukan ritualnya, Mbah.” Tutur Broto dengan napas memburu dan bercucuran keringat duduk di tempat semula saat pertama datang kemari.

“Sekarang kalian pulang, dan bawa ini.” Ujar Simbah Kuncen sembari mengambil sesuatu dari dalam kendinya. Setelah dikeluarkan ternyata sebuah batu berwarna putih dengan corak hitam seukuran jempol kaki orang dewasa.

Batu putih bercorak hitam itu lantas dibungkus dengan kain putih kurang lebih seukuran sapu tangan. Aku menduga bahwa kain itu adalah kain kafan. Terlihat dari tekstur kainnya juga warnanya. Meski aku tak memegangnya, namun aku bisa membedakan antara kain kafan dengan kain biasa.

“Terima kasih, Mbah. Kami pamit pulang.” Ujar Broto setelah menerima pemberian dari Simbah Kuncen.

Aku benar-benar lega bisa keluar dari gubuk Simbah Kuncen tersebut. Jika tahu akhirnya akan seperti ini, aku tak akan menyanggupi permintaan Broto untuk menemaninya.

***

Suasana berkabung di rumah Broto begitu terasa. Tampak istri dan anak-anaknya menangis tanpa henti. Setibanya aku di sana ternyata jenazah Broto baru akan dimandikan. Karena kedekatanku dengan Broto seperti seorang saudara, aku berniat ikut memandikan jenazahnya.

‘Astaghfirullah.’ batinku saat melihat kondisi Broto yang sangat mengenaskan. Ucapan istriku benar, bahwa kedua kaki Broto hancur menjadi beberapa bagian. Lalu yang membuatku bergidik ngeri, lehernya terpelintir ke belakang layaknya ayam habis disembelih.

Astaghfirullahaladzim. Apa ini akibat dari perbuatannya yang menginginkan kaya secara instan? Aku sangat bersyukur karena masih ada iman dalam diriku, dan tidak tersesat dalam rayuan setan untuk mengikuti ritual pesugihan.

Tidak hanya itu, saat dikebumikan pun terjadi masalah. Para penggali kubur yang bekerja dari jam sembilan pagi hingga jenazah tiba di pemakaman pukul dua belas lebih, namun galian kuburnya tak kunjung mencapai kedalaman yang diinginkan. Kira-kira hanya mentok sampai satu meter. Aku tak ingin menduga yang tidak-tidak. Akan tetapi kenyataannya seperti ini. Seakan bumi menolak jenazah Broto. Astaghfirullah.

Namun, Ustaz Komar membacakan doa kemudian menyuruh penggali kubur untuk melanjutkan pekerjaannya lagi. Benar saja, penggali kubur bisa membuat galian mencapai ketinggian yang diinginkan.

Usai acara pemakaman selesai, Ingin sekali aku menanyakan pada Ustaz Komar apa yang terjadi dengan meninggalnya Broto. Karena Ustaz Komar selain orang yang agamis dan taat agama, beliau juga terbukti bisa melihat hal gaib yang tidak diketahui oleh orang biasa sepertiku. Akan tetapi, aku mengurungkan niatku. Biarlah semua ini menjadi rahasia Tuhan. Tuhan lebih tahu apa yang tidak diketahui oleh makhluk-Nya. Wallahu alam.

Baca Juga: Air Mata Keadilan

 

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan