lightning-4234254__340

Musyrik

Kisah ini kusampaikan padamu dengan air mata jatuh satu-satu. Sudilah kiranya kau mendengarkan barang satu-dua menit, sebelum akhirnya hikayat ini terkikis kemarau. Namun, bila kau tak betah di situ, tutuplah kisah ini. Doakan aku. Moga-moga aku mampu berlama-lama di sini.

Berpuluh-puluh tahun lalu, tari Ojung tak ubahnya pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Atraksi para lelaki yang saling memecut tubuh menggunakan rotan, benar-benar mampu menurunkan hujan. Apalagi di Karangharjo yang berada di pucuk timur Jawa, tarian ini tak ubahnya ritual musim yang wajib digelar.

Adalah Murtadi, lelaki yang bertempat tinggal di Karang Kedawung ketuanya. Bilamana cuaca dirasa begitu terik, jagung-jagung menguning, pawang-pawang hujan tak sanggup melontarkan garam-gula diiringi mantra-mantra ke langit, ia mengumpulkan sebelas lelaki di sepetak tanah gersang yang terletak di bawah pohon beringin peninggalan kompeni. Saling melepas baju, saling berpasangan, saling memukul tubuh lawan menggunakan rotan, diiringi bunyi gong dan gamelan. Tak lupa pula di kedua kaki dipasangi gemerincing logam.

Orang-orang tak perlu bayar karcis. Mereka hanya perlu doa bersama, memohon pada Lah Ta’ala agar langit menumpahkan air, agar sumur tak lagi kering. Ladang-ladang tak gersang. Daun-daun tak menguning. Ah, barangkali kau tak percaya. Menganggap kisahku ini khayalan semata. Sungguh, barang sehari dua hari usai pertunjukan, hujan-hujan benar-benar lebat. Kabut-kabut pekat kembali menyergap. Begitulah orang zaman dulu. Sakti tanpa senjata. Kebal karena mantra. Kata seorang lelaki paruh baya yang kutemui di kangai sewaktu hendak membersihkan badan.

Kala itu, Murtadi kerap naik-turun gunung. Ia mencari madu asli Karangharjo yang tekstur tanahnya berada di pegunungan. Tak sembarang waktu ia memanen. Agustus-Oktober adalah waktu paling potensial. Musim kemarau adalah waktu terbaik sebelum memasuki penghujan. Apabila sarang lebah terkena hujan, kualitas rasa akan berkurang. Cara memanennya pun tak serampangan. Jika lelaki lainnya membabat habis sarang lebah, Murtadi justru memotong dua per tiga ujung sarang yang biasanya dinamakan kepala sarang. Di sanalah tempat cadangan madu lebah yang tiap tiga minggu tumbuh kembali. Kalau dipotong semua, nektar, larva, lumbung makanan, polen sampai tempat lebah hancur semua. Tak bisa dipanen lagi. Jika menggunakan cara Murtadi, maka satu pohon bisa dipanen berkali-kali.

Tak ayal madu Murtadi begitu mahal. Satu botol minuman air kemasan dijual seratus lima puluh ribu. Belum sampai Karang Kedawung sudah ludes dibeli pelanggan. Biasanya, Darhem yang menunggu di perempatan. Berhubung saling kenal, Murtadi selalu mampir ke rumah Darhem mengantar pesanan. Begitulah awal mula kisah ini bergemuruh.

Setiap Murtadi menunggu Darhem bekerja, ia duduk berlama-lama dengan Rahma, anak semata wayang Darhem. Mula-mula biasa saja. Tetapi lama-kelamaan, keduanya tak sekadar bersahabat. Entah apa yang diperbincangkan, wajah Rahma selalu senang tak kepalang. Hingga beberapa waktu kemudian, Darhem mencium gelagat keduanya.

“Apa yang kau harapkan dari lelaki penari Ojung itu?! Dia tak punya apa-apa kecuali mantra pemanggil hujan. Apa kau mau makan air setiap hari, ha?”

“Dengarlah dulu, Uwak. Tak baik menghina lelaki yang tak punya ayah-ibu.”

“Justru itu muasalnya. Bagaimana kalau dia lahir dari ibu pelacur, ayah bandit ulung, tamatlah riwayatku di sini.”

Rahma menekur diam. Ia memafhumi bagaimana uwaknya begitu mencintai posisinya sebagai kepala desa. Ia ingat bagaimana sawah-sawahnya digadaikan demi mendulang suara. Demi jabatan lima tahun saja.

“Kuharap kau tak meneruskan hubunganmu itu. Ingatlah, dalam darahmu mengalir darah pejuang, Rahma. Nikahilah orang dari keturunan yang paham perjuangan. Jangan menikahi lelaki yang tak punya apa-apa. Yang bisanya hanya memanggil hujan, memanjat pohon, memeras madu. Kau kira hidup semanis madu, ha?”

Kalau kau bertanya, mengapa Darhem mampu mengalahkan lawannya di kontestasi kepala desa, sebab ia membawa nama uwaknya yang seorang veteran. Pejuang yang melawan Belanda manakala hendak kembali menguasai gudang karet di perempatan hutan. Meski Bung Karno menyatakan kemerdekaan bangsa, nyatanya Belanda kembali empat tahun kemudian. Karangharjo yang dulunya dikuasai kompeni, yang ditanami pohon-pohon karet siap panen, tak disia-siakan begitu saja. Pantas jika banyak pejuang mati mempertahankan getah karet. Termasuk Dullah, orang tua Darhem.

Ia hafal betul, kala usianya tujuh belas tahun, Darhem turut membantu perjuangan sebagai penyambung lidah rakyat. Masa itu, tak bisa ditebak mana rakyat jelata, dan mana lidah berbisa. Sebab bisa jadi, orang melarat justru jadi mata-mata Belanda demi uang semata. Maka, Darhem memilih menjadi mata-mata di pihak tentara. Membantu perjuangan uwaknya. Meski sang uwak telah mati, namanya tersiar sebagai pahlawan. Inilah musababnya mengapa Darhem terpilih sebagai kepala desa. Selain wujud terima kasih, warga juga kepincut janji Darhem yang konon akan menaikkan gaji buruh karet tiga kali lipat.

Lantas, bagaimana nasib berkata, jika anaknya menikahi lelaki yang bisanya hanya menari Ojung? Maka, disusunlah siasat agar tarian itu tak lagi digelar. Disebarkannya isu panas, barang siapa yang melihat Ojung, maka dia musyrik. Sebab hanya Lah Ta’ala pemberi hujan, bukan tarian yang diadakan tiap kemarau itu. Mula-mula orang-orang tak percaya. Setelah didatangkan da’i yang sebelumnya disodorkan amplop tebal, kepercayaan mereka luntur seketika. Murtadi tak boleh tampil sebab tariannya dibantu jin dan setan, dan mereka tak mau dicap murtad bin kafir.

Rahma sedih tak tertolong. Tak mau keluar kamar, tak mau makan. Darhem membiarkannya. Ia yakin Rahma bakal makan sebab pasti lapar jua. Tetapi pada hari kelima pasca pengusiran Murtadi, justru Darhem tak mau makan. Mukanya murung seakan menanggung beban bertalang-talang. Perangkat desa berusaha menghibur, sedetik pun Darhem tak tersenyum. Tatapannya kian meringis manakala menatap rotan Ojung milik Murtadi yang dirampasnya dulu.

Keadaan Darhem tambah miris saat tubuh gempalnya tersisa kulit dan tulang. Dibawalah ke rumah sakit di kota, berkatalah dokter di sana. Ada beban pikiran yang membuatnya sedemikian rupa. Misni, istri Darhem meminta lelaki di kampung mencari Murtadi. Sebab ia yakin, suaminya telah menyesal mengusir Murtadi. Ini terbukti saat rotan Ojung dilihat suaminya, Darhem tak hanya kesakitan tetapi malah meraung-raung ketakutan. Lagipula, cenayang-cenayang yang dikunjungi serempak memberi jawaban serupa. Darhem tak terkena mantra apa-apa. Ia murni sakit karena jiwa.

Amat disayangkan. Murtadi tak lagi ada di Kedawung. Tak ada pula di rumah pamannya yang berada dekat di tempat terbunuhnya Sroedji. Pahlawan Jember yang mati di tangan kompeni. Sroedji juga mati, lantaran ada mata-mata dari rakyat jelata yang membocorkan keberadaan sang tentara. Tak lama kemudian, Darhem mati dengan mata mendelik hendak keluar. Orang-orang meyakini kematiannya berasal dari penyesalan diri. Akibat tak merestui Rahma menikah dengan Murtadi. Begitulah cerita ini diyakini banyak orang hingga sekarang.

Tak ada yang tahu jika jalan cerita sebenarnya bukan begitu. Sewaktu Darhem berhasil mengusir Murtadi, penari Ojung itu menemui Darhem lima hari kemudian. Menyerahkan rotan yang biasanya digunakan memecut tubuh lawan, agar diserahkannya kepada Rahma sebagai kenang-kenangan. Namun, Darhem seketika menghina.

“Rotan ini tiada artinya. Apalagi dari orang yang tak jelas leluhurnya.”

Murtadi tak jawab. Ia hanya menatap Darhem.

“Sekalipun kau orang punya, asal-usulmu itu mencurigakan. Lantas, adab mana yang berlaku untuk cucu seorang veteran, ayahnya kepala desa, menikahi lelaki yang tak punya ayah-ibu? Kau pikir aku ini orang biasa, begitu?”

“Saya juga punya darah pejuang, Pak! Darah nenek moyang yang Bapak bangga-banggakan sampai terpilih jadi Kepala Desa!” tiba-tiba Murtadi membalas. Matanya lekat menatap Darhem. Darhem tak menyangka bakal disanggah pemuda itu.

“Tahukah Bapak kalau uwak saya mati di tangan Belanda musabab ia menolong lelaki yang jadi mata-mata? Tahukah Bapak saat Sroedji mati, uwak saya berlari ke Karangharjo, memberi kabar kepada banyak pejuang kalau Belanda datang, tetapi ia malah mati meninggalkan istrinya yang tengah mengandung sembilan bulan? Lantas siapa yang seharusnya lebih bangga memiliki darah pejuang? Bapak yang hanya membesar-besarkan kisah saja, atau uwak saya yang mati demi desa ini?”

Darhem terdiam. Tetiba bayangan di tahun lampau kembali berkelabat. Bayangan di mana dirinya ditolong seorang pemuda, ketika tentara Belanda mengetahui kalau dirinya adalah mata-mata di pihak tentara. Seorang pemuda yang menyuruhnya berlari dan bersembunyi. Seorang pemuda yang berpesan jika dirinya mati, meminta Darhem menemui perempuan di Karang Kedawung yang tengah mengandung sembilan bulan. Tetapi Darhem tak pernah pergi. Tak pernah mencari. Hingga akhirnya Darhem mati tak melunasi janji.

Begitulah kematian Darhem sesungguhnya. Kesimpulan cerita ini kutemukan usai bertemu dengan seseorang yang kudapati memecut tubuhnya sendiri menggunakan rotan. Katanya, itu tari Ojung. Tarian pemanggil hujan. Ia lakukan agar tradisi terus lestari. Agar Karangharjo tak diterpa kemarau, agar kenangan tak tergerus hilang. Setelah berkenalan, kutahu namanya Murtadi. Kekasih ibuku lampau hari. Tetapi ia tak tahu, kalau rotan itu dipajang dan dipandang ibu tiap hari.

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan